Share

Bagian ke-4

Author: Queen Sando
last update Last Updated: 2025-07-02 14:59:36

"Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya.

Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi.

"Bu?!"

"Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak.

Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya.

"Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri.

Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis.

"Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai.

"Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu.

Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak melepaskan pandangannya walau hanya sesaat dari wajah Widuri yang ceria itu.

"Apa toh Wid, buruan ngomong, jangan buat ibu penasaran!" Desak Juriah.

"Bu, Wid udah dapet kerjaan!" Ucap Widuri sambil menggenggam tangan sang ibu.

"Kerjaan?!" Juriah kaget.

Widuri manggut-manggut.

"Lah, bukannya kamu juga udah kerja di warungnya haji Udin?"

"Bukan itu Bu!"

"Lah terus apa?" Juriah bingung.

"Wid akan kerja di kota Bu!" Jawab Widuri girang.

"Kerja di kota?" Juriah tetap tak paham.

"Iya Bu!" Jawab Widuri semangat.

"Kok bisa?!" Juriah masih bingung.

"Minah yang ngajak"

"Syukurlah Wid!" Juriah tak kuasa menutupi rasa bahagianya, bahkan karena terlalu bahagia kedua matanya sampai mengembun.

"Iya Bu, Wid senang sekali, akhirnya Wid akan dapat pekerjaan yang layak!" Ucap Widuri yang jadi ikut terharu saat melihat sang ibu. Ia segera merengkuh tubuh tua Juriah yang kini semakin kurus paska sang suami mangkat.

"Semoga ini jalan kita untuk bisa membayar hutang itu Bu" ucap Widia sambil melepas pelukannya .

Juriah manggut-manggut dengan mata yang masih basah.

"Tapi..." Tiba-tiba wajah Juriah nampak cemas.

"Apa Bu?"

"Kapan kau berangkat?"

"Kata Minah lusa Bu" terlihat Widuri sudah tak sabar untuk segera berangkat ke kota.

"Lusa?"

"Iya Bu!"

"Kenapa ibu tampak cemas?" Widuri jadi khawatir melihat raut wajah sang ibu yang tadi sumringah kini menjadi muram.

"Juragan Sarmo akan datang seminggu lagi, sedang kau baru akan berangkat besok, apa mungkin kau bisa menambahi uang untuk membayar hutang hanya dalam beberapa hari saja?" Juriah nampak sangat gelisah. Ia tak sanggup membayangkan kemarahan juragan Sarmo saat ia datang kembali dan Juriah belum juga mampu melunasi hutang itu. Sepertinya kali ini juragan Sarmo tak akan mentoleransi lagi, ia pasti akan menyita rumah itu sebagai barang yang dijaminkan untuk hutang itu.

"Ibu nggak usah takut, Minah bilang aku bisa kok minta bayaran duluan" jawab Widuri penuh percaya diri.

"Sungguh wid?!" Juriah merasa lega tapi agak ragu.

"Minah bilang begitu Bu!" Widuri meyakinkan sang ibu.

"Memangnya nanti di kota kamu bakal kerja apa, kok bisa ngambil bayaran dulu?"

"Em, kata Minah Wid akan kerja jadi asisten pribadi di rumah orang kaya Bu" Widuri menirukan ucapan Minah tadi.

"Asisten pribadi itu apa?" Tanya Juriah ingin tahu.

"Kata Minah itu orang yang bertugas membantu mempersiapkan keperluan dari sang bos" lagi lagi Widuri menirukan ucapan Minah.

Juriah manggut-manggut, percaya begitu saja dengan informasi yang sangat anak berikan. Lagipula ia percaya kalau Widuri pasti tak akan sembarangan menerima pekerjaan, ia orang yang baik dan pasti hanya mau menerima pekerjaan yang baik pula. Juriah mencoba menepiskan rasa takutnya, meski seumur hidup ia sendiri belum pernah pergi ke kota, begitu juga dengan Widuri. Tapi ia percaya jika sang anak pasti mampu menjaga diri.

"Jadi gimana Bu, apa ibu izinkan Wid ikut Minah?" Tanya Widuri dengan sorot mata penuh harap.

Juriah diam, hatinya bimbang. Ia merasa berat sekali melepas sang anak untuk pergi ke tempat yang ia sendiri belum pernah menginjakkan kakinya disana, tapi disisi lain, hutang pada juragan Sarmo tak bisa ditunda lagi. Jika ia tak mengizinkan Widuri untuk pergi, ia tak tahu akan bagaimana nasibnya di kampung ini jika juragan Sarmo menyita rumah mereka.

"Kalo ibu nggak mengizinkan, nggak apa-apa kok, Wid nggak akan pergi" ujar Widuri pasrah.

"Em, baiklah Wid, kau boleh pergi " ucap Juriah lemah, ia tak punya pilihan. Satu-persatu cara agar hutang itu bisa dibayar adalah dengan membiarkan Widuri pergi ke kota untuk bekerja.

"Sungguh Bu?!"

"Iya Nak!"

"Terima kasih Bu, Wid janji Wid akan bayar hutang itu secepatnya!" Ucap Widuri sambil kembali memeluk sang ibu.

"Semoga Minah tak ingkar janji, dia sungguh bisa membantumu mendapatkan uang itu sebelum juragan Sarmo datang" harap Juriah.

"Iya Bu!"

###

Malam itu Widuri tak bisa tidur, ia sudah berkemas sejak sore. Tak banyak barang yang ia bawa, hanya beberapa lembar pakaian. Maklum saja, Widuri tak punya banyak baju. Baju-bajunya yang bagus sudah ia lelang ke teman-temannya demi menambahi biaya hidup.

Kini yang tersisa tinggal beberapa helai saja.

Widuri tak sabar ingin segera sampai di kota. Ia memiliki sebuah mimpi yang besar, mimpi untuk bisa merubah kehidupan agar bisa menjadi lebih baik. Ia ingin segera melunasi hutang pada juragan Sarmo. Ia juga ingin bisa mencukupi kebutuhan sang ibu agar sang ibu yang sudah renta itu tak perlu capek-capek bekerja. Ia ingin seperti Minah yang bisa membahagiakan keluarganya.

Widuri juga berniat untuk melanjutkan lagi sekolahnya, bila perlu ia ingin melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi dan menjadi sarjana seperti mimpinya dahulu.

"Wid, udah tidur belum?" Juriah masuk kedalam kamar Widuri yang temaram.

"Belum Bu" jawab Widuri sambil bangun dari tidurnya.

"Besok ibu mau ke pasar kecamatan" ujar Juriah sambil duduk di tepi kasur tipis yang terhampar di lantai plester yang dingin.

"Mau ngapain Bu?"

"Ibu mau jual cincin ini" Juriah menunjukkan jari manisnya dengan sebuah cincin emas yang melingkar.

"Untuk apa Bu?" Widuri tampak tak setuju.

"Kamu, kan akan ke kota lusa, jadi ini untuk ongkos kamu"

"Nggak usah Bu!" Tolak Widuri.

"Loh kok gitu? La terus ongkos mu gimana?"

"Ibu nggak usah cemas, Minah yang bayar ongkosnya" jawab Widuri santai.

"Sungguh?!"

"Iya Bu, Minah bayari ongkos Wid, nanti dipotong pas Wid udah gajian, jadi ibu nggak usah jual cincin ini" Widuri meraih jadi manis Juriah dan membeli lembut cincin emas dua puluh empat karat itu.

Juriah tersenyum, ia merasa lega, karena ternyata jalan Widuri untuk bekerja di kota semuanya dimudahkan. Harapannya hanya satu, kiranya Widuri akan mendapatkan kesuksesan di kota sana.

##$

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian Ke-6

    "Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-5

    Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-4

    "Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-3

    Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-2

    "Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur. "Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya. "Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias. "Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu. "Itu, yang sekelas sama Wid pas SD" "Siapa ya?" "Si Sumina!" jawab Widuri. "Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan,

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-1

    "Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit."Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap."Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok.Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu."Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status