Kala memilih sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan seruan kecil berupa ajakan menjadi salah satu fans orang yang ia kenal. Kala menggeleng heran dibuatnya. Bagaimana bisa ada fans club seorang Andaru Aria di sekolah Sheryl?
Mungkin kalau Risa mengetahui hal ini, sahabatnya akan mendaftar paling awal. Mengingat saat pertama kali Risa bertemu, pujian ganteng lolos begitu saja dari bibirnya. Belum lagi gosip seputar majikannya itu. Bahkan Kala sampai bosan mendapat pertanyaan, “Istri Pak Daru pernah datang, Mbak?” Atau. “Kan, benar saya bilang juga apa. Pak Daru itu Hot Duda.”
Bagi Kala, semua itu tak penting. Yang terpenting baginya adalah Sheryl. Anak asuhnya. Status Daru ia tak mau tahu. Bukan urusannya. Sama sekali. Walau apa yang para penggosip yang kebanyakan adalah pengasuh juga, benar adanya. Wajah Daru memang tampan, diakui sendiri oleh Kala namun, itu semua bukan lantas membuat dirinya terpesona. Sama sekali tidak.
Cuk
Menghabiskan sisa waktu sore ini bersama Sheryl, setidaknya bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya. Ia meminta Ahmad dan Kala pulang lebih dulu. Toh, dirinya sudah menyelesaikan urusannya dengan wali kelas Sheryl."Tumben Papa jemput Sheryl."Saat melirik ke arah sang putri, ia sedang asyik menjilati es krim bagiannya. "Enggak suka?"Sheryl justru tertawa girang. "Senang banget malah. Biasanya Papa, kan, pulang malam, lah. Lembur, lah. Tumben aja sekarang jemput."Ada sesal yang mendadak menyelimuti hati Daru kala binar mata polos itu memenuhi kepalanya. "Maafin Papa, ya."Gadis berkuncir kuda itu menggeleng cepat. "Papa kerja untuk Sheryl, kan. Sibuk juga untuk Sheryl. Jadi aku maafkan."Daru terkekeh. "Habis makan es krim mau ke mana lagi?" Usapnya sayang pada puncak kepala sang anak. Namun bukan wajah senang yang ia dapat, justru delikan kesal tanda tak suka akan tindakannya barusan."Rambut aku harus selalu rapi, Pa. Ini disisir
"Apa-apaan, sih, kamu Aria! Enggak sopan banget!"Pria yang masih mengenakan setelan kemeja rapi itu hanya menarik ujung bibirnya kecil. "Sopan? Kamu yakin sama kata-kata kamu, Ta?""Berkas apa yang kamu lempar ke aku, hah?!" teriak wanita itu makin tak terima. Mendapati lawan bicaranya yang terlihat meremehkan, tak seperti biasanya. Hangat, ramah, juga selalu tersenyum untuknya. Iya, hanya untuknya.Si pria bergeming. Matanya lurus menatap sang lawan bicara tanpa menurunkan intensitasnya. Cukup lama ia dalam posisi seperti itu pun sang wanita."Kamu tahu sepenting apa arti Sheryl buat hidup aku, Ta?" Pria itu duduk tanpa menunggu dipersilakan. "Gadis kecil itu dunia aku. Hidup aku. Segalanya bagi aku, Ta. Kamu tahu itu dengan jelas." Mata sang pria enggan beralih ke mana pun selain pada wanita cantik yang masih berdiri memegang amplop cokelat berlogo yang tadi dilemparnya. "Dan kamu mau merusak Sheryl?""Maksud kamu apa, sih?! Bicara yang je
"Kamu memangnya enggak tidur, Sa?" tanya Kala penasaran setelah menjawab salam dari sahabatnya. Di ujung sana, suara kekehan Risa terdengar. Padahal yang diinginkan Kala malam ini adalah sendiri menikmati bintang."Mas Irsyad dinas keluar kota, Abyan sudah tidur. Jadi aku gangguin kamu aja, lah."Kala menggeleng heran dengan jawaban Risa."Gimana tadi interviewnya?"Wanita berambut sebahu itu sudah yakin akan ada sesi lanjutan interogasi mengenai pekerjaan yang baru saja ia lamar tadi siang. Kala menjelaskan dengan nada datar bagaimana proses tadi terlewati. Belum-belum Risa sudah sangat amat bersemangat dengan hasilnya. Kala hanya mengulum senyum mendengar Risa. Menurut sahabatnya itu, ijazah yang Kala punya harus digunakan lebih dari sekadar menjadi pengasuh. Toh, dari awal pekerjaan ini hanya sebatas batu loncatan."Semoga aja kamu bisa diterima di sana, ya. Untuk pengalaman kamu juga."Kala memilih diam,
Sepanjang ingatan Kala selama berada di rumah besar ini, aroma pengharum ruangannya sama. Citrus. Terkadang lavender yang silih berganti. Kecuali satu ruangan, ruang kerja majikannya. Kala menghidu dalam-dalam aroma Ocean Escape karena baginya, aroma ini lebih menenangkan ketimbang yang lain."Jadi ... apa keputusan kamu?" Sang majikan bertanya sembari bertopang dagu. Matanya memandang si lawan bicara tanpa putus."Saya belum tahu." Kala mengerjap pelan, langsung memilih menunduk ketimbang beradu pandang. Tatapan mata milik Andaru Aria terlalu mengintimidasi dirinya. Seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan, menguap dengan cepat tanpa disadari."Kamu harus segera memutuskan. Sudah melewati tahappsikotest, kan?"Kala memilih menjawab dengan anggukan."Saya enggak masalah kalau kamu mau berhenti menjadi pengasuh Sheryl. Seperti yang pernah saya bilang sebelumnya."Kala mendengar suara kursi yang terdorong, lalu
Aroma tumis bawang yang harum juga sedikit pedas dari cabai, memenuhi indera penciuman Daru ketika langkahnya mendekati dapur. Perutnya tiba-tiba ingin segera diisi oleh apa pun itu yang sepertinya akan lezat menyapa lidah. Bayangan sosok ramping mengenakan celemek yang cekatan mondar mandir di sana sudah terproyeksi dengan jelas. Dan sosok itu nyata berada di dapur. Lengkap dengan spatula juga satu wadah yang Daru yakini, berisi anekasea food.Jenis makanan kesukaan Daru, pun anaknya.Bicara mengenai sang anak, "Lho, Sheryl mana?" tanya Daru penasaran saat mendapati kursi yang biasa anak itu tempati, kosong. Biasanya sang putri sudah duduk di sana, menatap ke arah dapur penuh minat sembari sesekali bertanya ini dan itu dengan riang. Menambah semarak suasana pagi dan menyuntikkan satu kantung penuh semangat untuk Daru menjalankan aktifitas nantinya.Kala hanya menoleh sekilas, "Selesai buat sarapan saya segera bangunkan, Pak."P
Kala juga benci dokter. Makanya ketika Sheryl menolak dengan keras untuk ke dokter, Kala memaklumi. Namun tak kurang akal, sogokan berupa spaghetti panggang sepulang dari dokter adalah hadiah. Sheryl tak sanggup menolak. Dan kini, Kala ditagih hidangan itu.“Selesai makan, Non minum obat lagi, ya.”Gadis kecil itu berbinar kegirangan mendapati satu porsi spaghetti panggang tersaji di depannya. Sepertinya ia mengabaikan kata minum obat yang baru saja diucapkan pengasuhnya."Makannya pelan-pelan, Non." Kala merapikan rambut Sheryl yang terlihat mengganggu anak itu saat makan. Sesekali ia membersihkan sisa saus yang menempel di sudut bibir sang anak."Ini enak banget, Mbak."Kala lagi-lagi tersenyum. Diperiksanya kening Sheryl, sudah lebih baik ketimbang tadi pagi. Ia menghela napas lega akhirnya. Kala cukup khawatir dengan keadaan Sheryl. Ia belum pernah memiliki pengalaman menangani seorang anak yang sedang sakit. Dalam keadaan sehat saj
Kala menghidu dengan penuh rindu akan aroma tanah yang terkena basah air hujan. Semua tanaman yang memenuhi inderanya basah merata. Sesekali masih ada rintik yang menderas lalu berhenti mendadak. Wanita itu memejamkan mata, telapaknya sengaja ia ulurkan merasakan rinai hujan yang turun pertengahan Maret ini. Padahal ini bukan bulan musim penghujan. Seaneh itu cuaca sekarang.Satu sosok yang ia ingat ketika hujan turun. Banyak hal yang menjadi petuah terucap dari bibir yang mulai menghitam dimakan usia, yang masih terpatri jelas di benaknya. Pria yang ia hormati sepanjang hidupnya. Pria yang menyayanginya tanpa ampun. Pria yang menjadi cinta pertamanya. Bapak.Hingga pria itu datang. Menawan hatinya, memberi kasih yang lain, mengisi relung hatinya dengan madu penuh bernama cinta. Kata banyak orang, ia beruntung. Janu baik, pekerja keras, memiliki usaha sendiri, karirnya bagus, dan tak kalah pentin
Kala mengembuskan napas pelan. Berulang kali. Ini adalah titik yang berat selama Kala mengenai Sheryl. Gadis itu duduk di sebelahnya, sedikit bersandar pada dirinya sembari menikmati semangkuk sereal. Acara di TV benar-benar menyedot perhatiannya. Sesekali bibir kecil itu tertawa, lalu bergumam pelan."Non." Ia tak mungkin menunda lagi. Hari Rabu ini, Kala diundang untuk menandatangani kontrak perjanjian kerja sementara. Yang artinya, jika Kala setuju, mulai Senin depan Kala sudah bekerja di sana. Walau hanya tiga bulan, kontrak terhadap pekerja harus tetap ada."Mbak nanti sore temani aku bersepeda, ya." Sheryl hanya menoleh sekilas lalu kembali asyik dengan suguhannya."Mbak mau bicara boleh?"Kali ini atensi sang nona muda benar-benar ke arah Kala. Alisnya yang tebal pun raut wajah cantik itu tampak bingung dan juga menunggu. Mungkin dalam pikiran kecilnya, si pengasuh hanya ingin bicara mengenai pelajaran untuk hari esok."Mulai bes