“Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” pinta Zahra yang ditarik saja oleh Zyan.
Pria tampan itu menghentikan langkah tanpa melepaskan tangan Zahra. “Bukannya kamu lapar?”
“Iya, tapi apa Bapak tidak melihat pakaian saya.” Zahra menunduk, menunjukkan pakaian tidur yang dikenakannya.
“Memangnya kenapa pakaianmu?” Zyan menaikkan sebelah alis tebalnya.
Zahra menghela napas karena bosnya itu tidak peka. “Saya ‘kan pakai baju tidur, Pak. Masa masuk ke restoran pakaian saya begini.”
“Mereka tidak akan menolak kita, Ra. Lagian kita cuma makan malam biasa bukan makan malam resmi. Penampilan tidak masalah, yang penting kita mampu bayar di sana,” tukas Zyan.
“Pak, penampilan kita tuh jomplang! Pak Zyan rapi sementara saya kaya gini. Setidaknya biarkan saya ganti baju yang lebih layak agar tidak mempermalukan Bapak kalau tidak sengaja bertemu orang yang kita kenal. Masa
Zyan memandang Zahra meminta pertimbangan, tapi gadis itu tak memberikan respon dan malah terlihat bingung.“Bagaimana, Pak Zyan? Apa boleh?” Yudhis kembali bertanya karena belum mendapat jawaban.Zyan yang merasa kasihan dan tak enak hati akhirnya mengizinkan Yudhis duduk bersamanya dan Zahra.“Terima kasih atas kebaikan hatinya, Pak Zyan.” Yudhis lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Zahra, sementara Zyan sejak awal duduk di samping kanan sekretarisnya.Yudhis kemudian memanggil salah satu pramusaji dan meminta buku menu. Setelah menyebutkan menu yang diinginkan, dia berpesan agar tagihannya tidak dijadikan satu dengan milik Zyan.“Zahra, sudah lama bekerja sebagai sekretaris Pak Zyan?” Yudhis bertanya pada gadis berhijab itu untuk memecah kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di meja itu.“Kurang lebih dua tahun, Pak,” jawab Zahra dengan ramah.“Lumayan juga, tapi kenapa a
Zyan melirik Zahra yang terus diam sejak Yudhis mengungkapkan keinginan hatinya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Apakah dia akan mempertimbangkan Yudhis yang berniat serius menikahinya ataukah mengabaikan begitu saja?“Pak Zyan, apakah ada proyek baru lagi?” tanya Yudhis untuk mencairkan suasana yang terasa canggung. Berbicara tentang bisnis dan proyek pasti lebih santai daripada soal pribadi.“Kalau ada, apa Pak Yudhis berniat untuk investasi?” Zyan malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan pria berkacamata itu.Yudhis tertawa kecil. “Wah, Pak Zyan meledek saya ini. Perusahaan saya belum mampu berinvestasi di proyek-proyek besar Pak Zyan. Sementara ini saya masih menawarkan diri sebagai rekanan seperti biasa,” ucapnya dengan jujur. Pria berkacamata itu memang selalu berkata apa adanya. Tidak pernah berpura-pura mampu kalau nyatanya tidak mampu. Karena hal itu, Zyan senang bekerja sama dengan Yudhis yang jujur da
“Pagi ini kita pulang ke rumah dulu, setelah itu baru ke kantor,” ucap Zyan yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang melilit pinggangnya. Membuat Zahra bisa melihat dengan jelas otot-otot bagian atas tubuh Zyan yang polos. Gadis itu lekas membuang muka agar tidak tergoda.“Mana pakaianku?” tanya Zyan karena tidak melihat ada bajunya di atas tempat tidur.“Maaf, Pak, belum saya siapkan.” Zahra gegas membuka koper milik bos yang juga suaminya itu. Dengan cekatan gadis itu menyiapkan pakaian ganti untuk Zyan. “Di sini tidak ada jas sama dasi, Pak. Pakai kemeja saja tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya tanpa melihat pada pria tampan yang belum mengenakan pakaian itu.“Pakai dasi sama jas di rumah saja,” jawab Zyan yang mulai mengenakan pakaian dalamnya. Tepat saat itu Zahra menoleh pada suaminya. Sontak gadis itu mengalihkan pandangan dengan wajah tersipu malu.Daripada jadi canggung
Zyan dan Zahra sontak menoleh ke belakang, ke arah suara. Keduanya terkejut kala melihat Rania berdiri sambil bersedekap dan memberikan tatapan tajam pada mereka. Wanita paruh baya itu masih mengenakan pakaian olahraga karena baru pulang dari joging di sekitar kompleks rumahnya. “Tentu saja kami pulang, Ma.” Zyan akhirnya menjawab pertanyaan sang mama. “Bukannya kalian seharusnya masih menginap di hotel sampai besok?” cecar Rania. “Aku dan Zahra bosan di kamar terus, Ma. Kami ‘kan juga harus bekerja,” sahut Zyan. Rania berdecak. Dia menggeleng berulang kali. “Zyan, kalian itu ‘kan baru menikah. Harusnya sekarang kalian itu sedang manis-manisnya mereguk madu cinta. Maunya berduaan di kamar terus, bukannya malah ingin kerja.” "Kami 'kan masih bisa berduaan nanti malam atau saat istirahat siang, Ma. Iya 'kan, Ra." Zyan memeluk pinggang Zahra untuk meminta dukungan. Zahra tersentak saat pinggangnya tiba-tiba dipeluk. Namun gadis itu lekas menguasai diri. "Iya, Ma. Saat ini kami juga
Hari itu Zyan dan Zahra benar-benar fokus bekerja. Setelah seharian kemarin semua urusan dipegang oleh Faisal, pekerjaan Zyan jadi lebih ringan. Dia tinggal menandatangani berkas-berkas yang butuh persetujuannya karena sang asisten sudah mengecek semuanya. Zyan percaya penuh pada Faisal jadi tak mengecek lagi.“Hari ini aku tidak ada meeting di luar ‘kan?” Zyan bertanya sambil menggoreskan pena hitam di atas kertas.“Ada nanti setelah makan siang, Pak,” jawab Faisal setelah melihat jadwal sang bos di iPad-nya.“Dengan siapa dan membahas apa?” tanya Zyan lagi.Faisal kemudian menyebutkan nama para pengusaha yang akan datang dan hal yang akan mereka bicarakan.“Kamu bisa mewakiliku?” Zyan mendongak, menatap sang asisten pribadi. Dia enggan pergi karena ada nama Aswin di pertemuan nanti.“Maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa. Saya harus menggantikan Bapak memimpin rapat dengan tim yang akan menangani proyek baru kita,” jawab Faisal.“Kita bertukar tempat saja, Fai. Aku yang akan rapat dengan
Zahra bergegas pergi ke ruangan Zyan begitu panggilan dari bos yang sekaligus suaminya itu diakhiri secara sepihak. Dia sampai tidak berpamitan pada Faisal yang tadi bicara dengannya agar tidak dimarahi Zyan. Gadis itu mengetuk pintu setelah tiba di depan ruangan Zyan.“Masuk,” jawab Zyan.Zahra membuka pintu lalu masuk ruangan itu. Dia langsung menuju sofa dan meletakkan makanan dan minuman yang tadi dibeli di atas meja. Dengan cekatan gadis itu membuka bungkus makanan lalu meletakkan makanannya di atas piring. Tak lupa sendok dan juga garpu.“Makanannya sudah siap. Pak Zyan mau makan di sini atau di sana?” tanya Zahra sambil menunjuk sofa dan meja kerja Zyan.“Di situ saja.” Zyan bangkit dari duduk lalu beranjak ke sofa. Sesudah pria itu duduk, Zahra meletakkan makanan dan minuman di hadapan Zyan.“Silakan, Pak,” ucap Zahra.“Terima kasih. Kamu juga makan sekalian,” sahut Zyan yang mulai mencampur makanannya.Zahra mengangguk. Dia lalu makan dengan canggung di hadapan Zyan. Baru kal
Sesudah memimpin rapat tim yang akan menangani proyek baru perusahaan, Zyan dan Zahra pergi bersama mereka untuk meninjau lokasi proyek. Zyan mengendarai sendiri mobilnya, mengikuti kendaraan tim yang mengantarnya ke sana. Dia sengaja melakukannya agar bisa langsung pulang setelah meninjau proyek.Untung saja Zahra selalu menyediakan sepatu kets di kantor selain sepatu resmi, jadi bila diajak meninjau proyek dia tidak akan kelabakan. Karena kebanyakan lokasi proyek sangat tidak bersahabat dengan sepatu berhak tinggi yang biasa gadis itu kenakan sehar-hari.Zahra menemani Zyan dan tim berkeliling. Sekali waktu dia mencatat bila ada yang penting di iPad-nya. Ketua tim menjelaskan site plan yang sudah mereka rancang dan menunjukkan letak bangunan-bangunannya.Zyan mendengarkan dengan saksama penjelasan ketua tim. Dia orang yang cukup detail, jadi kalau ada yang kurang jelas langsung ditanyakan. Selain itu juga untuk mengetes tim yang akan menangani apakah
Raut muka Zyan jadi mengeras setelah mendengar pertanyaan kekasihnya. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mil. Nikmati waktumu di sana.” Tanpa menunggu tanggapan dari sang kekasih, pria itu mengakhiri panggilan tersebut. Dia lantas melepas airpods dari telinganya. Setelah itu mengembuskan napas kasar.Zahra yang ada di sebelah Zyan hanya melirik atasannya itu dan tak mengatakan apa pun. Dia masih sangat ingat perjanjian mereka untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Jadi lebih baik dia diam dan tak ikut campur apalagi menanggapi.Ponsel Zyan kembali berdering. Nama pemanggilnya masih tetap sama dengan sebelumnya. Namun pria itu enggan untuk menjawab, dan tetap mengabaikan sampai panggilan tersebut berhenti sendiri. Tak diduga Mila menelepon lagi. Akhirnya Zyan mengambil ponselnya dan memberikan pada Zahra.“Tolong matikan hapeku!” perintahnya.Zahra terkejut saat Zyan memberikan ponsel berlogo apel tergigit itu padanya. “Kenapa dimatikan, Pak?” tanyanya.“Kalau aku bilang