Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai bambu di Paviliun Naga, memantul indah di atas benang-benang rajut yang tergeletak di pangkuan Zhao Xueyan. Jemarinya yang lentik dengan tenang bergerak, mencoba merangkai simpul demi simpul syal dari benang wol berwarna giok muda. Wajahnya tenang, sesekali mengerutkan dahi saat simpulnya meleset.“Aih, kenapa bisa miring lagi?” gumamnya pelan, bibirnya membentuk senyum tipis.Namun sebelum ia sempat membetulkan benang itu, suara langkah cepat bergema dari luar. Tak lama, tirai tersingkap dengan cepat dan muncullah Niuniu, wajahnya sedikit memerah karena berlari.“Permaisuri! Permaisuri, kabar penting!” serunya dengan suara sedikit terengah.Zhao Xueyan menoleh, sedikit terkejut, “Niuniu? Apa yang terjadi? Kau berlari seperti hendak dikejar harimau.”Niuniu berdiri tegak, matanya berbinar, “Kabar dari medan perang, Permaisuri! Kaisar... Kaisar telah menang! Kekaisaran Zhengtang telah jatuh! Kaisar Zheng Yu ... telah tewas!”Benang di tang
Angin berembus membawa kabar yang lebih cepat dari langkah kuda pos kerajaan. Dalam waktu singkat, berita tentang kekalahan telak Kekaisaran Zhengtang dan tewasnya Kaisar Zheng Yu di tangan Kaisar Tian Ming menyebar ke seluruh pelosok negeri. Bahkan di ibu kota Kekaisaran Zhengtang sendiri, rakyat terperangah ketika mendengar kabar itu dari para pengawal yang kembali dan para pedagang lintas wilayah.Di sebuah pasar, kerumunan orang mulai berdatangan, membicarakan kabar besar itu dengan suara berbisik-bisik penuh kecemasan.“Apa kau dengar?” bisik seorang wanita tua kepada tetangganya. “Kaisar Zheng Yu … dia telah tewas.”“Aku mendengar hal yang sama,” jawab pria paruh baya yang tengah menimbang bawang. “Kata penjaga gerbang, kepalanya dipenggal oleh Kaisar Tian Ming sendiri di medan perang.”“Ya Tuhan Langit .…” bisik wanita itu, memegangi dada. “Lalu … bagaimana dengan kita? Apakah Kekaisaran Tianyang akan membumi hanguskan kota kita?”Seorang pemuda kurus yang mendengarkan dari kej
Langkah Kaisar Tian Ming mantap menyusuri tanah medan pertempuran yang berlumur darah. Setiap langkahnya seolah menandai akhir dari sebuah era. Di hadapannya, Kaisar Zheng Yu mulai mundur perlahan, tubuhnya penuh luka, napasnya berat, wajahnya pucat pasi.“Jangan dekati aku … Tian Ming,” ucap Zheng Yu dengan suara serak, matanya liar mencari celah untuk bertahan. “Aku masih … masih bisa bertarung .…”Tian Ming tak menjawab. Sorot matanya dingin. Ia hanya terus melangkah, pedang di tangannya meneteskan darah lawan.“Jangan berpikir, kau sudah menang!” seru Zheng Yu, lalu tiba-tiba melemparkan pedangnya dengan kekuatan terakhirnya.Swish!Tian Ming dengan sigap memiringkan tubuhnya, pedang itu meleset dan menancap ke tanah di sampingnya.Zheng Yu menyeringai, lalu tiba-tiba menggerakkan tangan dan melempar segenggam pasir ke arah wajah Tian Ming.Whoosh!Tian Ming refleks menutup matanya dengan satu tangan. “Hmph!”Saat itulah, dari balik lengan bajunya, Zheng Yu menghunus sebilah belat
Deru angin di medan perang terhenti sesaat.Begitu tubuh palsu Zhao Xueyan roboh ke tanah, Kaisar Tian Ming langsung melesat bagaikan angin badai. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Kaisar Zheng Yu, dan dalam sekejap, pedang panjangnya dibebaskan dari sarung.Ciiing!Logam bertemu logam. Kaisar Zheng Yu menahan serangan mendadak itu, namun getaran kuat dari benturan pedang memaksa kakinya menyeret mundur beberapa langkah. Debu tanah beterbangan mengiringi setiap langkah beratnya.“Beraninya kau menggunakan wajah Xueyan untuk menjebakku .…” suara Tian Ming terdengar rendah, tapi nadanya penuh amarah dingin, “Kau telah melewati batas, Zheng Yu.”Zheng Yu menyeringai, meski nafasnya sedikit terengah.“Dan kau terlalu mudah terbakar emosi, Tian Ming! Aku hanya menggunakan cara licik yang dulu pernah digunakan ayahmu sendiri!”Kaisar Tian Ming tidak membalas ucapan itu. Ia kembali menebas cepat, gerakan pedangnya gesit dan mematikan. Zheng Yu menangkis, namun pergelangan tangannya tergeta
Zhao Xueyan meletakkan cangkir tehnya dengan lembut di atas tatakan. Tatapannya masih tenang saat mengangkat wajah, matanya mengarah langsung pada Ibu Suri Gao.“Aku menghargai niat baik Putri Min Ji,” ujarnya lembut, “Tapi sebagai istri, aku percaya bahwa doaku yang terdalam tidak perlu selalu diumbar dalam bentuk yang terlihat. Doa yang sejati adalah keyakinan yang diam namun kuat, dan aku tidak perlu membuatnya jadi pertunjukan.”Min Ji tersentak kecil. Sementara Ibu Suri Gao memicingkan matanya.Zhao Xueyan melanjutkan, dengan nada tetap tenang, tapi ada kilatan tegas di suaranya.“Lagipula, daripada membandingkan siapa yang berdoa lebih banyak atau lebih keras, bukankah lebih penting memastikan siapa yang benar-benar tidak menyimpan niat tersembunyi saat mengucapkannya?”Min Ji menegakkan punggungnya, masih dengan ekspresi polos, namun jelas dadanya naik turun menahan emosi. Kim Na menepuk pelan tangan anaknya, menyuruhnya untuk diam.Ibu Suri Gao tampak menahan napas, matanya be
Siang itu, cahaya mentari menyusup lewat kisi jendela ruang jamuan makan istana. Meja panjang dengan taplak emas dan porselen mewah sudah tertata rapi. Duduk di ujung utama, Ibu Suri Gao dengan jubah kebesarannya, dikelilingi tiga tamu dari negeri seberang. Percakapan dalam bahasa asing terdengar ringan dan akrab di antara mereka. Ibu Suri Gao tertawa lembut, namun nada angkuh tetap melekat pada suaranya. “Putri Min Ji, seandainya saja istana ini memiliki lebih banyak wanita seanggun dan serendah hati sepertimu, yang tua ini pasti akan bahagia apalagi kau menjadi bagian dari keluarga kekaisaran,” katanya sambil menatap penuh makna. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari koridor. Beberapa pelayan memasuki ruangan, dan di belakang mereka, Zhao Xueyan muncul dengan anggun namun tenang. Ia mengenakan hanfu putih berbordir emas, berjalan penuh percaya diri menuju meja. Senyum di wajah Ibu Suri Gao seketika memudar. Suasana jadi dingin dalam sekejap. Zhao Xueyan berhenti