Langkah Laura terdengar cepat ketika ia turun dari mobil. Ia tidak menunggu Brian membukakan pintu untuknya seperti biasa. Wajahnya sama sekali tak menoleh ke arah Brian. Laura masuk ke dalam mansion tanpa sepatah kata pun.Brian mengikutinya dengan segera, matanya menatap punggung Laura yang semakin menjauh. Rasa cemburu yang tadi meluap kini berganti jadi cemas—takut kalau Laura benar-benar menjauh darinya.“Laura ..,” panggil Brian pelan ketika mereka sampai di lantai dua. Suaranya terdengar berat, seakan berusaha menahan sesuatu.Laura berhenti tepat di depan kamar, lalu menoleh sekilas. Tatapan matanya sayu,“Aku … butuh waktu, Brian.”Ia membuka pintu kamar dan menutupnya keras, membuat dentuman kayu memantul di sepanjang lorong mansion.Brian terdiam, tangannya sempat terulur ke pintu itu, tapi urung untuk mengetuk. Nafasnya mendadak berat, rahangnya menegang. Ia merasa Laura ingin menghindar darinya—padahal hubungan mereka sudah begitu jauh, bahkan telah tidur bersama. Bukank
Megan duduk di pojok sofa sebuah lounge mewah dengan wajah murung. Matanya bengkak, setelah menangis setelah diusir dari mansion Brian. Kudapan dan minuman yang dipesannya, nyaris tak tersentuh. Armand Dubois datang terlambat beberapa menit. Ia mengenakan setelan rapi, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat Megan yang melambaikan tangan padanya. “Hai, maaf menunggu lama. Ada rapat mendadak yang harus aku hadiri.” Ia duduk di seberang Megan, tatapannya penuh empati yang dibuat-buat. "Kau baik-baik saja?""Apa aku terlihat baik dengan mata seperti ini?" Megan bertanya balik.Armand tersenyum, “Aku sudah mendengarnya. Kau mencoba menemui Laura pagi ini, dan … kau diusir Brian?” Megan menunduk, bibirnya bergetar. “Aku mencemaskan Laura.” Megan menyeka air matanya lagi. “Kau tahu bukan, meski Laura adalah saudara tiriku tapi … kami cukup dekat.” Armand menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Sekarang kau percaya b
Laura merapikan berkas pasca operasi yang dilakukannya beberapa hari terakhir. Cukup melelahkan mengingat keseluruhan operasi yang dilakukan Laura termasuk kategori besar dan berat. Ia melirik ke arah Brian yang duduk di sofa, seolah menjadi pengawal pribadinya yang tak kenal lelah. “Brian, kau tidak pergi hari ini?” “Hm, kenapa? Kau terganggu?” balasnya bertanya tanpa menatap Laura. Jari Brian sibuk menggulir tablet di hadapannya sambil sesekali mencocokkan data di tangan yang lain. Laura menghela nafas, ia enggan berdebat karena tubuhnya benar-benar lelah hari ini. telepon diatas meja Laura berdering, terdengar suara operator wanita di seberang sana terdengar. “Dokter, ibumu menelpon, line tiga.” “Ibuku? Oh, baiklah.” Ia menjawab sambil menarik nafas panjang. “Laura, astaga … akhirnya kami bisa menghubungimu. Megan tadi pagi datang ke rumahmu. Dia bilang ingin bicara secara pribadi, tapi ketika kembali, wajahnya muram. Dia bilang tidak bertemu denganmu.” suara Ma
Laura berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit. Bayangan wajah Dave di restoran tadi terus menghantui pikirannya. Senyum sinis, tatapan penuh ejekan, serta ancaman yang terselubung—semuanya membuat perut mual dan jantung Laura berdegup tak menentu.Brian yang sejak tadi duduk di kursi, memeriksa beberapa dokumen dari Lucas, memperhatikan diam-diam istrinya. Ia naik ke ranjang, meraih tubuh Laura yang gelisah.“Kau masih memikirkan dia.”Laura menggigit bibirnya, matanya berembun. “Aku tak mengerti … kenapa dia harus muncul, Brian? Tidakkah dia puas mempermainkan ku?”Brian menariknya ke dalam pelukan hangat. Tubuhnya yang kekar membuat Laura merasa kecil dan aman di dekapannya. Tangannya mengusap pelan rambut istrinya, suaranya menenangkan.“Dia tak bisa menyentuhmu lagi, Laura. Tidak selama aku di sini. Biarkan aku yang mengurusnya.”Laura menutup mata, merasakan detak jantung Brian yang stabil, berbeda jauh dengan degup jantungnya yang kacau.“Tapi aku takut … ucapannya
Kau lelah?” Brian bertanya dengan nada rendah, suara yang nyaris menyerupai bisikan. Laura menoleh, seulas senyum samar muncul di wajahnya. “Hari ini memang … sedikit melelahkan. Apalagi … harus menghadapi dua pria dengan dominasi yang sama-sama kuat. Tapi aku baik-baik saja.” ia menutup mata seolah ingin mengusir sisa kepenatan. “Kau menyindirku?” Brian mendekatkan wajahnya pada Laura, sangat dekat hingga nyaris berciuman. Hembusan nafas Brian terasa hangat, tapi Laura tidak ingin membuka matanya dan membiarkan Brian mengecup singkat pipinya. “Apa Tuan Marchetti merasa tersindir? Baguslah kalau begitu.” Brian tersenyum, “itu hakku sebagai suamimu jadi … jangan mengeluh.” “Hmm, aku tahu.” Mesin mobil bergetar halus, membawa mereka menjauh dari keramaian. Hening menyelimuti kabin, hanya diselingi suara napas dan alunan musik pelan dari radio. Brian sempat melirik ke arah Laura. “Kita pulang?” tanya Brian akhirnya, nadanya lembut, tapi tersirat sesuatu yang lebih dari sekadar t
“Kau cantik sekali malam ini.” Laura tersenyum tipis. “Rafael… kau sudah lama di sini?” “Cukup lama untuk melihat semua orang menoleh saat kau masuk,” jawab Rafael sambil menjabat tangannya. Sentuhan itu sedikit terlalu lama, membuat Brian yang berdiri di sampingnya memandang tajam. Brian mencondongkan badan sedikit, nadanya tenang tapi dingin. “Dokter Rafael Ortega.” “Tuan Marchetti,” balas Rafael dengan senyum tipis, “Kita bertemu lagi.” “Ya,” jawab Brian singkat, jemarinya kini melingkari pinggang Laura. “Aku harap kau menikmati seminarnya dan istriku akan duduk bersamaku malam ini.” mata Brian menatap tajam penuh intimidasi pada Laura. Laura tersenyum canggung. “Sayang sekali,” Rafael menoleh ke Laura lagi. “Kita belum sempat membicarakan rencana kerja sama departemen gabungan. Mungkin … nanti?” Sebelum Laura sempat menjawab, Brian sudah membimbingnya ke meja utama. Tatapannya pada Rafael tajam. Itu bentuk peringatan tanpa kata. Rafael hanya berdiri memandang, senyu