Share

Bagian ke-2

Author: Queen Sando
last update Last Updated: 2025-07-02 14:58:23

"Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur.

"Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya.

"Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias.

"Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu.

"Itu, yang sekelas sama Wid pas SD"

"Siapa ya?"

"Si Sumina!" jawab Widuri.

"Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan, sedang Widuri sekolah di SMP yang ada di kampungnya. Semenjak itu mereka jarang bersama meski masih sering bertemu.

Dan setelah tamat SMP, Widuri yang tak melanjutkan sekolah karena tak punya biaya, sedang Minah tak tahu bagaimana nasibnya. Hanya saja Widuri pernah mendengar kabar kalau Minah melanjutkan sekolah di kota ikut kerabatnya disana.

Dan setelah itu, komunikasi antara mereka terputus, Widuri tak pernah lagi berjumpa dengan Minah. Ia hanya mendengar cerita warga kampung yang mengatakan kalau sekarang Minah sudah hidup enak di kota.

"Wid mau kesana, mau ketemu Minah"

"Ya udah sana, tapi jangan lama-lama ya, nanti kamu terlambat ke kedai!" Juriah sudah selesai menggoreng ikan.

Setelah mendapat izin dari sang ibu, Widuri bergegas pergi ke rumah Wak Ijah, ia berjalan kaki menyusuri jalan kampung yang mulai ramai oleh warga yang lalu lalang hendak ke tempat tujuan masing-masing.

Udara pagi yang sejuk mengantarkan langkah kecil Widuri. Gunung Ratu yang menjadi landscape desa Sidarejo berdiri dengan angkuh, seolah tak perduli sedikitpun pada penderitaan orang-orang yang hidup dibawah naungannya itu.

Widuri terus berjalan hingga ia sampai di depan sebuah rumah permanen yang berdiri kokoh.

Rumah bercat biru muda dengan halaman yang asri penuh bunga dan sebuah pohon mangga yang tumbuh di bagian sudutnya.

Rumah itu nampak sepi, tak terlihat ada aktivitas manusia.

Dengan langkah agak ragu Widuri mulai memasuki area rumah itu.

Semenjak ia dan Minah tak satu sekolah lagi, ia nyaris tak pernah berkunjung ke rumah itu. Ada rasa segan datang menghampiri gadis ayu itu.

Sesampainya di depan pintu rumah, Widuri terdiam, ia merasa malu karena sebenarnya ia punya maksud lain datang ke rumah itu. Ia bukan hanya sekedar ingin menemui teman masa kecilnya saja, tapi sebenarnya ada tujuan utama yang ingin ia capai.

"Krekkk!!" Tiba-tiba pintu terbuka.

Widuri kaget, tergagap ia saat menyadari sudah ada orang yang berdiri di ambang pintu.

"Loh kok, ada orang toh?!" Orang yang membuka pintu juga sama kagetnya.

Widuri jadi salah tingkah, wajahnya memerah menahan malu.

Ia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Widuri?!" Orang itu rupanya mengenal Widuri.

Widuri tersenyum tipis dengan raut wajah tegang.

"Tumben?" Tanya orang itu lagi.

"I-ya Wak!" Ucap Widuri sambil bergegas menyalami orang itu, Wak Ijah, si empunya rumah.

Wak Ijah menatap Widuri dengan tatapan yang agak aneh, seperti orang yang curiga.

Maklum saja, semenjak ayahnya sakit dan kemudian meninggal, keluarga kecil Widuri memang dikenal warga sebagai orang yang sangat kesusahan. Hutang mereka banyak, dan mereka sudah tak punya apa-apa, jadi setiap kali Widuri atau ibunya datang ke rumah orang, mereka kebanyakan mengira jika Widuri atau ibunya hendak meminjam uang pada mereka. Itulah sebabnya Wak Ijah menatap Widuri dengan tatapan yang aneh itu.

Widuri juga sepertinya sudah paham dengan cara orang-orang menatap dirinya, itulah sebabnya ia harus segera mengklarifikasi agar Wak Ijah tak salah paham.

"Maaf Wak, saya dengar Minah pulang?" Ujar Widuri.

"Oh, itu, iya, dia pulang dua hari yang lalu " Wak Ijah merasa sedikit lega setelah mengetahui maksud kedatangan Widuri.

"Em, apa kira-kira saya boleh ketemu dia?" Tanya Widuri penuh harap.

"Oh..em, boleh!"

Widuri senang bukan main mendengar izin dari Wak Ijah.

Ia bergegas hendak mengayunkan kakinya, tapi tiba-tiba Wak Ijah menghentikan dirinya.

"Tapi..ada apa kamu ingin ketemu dia?" Tanya Wak Ijah yang seolah belum hilang rasa curiganya pada Widuri.

"Em, saya, saya hanya ingin tahu kabar Minah, saya, kan sudah lama sekali nggak ketemu dia" ucap Widuri polos.

Wak Ijah manggut-manggut.

"Ya sudah, ayo!" Wak Ijah yang akhirnya mengizinkan Widuri untuk bertemu Minah.

###

Widuri berdecak kagum di dalam hati saat ia sudah masuk kedalam rumah Wak Ijah. Isi rumah itu sungguh diluar dugaan Widuri. Rumah itu sangat indah, lantainya terbuat dari keramik yang nampaknya mahal, di ruang tamu mata Widuri langsung disambut dengan satu set sofa kayu jati berwarna cokelat tua yang terlihat mewah, ada juga lemari kaca dengan berbagai hiasan keramik yang cantik. Ruang tamu itu juga sudah dilengkapi dengan pendingin udara, sehingga saat Widuri masuk ia langsung disambut dengan hawa yang sejuk dan nyaman.

Nampaknya Minah benar-benar sudah jadi orang yang sukses di kota. Buktinya kini keluarganya sudah bisa membangun rumah mereka jadi bak istana. Padahal Widuri ingat pada zaman dahulu kondisi rumah Wak Ijah tak jauh berbeda dari rumahnya. Mereka juga tak memiliki kebun dan hanya hidup dengan menjadi buruh serabutan di kebun milik orang.

"Widuri?!" Lamunan Widuri buyar seketika saat tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menegur dirinya.

Mata Widuri yang sejak tadi terus beredar mengelilingi seisi ruang tamu itu, kini langsung meloncat pada sosok yang menegur dirinya.

Mata Widuri melotot, ia terperangah saat melihat pada orang yang menegur dirinya.

Nampak seorang wanita muda dengan tubuh semok, kulit putih, rambut berwarna pirang, dan riasan wajah yang tebal. Tak lupa pakaian seksi yang hanya menutupi sedikit saja bagian dari tubuhnya itu.

Wanita itu tersenyum tipis menyambut Widuri yang bengong, tak percaya menyaksikan apa yang ada di hadapan matanya itu.

"Mi-nah?!" Seloroh Widuri, tak percaya jika wanita bahenol yang ada tak jauh darinya itu adalah Minah, sahabatnya waktu kecil.

"Iya, ini gue, Minah!" Ujar wanita itu sambil menghambur kearah Widuri dan tanpa bicara lagi, ia langsung mendekap erat tubuh Widuri.

Widuri terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia hanya merasa senang, karena ternyata Minah masih seperti yang dulu, ia tetap ramah dan juga bersahaja.

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian Ke-6

    "Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-5

    Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-4

    "Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-3

    Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-2

    "Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur. "Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya. "Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias. "Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu. "Itu, yang sekelas sama Wid pas SD" "Siapa ya?" "Si Sumina!" jawab Widuri. "Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan,

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-1

    "Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit."Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap."Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok.Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu."Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status