Arya mematikan ponsel, setelah pembicaraan berakhir. Ditatapnya dengan lekat, kedua netra Evita. Sehingga membuat Evita penasaran, apa yang baru saja dibahas oleh Arya, dengan lawan bicaranya."Ada apa, Ar? Siapa yang baru saja meneleponmu? Apakah polisi?" tebak Evita, dengan jantung yang berdegup kencang. Ia yakin, pihak berwajib lah yang baru saja menelpon Arya.Arya mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Evita."Apa yang dia katakan? Apakah anak-anakku sudah ditemukan?" Dengan tidak sabar, Evita bertanya. Diguncangnya tangan Arya."Habiskan dulu makananmu, lalu bersiap-siaplah. Kita akan pergi ke kantor polisi. Aku juga akan mandi dan bersiap-siap," ujar Arya, lalu bangkit dari duduknya. Kemudian pria itu melangkah keluar, meninggalkan kamar Evita.Tidak ingin membuang waktu, Evita bergegas pergi ke kamar mandi. Tidak dihiraukannya makanan di piring yang masih tersisa.Kurang dari setengah jam, Arya dan Evita sudah siap di dalam mobil. Dengan kecepatan sedang, Arya mengemudikan sen
Ketika Arya membuka pintu mobil, Evita segera menelisik bagian dalam mobil Arya dengan pandangannya. Wanita itu mencari keberadaan anak-anaknya, yang mungkin saja pulang bersama dengan Arya."Kemana anak-anakku? Apakah kamu belum menemukannya?" Evita bertanya pada Arya yang baru saja menurunkan kakinya dari dalam mobil.Arya tidak langsung menjawab pertanyaan Evita. Pria itu lebih dulu keluar dari mobil, lalu menutup pintunya."Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ujar Arya seraya mengusap lengan Evita dengan lembut, untuk menenangkan perasaan wanita tersebut.Evita mengangguk. Dengan berjalan beriringan, Evita dan Arya masuk ke dalam rumah. Lalu keduanya duduk berdampingan di sofa panjang, yang ada di ruang tengah.Kedua netra Evita menatap wajah Arya dengan sorot mata tajam. Seolah menuntut penjelasan. Perasaan cemas terlihat jelas dari wajah cantiknya. "Aku harap kamu bisa bersabar untuk beberapa waktu. Polisi sedang berusaha menemukan Dito dan anak-anakmu. Yang bisa kamu lakukan
Alih-alih menjawab pertanyaan Arya, Evita justru terlihat semakin bingung. Wanita itu tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan pria tersebut. "Katakan apa yang sudah terjadi, Vit!" titah Arya yang sangat yakin, jika ada sesuatu yang membebani pikiran Evita saat ini. "Aku tidak tahu, bagaimana harus menjelaskannya padamu." Evita berkata dengan kedua netra yang mulai berembun.Melihat Evita yang tampak terguncang, Arya segera mengambil air yang tersedia di dekat tempat kerja Evita. Ia ingin wanita itu menenangkan diri dulu, sebelum menceritakan semua pada dirinya."Duduklah dulu, lalu minumlah air ini!" pinta Arya.Evita menuruti ucapan Arya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Evita menerima gelas pemberian Arya, lalu meminumnya perlahan."Apakah sekarang perasaanmu sudah lebih baik?" Arya bertanya, setelah melihat Evita meletakkan gelas yang isinya tinggal separuh, ke atas meja.Evita mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih terlihat pucat. "Kalau begitu, kita lanjutkan bicarany
Evita tengah fokus pada laptop di hadapannya, ketika dering ponselnya tiba-tiba berbunyi. Wanita itu hanya melirik untuk melihat nama penelepon. Namun keningnya seketika mengerut, ketika membaca sederet nama yang tertera pada layar ponsel.Diambilnya ponselnya. Lalu menggeser tombol hijau. Kemudian menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya."Selamat siang, Pak Usman. Saat ini Pak Arya sedang ada rapat dengan klien. Kalau ada yang ingin Pak Usman bicarakan dengan Pak Arya, Pak Usman bisa mengatakannya pada saya. Nanti saya akan menyampaikannya pada Pak Arya. Atau kalau memang tidak mendesak, Pak Usman bisa menelponnya lagi nanti," kata Evita pada pria yang merupakan sopir di kediaman Arya. Yang biasanya mengantar serta menjemput Alif dan juga Galih dari sekolah. Evita mengira jika Usman menghubunginya untuk menyampaikan pesan kepada Arya. Sebab saat ini atasannya tersebut sedang rapat dengan klien. Dan sudah menjadi kebiasaan Arya, untuk mematikan ponsel saat sedang rapat."Tidak
"Ma-maaf, mengganggu. Saya hanya ingin mengantarkan minuman untuk tamu Pak Arya." Evita berkata dengan bahasa yang formal, karena saat ini keduanya masih berada di kantor. Suara wanita itu terdengar gugup."Terima kasih, Vit. Tolong letakkan minuman itu di meja," ucap Arya, tanpa mengurai rengkuhan pada tubuh Rianti.Evita mengangguk. Bibirnya tersenyum, namun terlihat sangat dipaksakan. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena gugup, Evita mengambil cangkir dan piring dari atas nampan, lalu meletakkannya di tengah-tengah meja.Baru saja Evita hendak berpamitan, tiba-tiba saja tangan kanan Rianti terulur di depannya. "Halo, Kak. Perkenalkan, namaku Rianti" Dengan senyuman ramah, Rianti memperkenalkan dirinya."Halo juga. Nama saya Vita." Evita balas memperkenalkan dirinya. Senyuman sumbang tergambar di wajahnya."Maaf, saya permisi keluar dulu." Evita berpamitan. Ia sudah tidak sabar untuk segera pergi, agar tidak perlu melihat pemandangan, yang menusuk mata dan hatinya. "Kenapa bu
Setelah beberapa saat berpelukan, wanita itu melepaskan lilitan kedua tangannya dari leher Arya. Senyum manis dan mata yang berbinar, menghiasi wajahnya yang cantik."Ayo kita masuk! Sebaiknya kita bicara di dalam saja." Arya mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam ruang kantornya.Wanita itu mengangguk, lalu merangkul lengan Arya. Diikutinya langkah Arya yang berjalan masuk ke dalam ruang kantor."Katakan ... angin apa yang membawamu kemari! Apakah kamu sedang butuh uang untuk membeli tas branded kesayanganmu? Atau mungkin Mama sudah menceritakan sesuatu padamu," tebak Arya, setelah menutup pintu ruang kantornya. Tatapan pria itu terlihat tajam. Mendengar tebakan Arya, sontak kedua netra wanita itu membulat. Ekspresi wajahnya terlihat geram. Tangannya langsung terkepal dan meninju lengan pria tersebut."Memangnya kalau seseorang berkunjung itu harus ada perlunya?" tukas wanita tersebut sambil membuang muka. Mimik wajahnya masam. Kedua tangannya dilipat di depan dada."Bukankah mema