Share

Pasca Akad Nikah

Akhirnya prosesi ijab kabul berlangsung.

"Saya nikahkan engkau Ananda Roy bin Ihsan Maulana dengan Jesi Kumalasari Binti Hasan dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan logam mulia berupa emas 25 gram dibayar tunai." pamanku yang mewakili bapakku mengucapkan ijabnya. 

"Saya terima nikahnya Jesi Kumalasari Binti Hasan dengan mas kawin yang disebutkan," ucap Mas Roy sangat tenang dan penuh keyakinan.

Fix, sah dan resmi, mertuaku - dalam konteks hubungan pertunanganku dengan Mas Fairuz sebelumnya - menjadi suamiku. Aku menghampirinya dan mencium tangannya. Pak Roy atau Mas Roy mendaratkan kecupan mesranya di keningku. 

Ada perang perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Aku menghampiri pamanku yang mewakili perwalian Bapak. Aku menggamit dan menciumi tangannya.

"Aku tak bisa berkata kata dengan keadaan ini, Jes. Sudah takdirmu. Semoga Fairuz segera sembuh dan mendapatkan pengganti yang baik dan setia," ucap paman yang di dalamnya terkandung bahasa sarkas menohok bahwa aku tak setia dan bahkan pengkhianat. Tapi ucapannya mengandung fakta yang tak dapat dipungkiri. 

Sikap yang yang ditunjukkan paman membuatku bersyukur. Sikapnya yang masih moderat dan menganggap hal ini adalah sebuah takdir cukup mencerapkan kebahagiaan di hati. Aku bersimpuh di pangkuannya, memuarakan gelut dari ragam emosi yang menggelora di hati.

Mas Roy juga menghampiri Paman. Ia meraih tangan paman dan mencium tangannya. Setetes air mata terjatuh membasahi pipi Paman.

"Jangan mengira tangis ini untukmu, Jes. Tangis ini untuk nasib anak tirimu yang kau ciderai hatinya," tukas Paman Hisyam. Matanya makin basah. Demikian juga dengan mataku dan mata Mas Roy.

Keadaan ini sungguh sungguh emosional.

***

Setelah akad, aku dan Mas Roy berkunjung ke rumah Bapak. Meskipun aku sudah bisa menduga bagaimana tanggapan dan reaksi Bapak, tapi aku harus tetap menemuinya. 

Aku dan Mas Roy turun dari mobil di halaman rumah Bapak yang sangat luas. Dari dalam mobil terlihat Bapak duduk menekur di atas kursi, mengisyaratkan ada sesuatu yang berat yang bersarang di otak dan hatinya.

Mas Roy menggandeng tanganku saat turun dari mobil. Seakan mengalirkan support dan pembelaan kepadaku jika Bapakku menghujat dan memaki diriku.

"Assalamualaikum," ucapku pelan. Bapak masih menekur. Ia sebenarnya tau bahwa ada anaknya dan menantunya mengucapkan salam. Tapi nampaknya Bapak pura pura tidak mendengar dan tidak peduli kedatanganku dan suamiku.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh," salamku untuk kedua kalinya. Perlahan Bapak mengangkat kepalanya.

"Waalaikum salam warahmatullah. Maaf cari siapa. Dan siapa kalian?" Tanya Ayah pura pura tidak mengenali anak dan menantunya yang sebelumnya adalah besannya. Kepuraan-puraan itu sungguh menikam hati. Berdarah darah. 

Tiba tiba mataku berair. Sebenci itukah Bapak sama diriku. Bukan saja aku tak diakuinya sebagai anak kandungnya, tapi lebih dari itu, Bapak tak mau mengenali diriku. Ini sebuah isyarat betapa kebencian Bapak padaku dan mantan besannya yang kini jadi menantunya sudah mencapai titik kulminasi tertinggi.

"Bapakkkk," jeritku kecil menahan kepiluan kalbu.

"Bapak Jesi sedang keluar. Ia sedang menemani Fairuz di alam komanya Fairuz yang sedang dipasung penderitaan dan kesedihan." Jawaban itu membuat mata dan hatiku kian gerimis. Aku dan Mas Roy berdiri membeku. Ucapan itu bak ribuan ton salju yang menimbun diriku.

"Sudilah kiranya Bapak menerima kehadiran kami meski Bapak tidak mengakui Jesi lagi sebagai anak kandung Bapak." Mas Roy menghiba dengan nada suara sedih.

"Sudah saya katakan bahwa orang yang ingin kalian temui tak ada disini, meski fisiknya disini, tapi hati dan jiwanya sedang membersamai Fairuz di alam penderitaannya, penderitaan yang diciptakan oleh kekasihnya dan Ayahnya sendiri," ucap Bapak dramatis.

Aku mencoba meraih dan menggamit tangan Ayah untuk kucium. Tapi dengan sangat cepat kibasan tangan Ayah menepis tanganku.

"Berhubung orang yang kalian cari tidak ada disini, silahkan pergi dari sini. Dan jangan pernah lagi datang kesini untuk menemui Bapaknya Jesi karena dia akan selalu berada di samping Fairuz, memberinya semangat dan  berusaha menghibur kedukaan anak malang itu dalam untaian dzikir dan rapalan doa. Pergilah dari sini sekarang Juga. Temui nanti kalau sudah berada di Padang Mahsyar," ucap Bapak emosional. 

Ya Allah ucapan Bapak mengandung pengusiran yang tidak biasa. Narasi metafor dan hyperboliknya menghujamkan sesuatu yang sangat dahsyat di hati. Ucapan itu mengandung pengusiran dan pesan satire tentang kekejaman diriku dan Mas Roy beserta dampak yang ditimbulkannya kepada Mas Fairuz dan hati Bapakku. Ucapan itu sungguh sangat menyiksa hatiku. 

Tanpa mengeluarkan kata kata lagi, Ayah masuk ke dalam dan menutup pintu lalu menguncinya. Sungguh ini sesuatu yang sangat dramatis dan emosional.

Astaghfirullah... Ya Allah ampuni dosa dosaku, kesalahan dan kekhilafan kekhilafanku. 

Tangan kekar Mas Roy meraih kepalaku dan menuntunnya dengan sangat halus berlabuh di dadanya. Ia menciumi kepala dan keningku seakan memberikan support dan menyalurkan kasih sayang dan cintanya agar mentalku tidak down oleh narasi pengusiran Bapak yang tragis, dramatis dan emosional.

***

"Tatap mataku, Jes! dan hayatilah betapa cahaya mataku yang merupakan jendela jiwaku menyimpan kehangatan cinta dan kemesraan yang tiada Tara dan mendalam padamu," ucap Mas Roy menghiburku setelah berada di taman.

"Jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan oleh palu takdir yang sudah menetapkan bagaimana perjalanan hidup kita, sayang. Mari kita simpan dulu kesedihan ini. Sekarang waktunya kita bersenang-senang, mengekspresikan cinta dan kebahagiaan kita. Ini adalah sebuah keharusan bagi dua insan yang baru selesai menunaikan akadnya.

Lupakan sementara kesedihan dan duka lara hati kita. Kita nikmati apa yang seharusnya memang kita nikmati," ucap Mas Roy sambil membelai mesra rambut di pipiku. Sebuah sunggingan senyum ia perlihatkan kepadaku. Senyum itu beserta ucapan hangat yang disampaikannya, pada akhirnya mampu meredam kesedihan dan ingatanku pada Mas Fairuz, anak tiriku. 

Tebaran senyumnya yang indah di casing wajahnya yang menawan pada akhirnya mampu membuat senyum terkembang di bibirku. Mas Roy mendekati wajahku dan menggesek-gesekkan hidung mancungnya ke hidungku. Setelah itu kami makin...Yahh...bergulat dalam keringat penuh hasrat dan syahwat.

Next?

Like, komen and subscribe

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status