••• Pagi hari di kantor terasa lebih hening dari biasanya. Calla datang lebih awal dari jam tujuh, seperti yang Elric minta. Tapi lelaki itu belum juga muncul dari ruangannya. Di meja kecilnya, Calla membuka laptop, mengecek jadwal, dan mempersiapkan dokumen untuk kunjungan ke kantor cabang. Namun, pikirannya masih tersangkut pada dua pesan semalam. Nikolas... Elric... Dua nama, dua dunia. Nikolas membuatnya merasa hangat, dilihat, dimengerti. Sementara Elric… membuatnya bertanya-tanya, berkali-kali. Tentang rasa. Tentang arti perhatian. Tentang dirinya sendiri. Suara langkah terdengar di lorong. Calla mendongak. Elric muncul dengan setelan abu-abu gelap dan dasi hitam. Dingin seperti biasanya, tanpa senyum. Tapi pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Cara ia melirik ke arahnya... seperti sedang menyembunyikan badai di balik sorot mata tenangnya. “Makan dulu,” katanya singkat sambil meletakkan satu kotak kecil di mejanya. Calla mengernyit. “Pak?” Elric menatap lurus. “Roti isi, d
••• Calla merasa dadanya sesak pagi itu. Suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Begitu banyak hal yang menggelayuti pikirannya—terutama tentang dua orang yang semakin sulit untuk dia abaikan. Nikolas dengan senyum hangatnya, perhatian yang selalu ia berikan, dan kesabaran yang tak terbatas. Elric, dengan sikap dinginnya yang menyelubungi semuanya, namun diam-diam memperhatikannya lebih dari yang ia kira. Di satu sisi, Nikolas membuatnya merasa aman, diterima. Tapi di sisi lain, Elric... membuatnya merasa hidup, dengan ketegangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, hari itu, masalah lain muncul. Cassandra. Wanita itu sudah datang lebih awal dari biasanya. Calla bisa mendengar langkahnya yang pasti, hak sepatu yang berderap di lantai marmer. Tanpa menunggu, Cassandra langsung masuk ke ruang Elric tanpa izin, seperti dulu—seperti tidak ada perubahan sama sekali. Calla berdiri dari mejanya, mencoba untuk tetap tenang, meski ada ketegangan yang menyelimuti udara.
••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang
••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per
••• Liburan yang dijanjikan oleh perusahaan itu akhirnya tiba, dan suasana di antara para karyawan terasa berbeda dari biasanya. Keputusan untuk mengadakan acara reward dengan liburan di villa bintang 5 di kawasan pegunungan membawa rasa antusiasme yang berbeda, apalagi bagi Calla. Keindahan alam yang menjulang tinggi di hadapan villa itu, pemandangan hutan hijau yang membentang sejauh mata memandang, serta udara pegunungan yang segar seolah memberikan janji akan waktu istirahat yang sangat dinantikan. Namun, bagi Calla, liburan ini juga berarti waktu yang penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Keputusan untuk pergi bersama para kolega dan bosnya, Elric, tentu membawa banyak perasaan yang belum jelas. Perasaan tentang Elric yang kian membingungkan, tentang Nikolas yang tidak pernah berhenti mencoba mendekatinya, dan tentang dirinya sendiri yang masih berusaha menemukan siapa yang benar-benar ia inginkan. Semakin hari, perasaan itu semakin berkembang, dan Calla tahu, liburan ini mung
••• Sudah beberapa hari berlalu sejak perjalanan ke villa. Namun, bagi Calla, waktu seakan melambat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan di sana—kebersamaan hangat bersama rekan kerja, detik-detik penuh makna bersama Elric—semuanya terasa seperti mimpi indah yang terlalu cepat berlalu. Kini ia kembali ke rutinitas, tetapi ada sesuatu yang berubah. Kegelisahan. Kecemasan. Ketakutan yang menyesap perlahan, seperti kabut yang menyusup melalui celah-celah pikiran. Awalnya, ia mengira itu hanya bayang-bayang kekhawatiran akan hubungan barunya dengan Elric. Perasaannya sendiri masih belum bisa ia definisikan—ia menyukai perhatian Elric, menyukai bagaimana pria itu perlahan membuka diri, menyukai bagaimana ia merasa aman di dekatnya. Tapi ada juga ketakutan yang bersembunyi, mengintai dalam diam. Dan lalu datanglah pesan pertama. “Aku lihat kamu bahagia sekarang. Tapi kamu lupa aku masih di sini.” Calla menatap layar ponselnya lama. Matanya membeku, dan jari-jarinya perlahan mengencang
••• Hari-hari berlalu dengan lambat namun menyesakkan. Calla bangun setiap pagi dengan rasa berat di dadanya, seolah tubuhnya menolak bergerak. Pekerjaan di kantor tak lagi menjadi pelariannya—malah menjadi tempat di mana ia harus berpura-pura kuat, tersenyum saat pikirannya dikepung ketakutan. SMS dari Vincent masih terus berdatangan. “Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan diri. Aku tahu tempat tinggalmu sekarang.” “Aku sudah melihatmu pulang malam itu. Kamu tidak pernah berubah, Calla. Masih suka pura-pura bahagia.” Pagi itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak mampu difokuskan. Tangannya gemetar saat menggenggam mouse, dan matanya terus berpaling ke arah ponsel yang diletakkan terbalik. Ia takut jika membalikkannya, akan ada pesan baru—sebuah kalimat yang bisa meruntuhkan benteng yang sudah rapuh. Elric, seperti biasa, memperhatikannya. Ia mulai melihat bagaimana Calla tak lagi seramah sebelumnya. Gadis itu lebih sering melamun, sering salah menget
••• Suasana di kantor pagi itu terasa lebih berat daripada biasa. Calla merasa seakan ada beban yang menggantung di setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, rasa cemas itu terus menggerogoti pikirannya, seolah tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari ketakutan yang makin mendalam. Ketakutan akan masa lalu, ketakutan yang kini semakin nyata, karena Vincent kembali mendekat. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia, dua pria yang keduanya ingin ia percayai, tapi hatinya tidak bisa memilih. Pagi itu, seperti biasa, Calla berjalan ke pantry untuk mengambil secangkir kopi. Namun, saat ia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah ia coba hindari beberapa hari terakhir. Elric berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada rasa khawatir yang terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Calla tahu Elric peduli padanya, namun ia merasa bahwa semakin dekat p
••• Calla memandangi jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Udara pagi masuk pelan, membawa aroma khas musim semi yang lembut. Langit masih semburat biru pucat, seakan baru saja bangun dari mimpi panjang. Di pangkuannya, secangkir teh chamomile menghangatkan telapak tangannya yang sempat dingin selama beberapa hari terakhir. Sudah lima hari sejak kejadian itu. Lima hari sejak Elric menemukannya di ambang kehancuran. Lima hari sejak Nikolas datang dan duduk di sisi ranjangnya tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata penuh luka. Dan hari ini, ia akan mengambil langkah pertamanya: menghadiri sesi terapi. Seseorang mengetuk pintu. Calla menoleh. “Masuk,” katanya pelan. Pintu terbuka dan Elric muncul, mengenakan setelan kasual—sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya. Jaket denim biru tua dan kaus putih sederhana membuatnya terlihat lebih muda, lebih santai... lebih hangat. “Kau siap?” tanyanya. Calla mengangguk pelan. “Aku rasa... ya. Setidaknya, aku akan coba.” Elri
••• Suasana kamar rawat itu hening. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terdengar, pelan dan teratur. Cahaya matahari sore masuk dari sela tirai jendela, menciptakan garis-garis emas di atas lantai putih. Calla masih terbaring, matanya terpejam, tapi air matanya terus mengalir pelan. Elric masih duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam erat tangan Calla. Rasanya seperti baru kali ini ia benar-benar menyentuh gadis itu sepenuh hati—tanpa rasa posesif, tanpa rasa cemburu, hanya rasa takut kehilangan dan rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik dalam diamnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Elric menoleh, dan pintu terbuka perlahan. Sosok tinggi berjas hitam muncul, dengan wajah tegang dan sorot mata yang tajam. Nikolas. Sejenak, pandangan mereka bertemu. Tegang. Diam. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi membara di udara di antara mereka. “Elric,” sapa Nikolas singkat, suaranya dalam. Elric berdiri perlahan, tanpa melepaskan genggaman tangan Calla. “Apa yan
••• Sudah tiga hari berlalu sejak Calla terakhir kali masuk kerja. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Telepon dari Nikolas tak diangkat. Puluhan panggilan dari Elric tak pernah dijawab. Pesan hanya centang satu—seperti Calla menghilang dari dunia. Tak ada yang tahu, bahwa dunia Calla memang sedang runtuh... dalam diam. Pagi itu, awan kelabu menggantung rendah di atas kota. Cuaca yang sejuk justru terasa menusuk. Dan di sebuah apartemen kecil di sudut Brooklyn, seorang perempuan sedang terkubur dalam keheningan yang mengikis napasnya sendiri. Vincent semakin berani. Hari ini, dia datang langsung ke depan pintu apartemen Calla. Suaranya membentak dan memaksa. Tangannya mengguncang gagang pintu, mencoba mendobrak. “CALLA! AKU TAHU KAU DI DALAM! JANGAN BUAT AKU GILA!” Gedoran keras menggema, membuat dinding seolah bergetar. Tapi Calla tak bergerak. Dari balik sofa, ia meringkuk. Napasnya tercekat. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya memeluk lutut, wajahnya tertunduk dalam, menahan
••• Suasana di kantor pagi itu terasa lebih berat daripada biasa. Calla merasa seakan ada beban yang menggantung di setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, rasa cemas itu terus menggerogoti pikirannya, seolah tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari ketakutan yang makin mendalam. Ketakutan akan masa lalu, ketakutan yang kini semakin nyata, karena Vincent kembali mendekat. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia, dua pria yang keduanya ingin ia percayai, tapi hatinya tidak bisa memilih. Pagi itu, seperti biasa, Calla berjalan ke pantry untuk mengambil secangkir kopi. Namun, saat ia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah ia coba hindari beberapa hari terakhir. Elric berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada rasa khawatir yang terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Calla tahu Elric peduli padanya, namun ia merasa bahwa semakin dekat p
••• Hari-hari berlalu dengan lambat namun menyesakkan. Calla bangun setiap pagi dengan rasa berat di dadanya, seolah tubuhnya menolak bergerak. Pekerjaan di kantor tak lagi menjadi pelariannya—malah menjadi tempat di mana ia harus berpura-pura kuat, tersenyum saat pikirannya dikepung ketakutan. SMS dari Vincent masih terus berdatangan. “Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan diri. Aku tahu tempat tinggalmu sekarang.” “Aku sudah melihatmu pulang malam itu. Kamu tidak pernah berubah, Calla. Masih suka pura-pura bahagia.” Pagi itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak mampu difokuskan. Tangannya gemetar saat menggenggam mouse, dan matanya terus berpaling ke arah ponsel yang diletakkan terbalik. Ia takut jika membalikkannya, akan ada pesan baru—sebuah kalimat yang bisa meruntuhkan benteng yang sudah rapuh. Elric, seperti biasa, memperhatikannya. Ia mulai melihat bagaimana Calla tak lagi seramah sebelumnya. Gadis itu lebih sering melamun, sering salah menget
••• Sudah beberapa hari berlalu sejak perjalanan ke villa. Namun, bagi Calla, waktu seakan melambat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan di sana—kebersamaan hangat bersama rekan kerja, detik-detik penuh makna bersama Elric—semuanya terasa seperti mimpi indah yang terlalu cepat berlalu. Kini ia kembali ke rutinitas, tetapi ada sesuatu yang berubah. Kegelisahan. Kecemasan. Ketakutan yang menyesap perlahan, seperti kabut yang menyusup melalui celah-celah pikiran. Awalnya, ia mengira itu hanya bayang-bayang kekhawatiran akan hubungan barunya dengan Elric. Perasaannya sendiri masih belum bisa ia definisikan—ia menyukai perhatian Elric, menyukai bagaimana pria itu perlahan membuka diri, menyukai bagaimana ia merasa aman di dekatnya. Tapi ada juga ketakutan yang bersembunyi, mengintai dalam diam. Dan lalu datanglah pesan pertama. “Aku lihat kamu bahagia sekarang. Tapi kamu lupa aku masih di sini.” Calla menatap layar ponselnya lama. Matanya membeku, dan jari-jarinya perlahan mengencang
••• Liburan yang dijanjikan oleh perusahaan itu akhirnya tiba, dan suasana di antara para karyawan terasa berbeda dari biasanya. Keputusan untuk mengadakan acara reward dengan liburan di villa bintang 5 di kawasan pegunungan membawa rasa antusiasme yang berbeda, apalagi bagi Calla. Keindahan alam yang menjulang tinggi di hadapan villa itu, pemandangan hutan hijau yang membentang sejauh mata memandang, serta udara pegunungan yang segar seolah memberikan janji akan waktu istirahat yang sangat dinantikan. Namun, bagi Calla, liburan ini juga berarti waktu yang penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Keputusan untuk pergi bersama para kolega dan bosnya, Elric, tentu membawa banyak perasaan yang belum jelas. Perasaan tentang Elric yang kian membingungkan, tentang Nikolas yang tidak pernah berhenti mencoba mendekatinya, dan tentang dirinya sendiri yang masih berusaha menemukan siapa yang benar-benar ia inginkan. Semakin hari, perasaan itu semakin berkembang, dan Calla tahu, liburan ini mung
••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per
••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang