LOGIN
Eleonora Keller Lockhart selalu membenci musim dingin.
Tapi kali ini, rasa benci itu kian bertambah saat dua pengawal kerajaan menyeretnya keluar dari kastil Lockhart yang telah ia tinggali selama lima tahun ini, menuju alun-alun kota yang ramai. Para penduduk kota melihatnya sambil berbisik-bisik.
Perempuan itu tak lagi mengangkat dagunya sebagai seorang Duchess, melainkan sebagai saksi dari pelaku pemberontakan kerajaan yang merupakan suaminya sendiri, Duke Killian Eglias Lockhart.
Killian yang dulu selalu berpenampilan rapi dan selalu dielu-elukan sebagai pahlawan medan perang yang gagah berani, kini nampak lesu dan letih dengan kedua tangan yang diikat di belakang punggungnya. Pakaiannya compang-camping dan wajah tampannya tersamarkan dengan luka memar akibat proses interogasi yang kejam.
Saat Eleonora bertemu pandang dengan suaminya, ia tak menemukan amarah atau dendam disana. Melainkan sebuah ketenangan yang luar biasa.
Perempuan itu merasakan sesuatu yang menyesakkan bergerak di dalam dada. Air mata membeku di pipinya. Padahal, kedua tangan Eleonora-lah yang mengantar suaminya ke panggung eksekusi.
Surat-surat remeh yang diminta ayahnya, Raja Normand Algor de Elgresia, ternyata digunakan sebagai bukti yang menuduh suaminya merencanakan kudeta.
Bodohnya aku, pikir Eleonora dalam hati yang pahit. Kukira Ayah benar-benar mengkhawatirkanku saat ia memintaku mengirim surat tentang apa saja yang terjadi di Kastil Lockhart.
Komandan Gansius, yang dulu berada dibawah komando Killian, sekarang terlihat bengis saat memegang sebuah pedang panjang yang tajam. Seolah-olah ia sudah lama menantikan momen ini, “Apa kata-kata terakhirmu?”
“Wilayah Lockhart adalah tanah kelahiranku. Dan meskipun aku meninggal, wilayah ini takkan jatuh ke tangan Raja,” ucap Killian dengan suara yang serak karena tak ada setetes air yang masuk ditenggorokannya hari ini. Sepasang mata abu-abunya kini melihat ke arah istrinya. Pandangannya melembut saat ia berkata, “Eleonora, jaga dirimu baik-baik. Maaf, karena ternyata aku… tak cukup kuat untuk melindungimu.”
Tenggorokan Eleonora tercekat. Ia sama sekali tak menduga akan ucapan suaminya yang tulus dan penuh kasih. Baginya, akan lebih mudah jika Killian memperlakukannya seperti biasa. Kasar dan penuh kebencian. Agar Eleonora merasa impas dengan pengabaiannya selama ini. Agar rasa bersalahnya tak menelannya bulat-bulat.
Tapi, Killian malah meminta maaf terhadapnya.
Tatapan yang baru pertama kali dilihatnya itu seolah menyuruhnya untuk tetap hidup dengan baik. Seolah-olah, ia ingin Eleonora memaafkan dirinya sendiri.Pernikahan politik yang mereka jalani selama lima tahun itu berjalan tanpa cinta. Killian sebagai panglima tertinggi di kerajaan, menghabiskan banyak waktu di medan perang, meninggalkan Eleonora sendiri yang tidak sadar jika ia adalah pion yang digerakkan ayah kandungnya demi menguasai wilayah Lockhart.
Apa maksudnya dengan tak bisa melindungiku lagi, tanyanya dengan perasaan cemas. Aku harus mengetahuinya! Masih belum terlambat. Jika aku memohon pada Yang Mulia, mungkin Killian masih bisa sela—
“Demi kemuliaan kerajaan Elgresia!”
Whissh!
Pedang itu turun dan menebas leher suaminya. Seperti ranting kering yang patah, diikuti suara berat tubuh yang jatuh. Darah merah mengalir diantara permukaan panggung eksekusi yang tertutup oleh salju putih. Aroma logam menusuk hidungnya.
Eleonora merasa dirinyalah yang mati hari itu. Kepala suaminya menggelinding beberapa senti di salju. Matanya terbuka dan menatap dirinya, dengan kelembutan yang sama.
“TIDAAKK!!” sebuah jeritan lolos dari tenggorokannya saat ia berusaha melepaskan diri dari pengawalan. Namun, langkahnya ditahan oleh pengawal kerajaan.
Suara Komandan Gansius terdengar lagi, “Bawa dia pergi. Sampai dekrit kerajaan turun, perempuan itu harus dikurung di dalam kastil!”
*
Eleonora tak ingat berapa lama ia berada di kamarnya yang gelap dan suram, membiarkan makanan dan minumannya tak tersentuh. Bayangan tentang suaminya membuatnya tak mampu memejamkan mata barang sedetik.
Di dalam ruangan gelap itu, ia merasa seperti mayat hidup.
Kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Meskipun demikian, Eleonora sadar bahwa sebanyak apapun air mata yang keluar takkan bisa membawa suaminya kembali.
Ia lantas membuka lemari dan mengambil seluruh selendang yang ia miliki dan memilinnya hingga menjadi tali. Diambilnya sebuah kursi sebelum mengikat tali selendangnya di lampu kandil yang mahal di langit-langit kamarnya.
Eleonora memandangi cincin kawin di jari manisnya. Cincin perak polos tanpa hiasan apapun itu adalah salah satu saksi atas janji pernikahannya. Selalu bersama saat susah dan senang, sehat maupun sakit.
“Hingga maut memisahkan,” tambah Eleonora sambil mencium cincin itu. “Tapi, aku takkan membiarkanmu sendirian, Killian. Dimanapun kau berada, aku akan menemanimu dan menebus semua kesalahanku. Semua kebodohanku. Sungguh… maafkan aku.”
Setelah itu Eleonora mengalungkan selendang itu di lehernya sebelum ia menendang kursi dibawah kakinya.
Dalam beberapa detik yang terasa selamanya, perempuan itu menendang-nendang udara kosong saat tenggorokannya tercekik hingga membuat dadanya seolah dibakar oleh api yang panas.
Ditengah kesadarannya yang menipis, Eleonora melihat sebuah cahaya putih yang menyilaukan. Membuat tubuhnya terasa hancur berkeping-keping sebelum ia menyatu dalam kecepatan yang melampaui logika. Ia mendengar suara jeritan yang begitu memilukan.
Eleonora mengenali suara itu sebagai miliknya. Tapi perempuan itu yakin jika jeritan itu tidak keluar melalui tenggorokannya. Semua terasa begitu cepat dan membuat dunianya berjungkir balik.
Ketika segala kekacauan itu berhenti, keheningan menyelimuti dirinya.
*
Saat Eleonora membuka mata, ia menemukan dirinya sedang terbaring di atas ranjang mewah, beralaskan kain sutra biru. Ruangan ini sangat dikenalnya dengan baik, yaitu kamar tidurnya di Istana Elgresia, tempat tinggalnya sebelum ia menikah.
Belum sempat ia mencerna situasi, datanglah seorang pelayan yang mengatakan, “Duke Lockhart telah menunggu anda.”
Ucapan itu membuat jantungnya berdebar keras. Secara refleks, ia melihat jari manisnya. Tak ada cincin itu disana. Sebuah kesadaran menghantamnya, Eleonora telah terlahir kembali dan suaminya masih hidup!
Buru-buru, ia melompat dari kamar tidurnya menuju meja riasnya untuk bercermin. Wajahnya terlihat lebih muda dari yang ia ingat. Namun tak hanya itu yang berubah.
Air mukanya kini menjadi tegas dan kedua mata birunya memancarkan keberanian, hingga membuat jejak-jejak Eleonora yang lemah dan bodoh, tak terlihat dimanapun.
Tak ada keraguan dalam suaranya saat ia berkata pada pelayannya yang kebingungan, “Siapkan pakaian terbaik. Aku ingin tampil cantik saat menyambut calon suamiku.”
Upacara pernikahan berjalan persis seperti yang diingat Eleonora. Ia memakai gaun pengantin dengan potongan sederhana dan rambutnya disanggul rapi. Wajahnya yang tertutupi dengan cadar putih berjaring-jaring itu tidak menampakkan ekspresi khusus saat Raja Normand menuntunnya hingga ke altar.Killian telah menunggunya dengan setelan militer berwarna putih. Rambutnya disisir ke belakang dan ia mengulurkan tangannya untuk menariknya mendekat. Membuat Eleonora tiba-tiba memikirkan ucapan terakhir yang ia dengar saat suaminya itu dieksekusi.Apa maksudnya dengan melindungiku? Selama ini, Killian tak pernah memperdulikanku. Ia bahkan tak pernah menyentuhku, membuatku menjadi bahan olok-olokan sebagai istri yang tak diinginkan. Jadi, apa sebenarnya yang coba ia lindungi?Saat Pendeta memulai prosesi janji pernikahan, jantung Elelonora berdebar. Suara Killian terdengar tegas saat berkata, “Saya bersedia menikahi Eleonora Keller Elgresia dan menemaninya di kala susah dan senang, sakit maupun s
Sama seperti di kehidupan pertamanya, Raja Normand secara pribadi mengundangnya ke ruang kerjanya, tepat setelah acara makan malam selesai.“Saya menghadap matahari kerajaan Elgresia. Semoga Dewa selalu memberkati kita semua,.”Raja Normand melihatnya dengan pandangan lembut dan perhatian yang dibuat-buat, “Eleonora, anakku. Bukankah waktu berjalan dengan sangat cepat? Sekarang, kau sudah dewasa dan akan menikah dengan orang yang jauh dariku. Kami pasti akan merindukanmu.”Di masa lalu, ucapan itu berhasil membuat Eleonora tersentuh. Tapi sekarang, ia telah melihat segalanya dengan jelas, “Saya harap Yang Mulia selalu dalam keadaan sehat.”Agar aku bisa melumatmu hidup-hidup, tambahnya dalam hati.“Kau sungguh baik sekali,” balasnya setelah menghela nafas. “Aku tak bisa membayangkan kalau kau berada di tempat sejauh itu tanpa ada orang yang kupercaya. Karena itu, aku akan mengirim seorang pelayan pribadi untukmu.”“Itu tindakan yang berlebihan, Yang Mulia. Saya yakin kastil Lockhart m
Duke Killian Lockhart duduk di bangku panjang yang terletak di dekat taman istana yang dirawat dengan baik, menunggu calon istri yang baru ia temui sekali saat dekrit kerajaan diumumkan.Setelah membantu memenangkan perang di daerah perbatasan, alih-alih mendapatkan kenaikan pangkat atau wilayah kekuasaan, Raja Normand malah memberinya hadiah yang paling tidak ia inginkan. Seorang istri.Killian tentu tak bisa menolak perjodohan tersebut karena ia tak sudi dieksekusi karena dianggap sebagai pembelot yang melawan perintah raja. Meski begitu, ia yakin jika raja pasti telah merencanakan sesuatu. Mungkin, pernikahan ini semata-mata hanya bertujuan untuk memperkuat kekuatan kerajaan.Atau untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat dan tak akan ia sukai. Dan jika melihat perangrai raja, Killian lebih mempercayai kemungkinan terakhir.Mata-matanya telah memberikan laporan lengkap. Eleonora merupakan anak haram sang raja dengan seorang penari yang tidak diketahui bagaimana nasibnya.Perempua
Eleonora Keller Lockhart selalu membenci musim dingin.Tapi kali ini, rasa benci itu kian bertambah saat dua pengawal kerajaan menyeretnya keluar dari kastil Lockhart yang telah ia tinggali selama lima tahun ini, menuju alun-alun kota yang ramai. Para penduduk kota melihatnya sambil berbisik-bisik.Perempuan itu tak lagi mengangkat dagunya sebagai seorang Duchess, melainkan sebagai saksi dari pelaku pemberontakan kerajaan yang merupakan suaminya sendiri, Duke Killian Eglias Lockhart.Killian yang dulu selalu berpenampilan rapi dan selalu dielu-elukan sebagai pahlawan medan perang yang gagah berani, kini nampak lesu dan letih dengan kedua tangan yang diikat di belakang punggungnya. Pakaiannya compang-camping dan wajah tampannya tersamarkan dengan luka memar akibat proses interogasi yang kejam.Saat Eleonora bertemu pandang dengan suaminya, ia tak menemukan amarah atau dendam disana. Melainkan sebuah ketenangan yang luar biasa.Perempuan itu merasakan sesuatu yang menyesakkan bergerak d