LOGIN“Ibu Aira tidak boleh sendiri dalam ruang rawat, Pak, harus ada yang menjaga karena pasien berpotensi mengulangi keinginan untuk menyakiti diri.” Pesan dokter berulang di kepala Satrio.
Satrio duduk di sebelah Aira, ia merasa kasihan padanya. Satrio tahu semua tentang apa yang dialami oleh Aira, pria itu mengusap pergelangan tangan Aira yang dibalut perban, sementara dia tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Ponsel Satrio berdering, ia membaca nama suami Aira [Marselino Wijaya] menghubungi. Sebelumnya, Satrio memutuskan untuk memberi tahu Marselino mengenai keadaan yang menimpa Aira, ia mengetahui data nomor kontak dari bagian pendaftaran konseling kantornya. “Apa yang lu lakuin ke bini gua?!” Kalimat Marselino terdengar tidak bersahabat. “Ibu Aira sekarang di rumah sakit Bina Bakti, Pak,” lapor Satrio dengan nada sopan. “Dia begitu karena lu. Lu uruslah sendiri. Lu biayain sendiri. Jangan sudah kayak begini, lu lapor ke gua!” Belum lagi Satrio memberi keterangan panggilannya diputus. Satrio menggeleng-geleng sembari menatap layar hitam ponsel. Dia teringat sewaktu Aira konseling padanya, perempuan itu mengatakan kalau suaminya yang semula lembut mulai menutup diri, bahkan kerap tidak pulang dengan alasan pekerjaan. Mirisnya, pria itu berani menunjukkan ketidakpedulian pada istrinya sendiri di hadapan orang lain. Aira adalah klien Satrio, lebih enam bulan Aira konsultasi intens dengannya, perempuan itu memutuskan mencari konselor hubungan, meskipun suaminya selalu menolak bila diajak menemui konselor. *** “Kamu mau apa di sini!” Aira terbangun mendapati Satrio di kamar inapnya. Sontak Aira meradang lalu meluapkan amarahnya. “Aira, tenanglah. Ini rumah sakit, keadaan kamu belum stabil.” Satrio kewalahan menenangkan Aira yang mengamuk melempar bantal, selimut, dan benda di nakas. “Aku tidak mau kamu di sini. Pergi!” Teriakan Aira mengundang perawat masuk ke dalam ruangan. Datang bertiga, para perawat langsung menahan tubuh Aira agar darah yang rembes ke perban tidak mengucur lebih banyak. Perawat menyuntikkan obat penenang lewat selang sehingga perempuan itu tidak banyak bergerak. Hari kedua Aira dirawat, keadaan emosionalnya masih kurang stabil. Hal ini berdampak pada perkembangan kesehatan fisik Aira. Setiap kali melihat Satrio dia akan mengamuk membabi buta. Sampai hari kedua, suaminya pun tidak terlihat membesuk. Satrio setiap hari memantau perkembangan Aira dari jarak tertentu, ia tidak ingin kesehatan Aira kembali menurun. Dia tahu bila Aira sejak kecil telah ditinggal mati oleh ibunya karena sakit parah, sementara ayahnya menikah kembali dan Aira ditaruh di panti asuhan. Hanya Marselino keluarga terdekatnya, itu pun telah mengkhianati kepercayaan Aira selama ini. Aira kini hidup sendirian, Satrio merasa iba melihat kondisinya. Hampir dua pekan lamanya Aira dirawat di rumah sakit. Dia diberi saran oleh tenaga kesehatan rumah sakit untuk memakai bantuan jasa perawat panggilan mengingat Aira tidak memiliki siapa-siapa. “Dara, tolong tanyakan ke bagian administrasi biaya yang harus saya bayarkan.” Aira mendapat keputusan dokter bahwa dirinya diperbolehkan pulang karena kesehatannya membaik. Dara, perawat panggilan yang disewa, gegas ke bagian administrasi, ia menerima tagihan rumah sakit lalu memberikannya pada Aira. Sewaktu membacanya, Aira terkejut karena ada stempel lunas di tagihan rumah sakitnya. “Siapa yang membayar ini semua?” Aira membaca tagihan puluhan juta untuk pengobatannya telah lunas oleh seseorang. Aira memandang Dara, perempuan itu langsung menggeleng menandakan tidak tahu. Aira pulang ke rumah bersama Dara. Begitu tiba di rumahnya, Aira mendapati Marselino duduk-duduk di teras. Suasana hati yang tadinya baik menjadi suram. Pria itu tidak sendirian, dia membawa perempuan bernama Tasya Amalia yang menjadi selingkuhan suaminya. “Perceraian kita sudah didaftarkan, ada panggilan sidang tiga hari lagi.” Marselino melempar sebuah map ke lantai yang Aira tidak tahu isinya. “Ingat rumah ini akan kita bagi dua.” Tangan Aira terkepal, ingin rasanya Aira menimpuk Marsel yang nirempati terhadapnya. ”Aku baru pulang dari rumah sakit, butuh tempat untuk sembuh, apa harus rumah ini langsung dibagi dua?” tanya Aira, tetapi ia tidak ingin menangis lagi di depan Marsel. “Aku sudah mendapat pembeli rumah ini, meskipun dibeli murah, setidaknya bisa laku,” ucap Marsel tidak sabaran. Aira memilih mengalah, bila dengan menjual rumah ini dia bisa terputus hubungan dengan Marselino itu lebih baik. “Berapa kamu jual?” “Satu milyar.” Mata Aira terbelalak, ia tidak menyangka Marselino menjual rumah jauh di bawah harga pasar. “Kamu gila! Rumah ini kamu jual jauh di bawah harga NJOP, Marsel. Harga tanahnya pun tidak semurah itu!” Aira meradang dibuatnya, ia tidak ingin jadi melepas rumah dengan harga yang begitu murah. “Setidaknya ini dijual dua milyar,” tambah Aira. “Sudah untung ada yang beli, aku tidak mau berlama-lama. Kalau kamu bisa mencari pembeli, besok harus sudah dapat.” Aira merasa ditekan oleh Marsel. “Kamu pikir jual beli rumah seperti membeli kerupuk?” Aira benar-benar makin yakin untuk bercerai dari suaminya. “Aku tidak peduli Aira, besok harus sudah ketemu penjual rumah. Kalau tidak kita akan deal dengan pembeli dengan harga jual satu milyar.” Marsel terlihat menggenggam jemari Tasya, ia menarik lembut perempuan itu lalu melangkah pergi. Dara membopong Aira masuk ke rumah setelah Marsel pergi. Segelas air Dara berikan untuk Aira. Ia pun meneguknya, mata putih Aira memerah, ia ingin sekali menangis. “Dara, maukah kamu membeli rumah ini?” tanya Aira penuh harap, Dara terdiam membelalak. “Bisa kamu bantu saya mencarikan pembeli rumah ini?” tanya Aira kemudian, setelah sadar Dara tidak mungkin punya uang sebesar itu.Kakek Tarasumitro kecewa dengan satrio yang tidak melaporkan keadaan perusahaan yang megalami kerugian, apalgi disebabkan oleh cucunya sendiri.“Sebagai seorang peimpin perusahaan kamu seharusnya tahu bila membiarkan ini semua, maka kamu juga turut terlibat dalam menjatuhkan perusahaan.”Satrio benar-benar merasa bersalah, sekalipun dia pernah memiliki keinginan sedari awal untuk memberitahukan keadaan pada kakek, Satrio menjadi ragu dengan tanggapan kakek yang begitu menyayangi Dinda.“Kakek memang sangat menyayangi Dinda, tetapi membangun perusahaan harus dengan profesional, tidak bisa semau saya. Sudah dari lama kamu harusnya mendiskusikan hal ini dengan kakek, bila bukan Aira, kamu pasti akan terus menyembunyikan ini dari kakek,” ujar kakek Tarasumitro menoleh pada Aira yang tersenyum tipis dengan suara bergetar.Pandangan Satrio juga tertuju pada Aira, ia masih tidak menyangka kalau langkahnya didahului oleh Aira.“Sekali lagi aku minta maaf pada kakek, sebenarnya kedatangan
Sudah beberapa minggu Aira tidak banyak bicara, hanya seperlunya. Satrio merasa tidak nyaman sewaktu kembali ke rumah. Di kantor pun dia tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Dia memutuskan untuk meminta bantuan seseorang.“Kalau mama di posisi Aira, mungkin juga akan melakukan tindakan yang sama,” ujar Ratih setelah mendengar cerita rumah tangga putranya.“Aku mau minta bantuan mama agar bicara pada Aira, aku tahu caraku salah, Ma, tidak jujur dari awal.”“Bukan hanya tidak jujur, Satrio, tetapi kamu juga membiarkan Dinda tetap berada dekat dengan kamu, sementara Dinda menaruh perasaan lebih pada kamu dan Aira tahu itu,” tambah Ratih menilai situasi.“Untuk Dinda mau bagaimana, Ma. Dinda kesayangan kakek, kalau kakek tahu aku memecat Dinda, pasti marah besar dan akan mengorbankan hubunganku dengan kakek,” sanggah Satrio mengingat bagaimana kakek Tarasumitro selalu mendahulukan Dinda.“Anak perusahaan kakek ada banyak, Satrio. Bisa saja diberikan kepada Dinda untuk dipimpin, h
"Baik, aku tidak akan menerima tawaran kerjasama dari pihak yang dikenal oleh Dinda itu."Satrio menyampaikan rasa sesalnya terhadap Aira.Hanya saja, jejak kekecewaan masih melekat dalam diri Aira."Setiap hari kamu akan bertemu dengan Dinda, dia teman satu kantor kamu. Bila kamu tidak kedapatan seperti tadi, kamu pasti tetap akan melepaskan tante Diah, bukan?" cecar Aira dengan suara cetar sembari menatap tajam suaminya.Hanya bisa terdiam, Satrio pun tidak mampu mengatakan tidak atau ya. Ketidaksengajaan tadilah yang sangat disesalinya, membuat masalah baru bagi dirinya dan Aira."Aira, aku minta maaf sekali. Aku menyesal," Berkali-kali Satrio menyampaikan permohonan maafnya, hanya saja Aira tidak semudah itu membalik perasaannya."Aku tidak meminta banyak hal sedari awal pernikahan pada kamu, jujur, hanya kata itu yang aku harapkan dari kamu. Marsel selama dua tahun membohongi aku, nyatanya dia tidak pernah benar-benar mencintai aku!"Kali ini air mata Aira keluar deras, bukan men
Aira terdiam merenungkan maksud dari ide suaminya. "Alasannya apa?" selidik Aira. "Bukannya tante Diah orang yang nekat melakukan apa saja bila ia dibebaskan dari segala tuntutan?" lanjut Aira bertanya. "Em, aku sekedar bertanya," balas Satrio. "Aku tinggal dulu, ya, ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan." Sepeninggalan Satrio, Aira mencoba mendalami apa hal yang terjadi pada suaminya. Hanya saja, ia tidak menemukan kejanggalan sebelum ini. Besoknya, Satrio kembali ke kantor bekerja seperti biasa. Lagi-lagi Dinda datang kepadanya dan menanyakan tawaran yang diajukannya. "Aku menolak kerja sama ini, Dinda." Dinda yang terkejut mencoba menetralkan raut wajahnya. "Kakak tidak tertarik untuk memberi keuntungan besar untuk perusahaan, bukannya kalau kakek mengetahui kemajuan perusahaan kakaklah orang yang diuntungkan, kakek semakin percaya kepada kakak." Satrio memahami kalau Dinda orang yang mahir membujuk orang lain agar memenuhi keinginannya, tidak luput Satrio term
Satrio mulai aktif hadir di perusahaan milik keluarga Tarasumitro, sementara kantor konselingmya dipercayakan pada rekan konselor. Dia memeriksa laporan keuangan sewaktu Dinda yang sempat menjabat sebagai pimpinan perusahaan."Kakek harusnya tahu ini, selagi tante Diah di dalam tahanan," ujarnya untuk diri sendiri.Satrio membaca kerugian perusahaan mencapai milyaran rupiah. Nilai yang cukup besar.Ketukan pintu membuyarkan fokus Satrio."Permisi Pak, Ibu Dinda ingin bertemu," lapor sekretaris Satrio yang saat ini seorang laki-laki.Satrio berpikir sejenak apakah ia harus menerima Dinda."Suruh masuk."Dinda dengan senyum menawan memasuki ruangan Satrio."Ruangannya berubah total, ya. Selera kakak bagus juga." Dinda menatap keseluruh penjuru ruangan. Satrio mencermati ucapan dan sikap Dinda. Terkadang Dinda hanya memanggil namanya, lain waktu ia akan memanggil kakak pada Satrio."Datang kemari bukan untuk menilai ruanganku, bukan?" tanya Satrio tak ingin berbasa-basi.Dinda tertawa p
Aira tidak ingin berada terus dalam kesedihan, usai membasuh tubuh, ia pergi menemui putra mereka di kamar yang berbeda. Kamar khusus itu dirancang untuk mendukung kesehatan Sultan dengan segala perlengkapan bayi. Hilang rasa sedih Aira begitu menatap dan menggendong Sultan, semua berubah menjadi rasa gembira."Apa Sultan rewel selama saya tinggal, Sus?" tanya Aira pada pekerja yang spesifik untuk membantu merawat Sultan. "Tidak, Bu. Jadwalnya juga berjalan seperti biasa," jawabnya.Kehadiran Aira tepat di waktu Sultan akan menyusu, dengan telaten Aira memberikan apa yang menjadi kebutuhan Sultan."Suster Ana boleh istirahat," ujar Aira yang tidak ingin terlalu memberatkan pekerjanya.Mereka mempekerjakan orang-orang dengan menyediakan tempat tinggal dengan memenuhi segala kebutuhan pribadi mereka sehingga yang tinggal di sana betah bekerja.Suster Ana izin meninggalkan kamar Sultan, kini tinggallah mereka berdua. Aira yang senang bernyanyi mulai bersenandung kecil dengan ciptaan l







