Share

Bagian ke-3

Author: Queen Sando
last update Last Updated: 2025-07-02 14:58:57

Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit.

"Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah.

Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya.

"Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah.

"I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan.

Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan.

"Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah.

"Em, nggak usah, aku udah sarapan tadi di rumah!" Tolak Widuri, tak ingin merepoti.

"Nggak apa, santai aja! Em, gimana sekarang kabar Elu?" Tanya Minah sambil menatap serius wajah Widuri yang kaku.

"Ya begini Nah, masih kayak dulu" jawab Widuri tersipu.

Minah manggut-manggut.

"Lu udah merid?!" Tanya Minah.

"Merid?! Maksudnya..?!" Widuri bingung.

"Kawin Wid!" Minah menjawab sambil menempelkan kedua jari telunjuknya membentuk hati.

Wajah Widuri yang polos memerah, kata nikah adalah kata yang sakral bagi widuri. ia bahkan nyaris tak pernah mengucapkan, membayangkan saja ia tak berani.

Widuri menggeleng malu.

"Terus sekarang Lu ngapain di kampung ini?" Tanya Minah, ia beranjak dari tempat duduknya menuju ke sebuah lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Tak berapa lama ia kembali lagi dengan membawa dua kaleng minuman kopi instan.

"Nih, minum dulu!" Ucapnya sambil meletakkan minuman itu di atas meja, Widuri mengikuti dua kaleng minuman itu dengan ekor matanya.

"Jadi sekarang Lu ngapain? Em, maksud gue Elu sekarang kerja atau.."

"Buruh nyuci piring!" Jawab Widuri jujur dan ada sebuah niat tersembunyi dibalik jawabannya itu.

"Apa itu cukup?!" Minah mengerutkan keningnya.

"Yah, sebenarnya nggak juga sih, tapi mau gimana lagi Minah, aku, kan cuma tamat SMP, jadi aku nggak tau harus kerja apa" Widuri tampek sedih mengingat nasib yang kini menimpa dirinya.

"Eh, nggak boleh putus asa gitu dong, Lu harus semangat!" Ucap Minah sambil membuka kaleng minuman dan dengan perlahan ia mulai meneguk minuman itu.

"Ayo minum dulu!" Ajaknya pada Widuri.

Widuri manggut-manggut, tapi ia bingung sebab ia tak terbiasa meminum minuman semacam itu, apalagi saat pagi hari.

Ia memang membuka kaleng itu, tapi ia hanya menempelkan ujung mulut kaleng dibibirnya, ia tak sungguh-sungguh menegak isi dari kaleng itu. Ia tak sanggup, mulutnya tak biasa dengan sesuatu semacam itu.

"Em, Lu mau nggak kerja?" Tanya Minah sambil meletakkan kaleng di atas meja kembali.

"Iya aku mau!" Jawab Widuri spontan, ia tak dapat menutupi perasaan senangnya, dan memang itulah tujuan ia datang ke rumah Wak Ijah.

"Wow! Lu semangat sekali!" Minah melongo melihat reaksi girang Widuri.

"Maaf!" Seloroh Widuri, malu.

"Oke, kalo Elu mau, Lu ikut ama gue!" Ucap Minah serius.

"Sungguh?!"

"Iya!"

"Ikut kamu ke kota, begitu?!" Widuri tak percaya.

"He eh!" Ucap Minah yakin.

"Elu ikut gue, kerja di kota biar hidup Lu bisa berubah. Nih, liat gue, gue udah bisa membantu kehidupan keluarga gue disini semenjak gue kerja di kota!" Ucap Minah dengan bangga.

Widuri manggut-manggut sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan itu. Minah memang benar, rumah itu adalah bukti nyata kesuksesan Minah di perantauan.

Widuri sungguh ingin memiliki kehidupan seperti Minah, ia bisa membayar hutang pada juragan Sarmo, ia juga bisa menanggung biaya hidup sang ibu agar ibunya tak lagi harus bekerja keras demi sesuap nasi. Widuri ingin kehidupan yang lebih baik untuk ia dan juga sang ibu.

"Jadi gimana, Elu mau?" Tanya Minah, memastikan.

"I-ya, aku mau. Tapi..maaf Nah, kira-kira itu kerja apa ya? Maaf, soalnya seperti yang aku bilang tadi, ijazahku cuma SMP!" Ucap Widuri cemas.

Minah menyeringai mendengar keluhan Widuri.

"Elu nggak usah takut, kerjaan ini nggak perlu ijazah, yang penting Elu mau kerja. Itu udah cukup!" Jawab Minah santai.

"Serius?!" Widuri senang tapi tak percaya.

"Iya, kerjanya santai, dan yang terpenting.. fulusnya mulus Wid!" Seloroh Minah sambil tersenyum lebar.

Widuri ikut tersenyum, senang sekali ia karena akhirnya ia akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dan ia berharap agar kiranya dengan pekerjaan barunya nanti ia bisa membayar semua hutang pada juragan Sarmo.

"Kok murung gitu?!" Tanya Minah yang menyadari perubahan mendadak pada wajah Widuri.

"Maaf Nah, sebenarnya aku bingung"

"Bingung kenapa?" Minah penasaran.

"Aduh, gimana ngomongnya ya?" Widuri garuk-garuk kepala yang tak gatal.

"Ngomong aja, nggak usah sungkan! Kalo gue bisa, gue akan bantu!"

"Tapi aku nggak enak" ucap Widuri.

"Ah Elu, santai aja, lagipula entar kita juga bakal sering ketemu di kota!" Minah meyakinkan temannya itu.

Setelah terus diyakinkan oleh Minah, Widuri akhirnya jujur juga.

"Em, sebenarnya saat ini kami sedang terlilit hutang" ucapnya dengan bibir gemetar membayangkan besarnya hutang pada juragan Sarmo dengan jaminan rumah mereka.

"Oh, sorry!" Minah jadi tak enak.

"Sekali lagi maaf, bukan aku bermaksud untuk merepoti, tapi..apa bisa setelah aku diterima bekerja aku cash bon ke bos? Soalnya juragan Sarmo cuma memberi kami waktu seminggu, kalo tidak bisa membayar maka rumah kami akan disita" ujar Widuri dengan wajah lesu.

"Oh baguslah..."

"Apa?!" Widuri kaget mendengar celetukan Minah.

"Upss! Maaf, Lu jangan salah sangka!" Minah buru-buru mengklarifikasi ucapan spontan nya itu setelah ia melihat reaksi tak suka dari Widuri.

"Maksud gue, bagus kalo Elu berniat mau lunasi utang sama juragan itu" ralat Minah.

Widuri tersenyum kecut.

"Jadi, Elu mau minta gaji duluan, gitu?" Tebak Minah.

"Iya!" Jawab Widuri malu.

"Bisa nggak?" Widuri berharap.

"Gue nggak tau sih, tapi yang jelas gue akan bantu, dan semoga aja Lu bisa dapet uang itu sebelum seminggu!" Minah menyemangati Widuri.

"Yang jelas, Elu ikut gue dulu, itu semua ntar kita atur, oke?!"

"Em, tapi, kalo boleh aku tau, itu kerja apa? Maaf bukannya aku bawel, tapi aku bingung kalo nanti ibu tanya"

"Oh, Lu bilang aja sama ibu Elu kalo Elu ikut gue ke kota kerja jadi asisten pribadi di rumah orang kaya!" Seloroh Minah enteng.

Widuri manggut-manggut, percaya begitu saja pada Sumina. Ia tak ingin bertanya lagi tentang pekerjaan sebagai asisten pribadi itu, karena saat ini itu tak penting baginya, sebab yang terpenting saat ini adalah ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia akan segera bisa membayar hutang pada juragan Sarmo. Itu saja.

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian Ke-6

    "Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-5

    Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-4

    "Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-3

    Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-2

    "Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur. "Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya. "Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias. "Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu. "Itu, yang sekelas sama Wid pas SD" "Siapa ya?" "Si Sumina!" jawab Widuri. "Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan,

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-1

    "Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit."Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap."Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok.Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu."Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status