Sebaik apapun Svaha mencoba untuk menilai dirinya sendiri dan memilah hal-hal menakjubkan yang ada pada dirinya sampai hari ini, sampai setinggi dan seumurnya kini, sepertinya Svaha hanya akan dibawa pada satu kesimpulan; kalau dia adalah lelaki berhati lemah.
Yang pertama, tanpa banyak prakata (ia tidak akan membela diri), ia jatuh pingsan setelah proses bersalin Swan, Ibunya. Svaha—sulit mengungkapkan istilah yang terjadi dalam tubuhnya. Otaknya tak henti-hentinya mengirim sinyal palsu, ia khawatir, curiga, senang di saat yang sama, ia kagum. Savanna, Svaha pikir akan membencinya—ternyata ia menyukai bayi itu. Svaha mudah dirasuki perasaan simpati. Bayi itu membuatnya jatuh hati. Lalu ia kewalahan menangani perasaan yang banyak itu dalam satu waktu.
Svaha korslet. Ia menemukan dirinya terbangun di brankar pasien, tepat di sebelah ibunya yang cekikikan karena senang melihatnya dalam ketidak berdayaan. Dan dari detik itu, semua orang susah payah menyuruhnya menyingki
Waktu itu angin sejuk dari akhir musim hujan meniup-niup daratan kota Eila, memberikan rasa sejuk dan hangat yang seimbang untuk sekedar berjalan-jalan keluar di tengah hari sambil menikmati pemandangan sawah dan perkebunan kebanggan kota mereka. Tanah yang tidak pernah berhenti memproduksi sayuran segar dan buah-buah yang menggiurkan dan bernilai mahal. Di bawah pohon nangka besar di ujung kebun apel dan lemon milik salah satu keluarga paling kaya di kota Eila, Arkana berjongkok sambil memunguti daun-daun kering untuk bahan prakaryanya. Sudah setengah jam ia menunggu Svaha di sana, beberapa tetangga yang lewat menyapanya dengan ramah, namun teman baiknya tidak kunjung muncul. Jadi, Arkana memutuskan untuk mulai memungut daun-daun itu sendirian. Beberapa helai rambutnya melambai-lambai bersama desiran angin yang semakin lama semakin membikin gigil. Arkana sudah bersin lebih dari tiga kali, ketika langkah kaki itu mendekatinya. Arkana memasang wajah senang sambil meno
Svaha dan Arkana. Sekarang Arkana baru mengerti kenapa nama itu kedengaran bagus. “Kamu pikir apa kita perlu mengganti namanya?” “Nama itu akan cocok dengannya. Kita tidak perlu menggantinya.” Svaha menarik dagu gadis di depannya, dengan ibu jarinya ia membelai vermilion—bibir bawah Arkana. Arkana menjilat ujung jari Svaha. Lelaki itu tertegun, kemudian mencucup sudut bibir sahabatnya. Dengan akurasi yang baik, ia telah meletakkan puzzle itu di ceruk yang tepat. Arkana mendesau. Menggamit bahu Svaha, merabai tulang selangkanya. Arkana sangat ingin merobek pakaiannya. “Ingatan itu, mulai berputar di kepalaku. Masa kecil kita.” Arkana berbisik. “Ibuku akan marah. Ia akan membunuhku.” Svaha menggigil. “Mamaku akan mengamuk, ia akan mencoret namaku dari daftar ahli waris. Tak apa, kami memang tidak sekaya itu.” Nafas Svaha menyapu permukaan wajah Arkana. Lengan
Di rumahnya, Svaha memiliki sebuah nampan besar yang hanya dikeluarkan dan digunakan untuk arisan tiga bulan sekali. Bentuknya bundar, terbuat dari bahan melamin tebal berwarna merah tua. Kapasitasnya bisa menampung lima sampai tujuh cangkir kopi. Tapi kali ini hanya ada empat di atas sini. Karena masih kesal, ia biarkan Arkana membawa cangkirnya sendiri. Di meja makan, Cantra duduk berhadapan dengan Swan. Veronika bersantai di tempat duduk kesukaannya (di sebelah Awan), dan Arkana duduk di sudut yang lebih pendek dekat dengan Cantra. Svaha bertanya-tanya soal itu. Ia mengulurkan cangkir satu persatu ke hadapan mereka. Ibu, Tante Ve, Cantra, miliknya sendiri. Cantra tersenyum, mengucapkan terimakasih dan maaf merepotkan yang tulus. Svaha membalas senyum itu. Sambil menyelidiki adanya kepalsuan di sana. Kalau-kalau Cantra datang untuk memergoki sikap menyimpang Svaha dengan Arkana. Kalau-kalau perempuan itu datang dengan harapan bisa melihat penyelewengan mer
Arkana ingat suatu hari di awal musim hujan. Bulan November. Ketika awan gelap menutup setiap celah langit dan hujan jatuh seperti bulir-bulir peluru senapan angin. Besar dan menyakitkan. Malam ketika Papa meninggalkannya. Meninggalkan Arkana dan Veronika. Sesekali kilat menyala selama beberapa mili detik. Dengan cahaya putih yang mirip lampu LED. Menerobos ke dalam jendela mobil keluarga itu. Membuat semuanya nampak terang sesaat, kemudian meninggalkan kegelapan yang lebih menjadi, lebih misterius. Waktu itu Veronika yang menyetir, ia mengenakan baju tidur lengan panjang berwarna gelap. Matanya tertuju pada dua hal, kaca spion atas dan jalan di depannya. Tatapannya memancarkan rasa cemas dan takut. Belum pernah Arkana melihat Veronika berwajah takut. Veronika yang biasanya adalah perempuan kaku, keras kepala dan meledak-ledak. Sedang Papa mengenakan yang warna putih. Ada noda darah di bagian dada. Veronika membaringkannya di kursi belakang. Matanya pejam.
Di antara semua siksaan yang paling menyakitkan, melihat Arkana saat ini adalah yang paling mengerikan bagi Svaha. Seseorang mengikatnya di kursi. Kursi makan itu dibuat dengan kayu mahogani. Sandarannya tinggi berpilar tiga, punggung Arkana menempel di sana. Talinya dari akar pohon beringin berusia tua, terjalin melingkari tubuh montoknya. Sementara kulitnya yang mulus—mulai robek karena sempat memberontak. Svaha memanggili namanya, oh Arkana. Tapi gadis itu tidak mendengarnya. Wajahnya tunduk, rambutnya lengket terjuntai-juntai. Svaha meneriaki namanya, oh Arkana! Tapi Arkana tidak bergerak. Dia layu bersama darah yang mengucur jatuh ke lantai. Punggungnya ditancapi beling. Dan jari-jari tangannya putus satu persatu. Svaha mengobati dirinya sendiri dengan rintihan, “Ini hanya mimpi. Ini tidak nyata.” Meski tubuhnya meragukannya, dadanya sakit karena peristiwa itu. Ketika Svaha ingin mendek
Hujan masih turun. Derainya mengetuk-ngetuk atap, memainkan bunyi gemerutuk bergantian dan konstan. Seperti sebuah lagu dari kejauhan. Sayup dan sulit ditangkap maknanya. Sepatu Arkana sudah basah sepenuhnya dan beraroma lumpur. Warnanya cokelat dan semakin menghitam. Beberapa kali bulir hujan bergulir dari atap menggali kubangan kecil-kecil—airnya mental ke tulang kering gadis itu. Dingin dan menggelikan. Arkana berjongkok. Masih menunggu orang itu datang. Arkana merasa harus bicara padanya. Setelah mobil ibunya melaju kembali ke rumah keluarga Nirmala, Arkana memutuskan untuk berdiang sebentar di bawah langit. Arkana tidak butuh keteduhan. Ia hanya butuh hujan membilas kemarahannya. Kekecewaan. Atau apapun namanya yang membuat jiwanya merasa sesak dan ingin dibebaskan. Sementara. Dan ketika sudah merasa cukup tenang, Arkana memutuskan untuk menyusuri setiap kelokan, ia melangkah di atas tanah lembek, menuju perkebunan itu. Tubuhnya menggigil karena baju yan
Agaknya, pagi ini Svaha harus mengutarakan rasa sayang dan terimakasihnya pada bayi Savanna lebih dari sebelumnya. Karena baru saja tangisnya yang keras luar biasa mampu menyelamatkannya dari sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk itu soal Arkana tentu saja. Tiga hari setelah insiden kedatangan Cantra yang tiba-tiba, hidungnya yang bengkok belum juga kelihatan. Bukan hal yang aneh, karena mungkin saja Veronika yang didikannya keras sedang menghukumnya. Ya, Arkana sudah terlalu tua untuk selalu dihukum. Tapi, emosinya yang pendek dan mudah tersulut sering membuat orang gemas padanya. Svaha memang tidak menanyakan ini pada Veronika. Atau pada Swan. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengatur atau terlalu khawatir. Karena kembali lagi, itu bukan urusannya. Dan Arkana, sudah besar. Gadis itu berhak menghilang, juga berhak muncul kapanpun ia mau. Di saat perkuliahan juga begitu. Svaha tidak bisa membuatnya tinggal di kos yang sama dengannya. Lagi pula mungkin menurut kebanyakan ora
Arkana seringkali bercanda soal kutukan Veronika, kalau setiap hari dalam hidupnya dimulai dengan mendengar suara ibunya, maka kesialan akan mendatanginya selama dua puluh empat jam. Arkana tahu itu jahat. Namanya juga bercanda. “Arkana, bangun. Cepat.” Veronika menjatuhkan tas jinjingnya di kepala anak perempuannya. Dengan sengaja. Arkana nyap-nyap. Langsung duduk. Kepalanya pening. Kunang-kunang terbang menjauh. “Apa-apaan ini?” tanya Arkana dengan nada lemah karena kebingungan. “Ponselmu bunyi,” sahut Veronika sambil lalu. Di pundak ia sampirkan handuk. Berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang lesu dan mengantuk. “Hentikan kebiasaan itu Mama. Kau terlihat seperti bapak-bapak!” teriak Arkana. “Kamu lupa kalau aku ini sudah merangkap sebagai bapakmu selama enam belas tahun?” “Pft…” Arkana mencibir. Tangannya meraba-raba permukaan sofa untuk menemukan telepon genggam pemberian Cantra. Kompensasi karena miliknya dirusak a