"Pangeran itu selalu memerhatikan rakyatnya, dari sandang dan pangan serta pendidikan, kesemuanya terpenuhi dengan baik. Tidak ada kerusuhan dan pemberontakan, ketika pangeran bijaksana itu memerintah. Kesemua rakyat pun sangat mencintainya. Namun... beberapa tahun kemudian, datang kancil-kancil busuk yang menjijikkan. Mereka menggerogoti harta pangeran, ketenangan rakyat pun menjadi gusar. Semenjak itu negara kita menjadi awut-awutan."
"Terusin Kak, terusin Kak..." seru Caca dengan bertepuk tangan. Ovan tersenyum sinis, sementara Agus malah sudah terlelap dengan balutan mimpinya.
"Setahun kemudian, negara kita diperintah oleh kancil-kancil itu. Pangeran sakit parah, akhirnya dia meninggal. Negara kita pun menangis darah, rakyat dilanda kesedihan yang tak kunjung berhenti. Bagaimana tidak, pangeran yang dikenal bijak dan bisa memberi kesejahteraan kepada rakyat itu, kini malah pergi meninggalkan mereka ke surga, sementara negara kita sedang dikuasai o
Daun flamboyan yang ada di halaman rumah Dewa telah kembali menyimpan embun. Tetes-tetes air pagi itu menjatuhi bumi, dari satu daun ke dedaunan yang lainnya. Ayam jago milik tetangga saling berkokok. Derap langkah kaki renta telah sedari tadi pulang dari surau sebelah. Seekor burung bertengger di ranting pohon nangka mematuk ulat bercat hijau. Hewan piaraan kampung saling bergongong meminta jatah makan. Sang petani pun menatih langkah menuju sawah.Nyonya Finda telah bangun dari tadi shubuh. Seperti biasanya sebelum berangkat kerja ke kota, beliau tak lupa melaksanakan rutinitas istana yang seolah telah menjadi kewajibannya. Barang ditinggal sehari saja, akan berantakan, jika rutinitas itu dicampakkan. Sebelum mengetuk daun pintu kamar putra termalasnya, beliau membersihkan debu-debu ruangan. Menyedotnya dengan sanyo, atau mencumbu tubuh marmer dengan kain pel, beserta sahabatnya cairan superpell. Usainya, masakan di dapur harus disajikan. Tak lupa menyiram tanam
Tempat bernaung saja beratap langit, apalagi sekolah. Nampaknya bisa disebut mustahil. Kali ini dia duduk di kasurnya. Celingak-celinguk sembari menggagapi permukaan kasurnya. Ada benda yang dicari. Kamera, oh ya, kamera Cannon SLRnya di mana? Dia panik. Langsung loncat ke bawah ranjang. Mengintip kolong ranjang. Oh tak ada, di depan pintu semalam dia bersandar juga tidak ada. Lantas? Dia melangkah menuju tikar yang dilembar di bawah, sejenak dia jongkok. Mengobrak-abrik buku dan alat-alat belajar yang ada di atas meja depan tikar itu. Oh tidak ada juga. Di mana?"Di mana kameraku? Jangan bilang hilang! Itu benda berharga milikku, jangan bilang hilaaaannnnggggg!!!!" jeritnya lalu mengacak-acak rambutnya. Pening pun semakin menyekat. Dia membanting tubuhnya lagi ke kasur. Nampaknya dia telah pesimis menjelajahi ruang sempit itu untuk mencari benda berharganya. Masih ada tempat lain yang membuatnya optimis, rumah Chika atau pun penjual makanan kemarin. Tapi tampakny
Pagi itu Mawar diantar menuju kontrakan teman Zafan. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauh, jadi cepat sampai. Wajah Mawar layu dan kusam. Dia bahkan belum sempat mandi dan mencuci muka, Zafan sudah membangunkannya, dengan tergesa-gesa lalu langsung menarik tangannya."Kenapa keburu-buru banget sih, gue masih ngantuk!""Kalau temanku sudah sampai kontrakan dan kamu belum sampai di sana, aku bisa kena marah," kata Zafan panik sambil terus mengemudi tanpa menoleh. Mawar mengambil beberapa alat kecantikan dari dalam tasnya. Sejenak bibirnya dipoles lipstik, pipinya ditaburi bedak agar tak terkesan habis bangun tidur. Tak lupa maskara, aisido, dan yang lainnya. Parfume disemprotkan di tubuhnya."Kau ini sudah cantik, tanpa harus memakai make-up, Mawar." Puji Zafan."Semua lelaki bermata keranjang juga akan bilang seperti itu," timpal Mawar."Tapi aku beda dengan yang lain," Zafan coba membela diri. 
Chika bolak-balik di depan rumahnya. Berkali-kali dia lirik jalan masuk ke rumahnya. Tak ada sosok yang ditunggunya. Bukan hanya satu kali dia mengirim sms kepada Dewa, sayangnya tak pernah ada balasan. Hatinya pun menjadi gelisah. Kekhawatiran berkecamuk di dalam dadanya. Dia takut kalau Dewa sampai tidak sekolah lagi dan waktunya akan hampa kembali. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, belum ada langkah kaki Dewa untuk mengambil sepedanya. Sebenarnya ada apa dengan anak itu?Sepeda Dewa telah dicucikannya tadi subuh. Harapannya esok itu Dewa datang untuk mengambilnya serta mau mengajaknya berangkat bareng naik sepeda sampai sekolahan. Tak dihiraukan terlambat atau tidak, yang penting bisa naik sepeda bareng dengan Dewa. Impian itu nampaknya akan sia-sia. Dewa tak kunjung datang, dia pun hanya bisa menggerutu kesal bersama rasa kecewanya. Sekali dia lirik hapenya, berharap ada jawaban dari sms Dewa. Tidak ada juga. 'Anak itu masih tidur atau apa sih? Kenapa smsk
Dewa membuka retinanya, dia lirik jam dinding yang ada di atas kepalanya. Waktu mengatakan bahwa Nyonya Finda telah berangkat kerja. Dia pun langsung loncat dari kamarnya untuk mencari makanan. Untunglah Nyonya Finda tetap perhatian, mau memasakkan kepadanya. Oh kasih ibu memang sepanjang masa. Sekesal-kesalnya ibu beliau tidak akan pernah menerlantarkan anaknya sampai kelaparan. Lahap sekali Dewa mencernanya. Dia menghabiskan dua potong roti tawar berlapis selai strowbery, sepiring nasi beserta tiga lauk paha ayam dan sayur sopnya. Masih banyak sayur yang lainnya namun dia tidak suka. Cukup sop dan paha goreng saja. Setelah merasa kenyang naik kembali ke lantai dua."Kenyangnya..." celoteh Dewa sambil memegangi perutnya.Tidak sengaja pandangannya tertuju pada hapenya yang tergeletak layu di atas kasur. Dari kemarin dia tidak pegang hape. 'Ada sms masuk atau tidak ya?' Gumam Dewa lalu mengambilnya. Sejenak dia duduki tumpukan kapuk tuanya. Matanya me
Dewa diam sambil tersenyum sinis. Matanya memerhatikan ke bawah. Ke dua kaki Bapak itu menginjak tanah. Memang sepantasnya kalau pengemis sakit beneran mana bisa membeli perban, boro-boro beli perban makan saja susah. Setidaknya kalau pengemis itu beneran, kan akan mendahulukan mana yang lebih penting atau tidak. Dan setahu Dewa kalau pengemis yang kaki atau tangannya dibalut perban itu hanya modus (modal dusta). Seperti yang ditemuinya di Jogja atau di terminal-terminal tempat makam Sunan Wali Songo."Sakit ya, Pak?" Dewa menendangnya lagi. "Maaf," seloroh Dewa kemudian tanpa berdosa. Dia lalu memasukkan beberapa kepingan logam ke dalam gelas aqua yang sedari tadi dipegang Bapak itu."Seharusnya Bapak berpikir! Kaki Bapak masih bisa berjalan dengan sempurna, kenapa malah bohong-bohongan seperti ini? Bapak mau beneran terluka?" hardik Dewa.Bapak itu diam, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia merasa telah dipermalukan oleh
"Roboh, Kak." kata Intan sayu.Rumah kardus hanya menyisakan kenangan. Kertas-kertasnya tak lagi mau menjaga mereka dari terik sang surya. Tubuhnya lembek tersungkur di tanah. Tiang-tiang penyangganya pun ikut rapuh. Porak-poranda laksana rumah yang terkena badai besar. Bukan hanya milik mereka saja, milik anak jalanan yang lainnya pun juga terkena nasib yang sama. Sekarang mereka tak punya rumah lagi. Airmata Caca sebentar lagi akan merembas. Hatinya sedih, kenapa rumahnya yang dulu selalu memberi kehangatan ketika kelam datang roboh."Rumaaahhhkuuu," jerit Caca sambil jongkok memunguti kardus-kardus itu."Caca!" Ovan lari memeluknya. "Sudahlah, nanti kakak buatin lagi yang lebih bagus, jangan menangis ya?" pinta Ovan sambil mengelus kepala Caca.Enggar ditidurkan di atas tumpukan kardus itu. Dia diselimuti sarung. Intan hanya terpaku merenungi keadaan. Dalam hatinya dia menggumam, kapan penderitaan hidupnya akan beruj
"Ih kok selesai sih Kak!" Caca protes sambil memukuli tubuh Intan. "Lanjut! Lanjut!" seru Caca."Kelanjutannya, Caca itu nggak boleh sedih karena kita tidur di jalanan atau rumah kita hancur lebur, sesungguhnya kebahagiaan itu bukan karena harta. Kebahagiaan itu ada di dalam hati." Menunjuk dada Caca."Tapi Kak, kalau tidur di jalanan dingin,""Tidak apa-apa, Tuhan Maha Tahu dan Maha Penyayang, kelak Caca dan yang lainnya akan mendapatkan hadiah kebahagiaan yang kekal." Intan meyakinkan."Apa?""Surga yang abadi, asalkan kita sabar dan tabah menjalani hidup ini," seru Intan sambil mengelus kepala Caca.Banyak orang berpikiran bodoh. Dengan harta yang ditimbun kebahagiaan akan merangkul duka mereka, apa pun akan dapat digapai dengan emas permata. Bahkan cinta bisa didapatkan dengan harta. Tidak! Kebahagiaan sejati hanya ada di dalam hati dan dengan ketulusan rasa. Bahagia adalah ketenangan jiwa, di ma