"Lebih baik kamu yang mati, bukan suamiku!" teriak Cempaka sembari menunjuk wajah Danendra Pati yang datang memohon maaf usai peristiwa kecelakaan tunggal yang menewaskan suami Cempaka setahun silam.
Hati Cempaka masih berselimut duka. Suami tercintanya tewas di tempat meninggalkan Cempaka dan dua orang anak."Tenangkan diri kamu, Cempaka," ujar Cakrawati, ibu kandung Cempaka, seraya mendekap putrinya yang kembali terpukul begitu bertemu Danendra."Dia yang membunuh Bang Haris, Bu. Usir dia dari sini!" jerit Cempaka.Cakrawati meringis melihat kemarahan Cempaka pada sepupu kandung Haris."Sudah, Nak, tenangkan diri. Ini sudah takdir, tidak ada manusia yang bisa mengelak dari kematian." Cakrawati menarik perlahan tubuh Cempaka untuk menjauh dari Danendra.Ia membantu Cempaka duduk di kursi kayu rumah mereka."Danendra kemari dengan niat baik, Cempaka," lanjut Cakrawati memandang sedih putri sematawayangnya."Tidak, Bu. Kita tidak perlu terima uang dari dia. Nyawa Bang Haris tidak bisa digantikan dengan uang," sanggah Cempaka Kanaya.Danendra pura-pura memperbaiki pakaian warna gelap yang dikenakan. Ia tidak enak mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Cempaka.Sepulang dari rumah sakit tempatnya bekerja, ia menyempatkan diri mengunjungi Cempaka dan dua orang keponakannya.Cakrawati bimbang dengan sikap Cempaka yang masih memusuhi Danendra setelah setahun kejadian pahit itu terjadi."Saya mengerti, Bu. Cempaka tidak perlu dipaksa. Saya senang mengunjungi Saras dan adiknya, Bima. Mereka sehat." Danendra mengulum senyum pada Cakrawati.Semakin lama melihat Danendra, hati Cempaka terasa sesak lantas ia berdiri lalu melangkah ke kamar di lantai atas."Maafkan Cempaka, ya, Nak. Dia masih terpukul karena kehilangan Haris."Danendra sangat memahami bagaimana hancurnya Cempaka usai kejadian itu. Ia juga tahu betapa Cempaka mencintai Haris dan sebaliknya."Tolong diterima uang ini, Bu, untuk Saras dan Bima. Juga buat Ibu."Cakrawati menerima amplop yang diserahkan oleh Haris. Ia pun terpaksa melakukan hal itu lantaran desakan ekonomi.Di umur kepala lima, Cakrawati hanya bisa berdagang kecil-kecilan di rumah. Sementara itu, Cakrawati berjualan makanan ringan ke sekolah-sekolah.Sebelumnya, Harislah yang memenuhi kebutuhan hidup mereka.Haris berasal dari keluarga ekonomi menengah, tidak seperti Danendra yang sejak lahir segala kebutuhan terpenuhi lantaran orang tuanya berada."Bang Haris banyak berjasa buat saya di masa lalu, sampai di hari kecelakaan Bang Haris, kami pergi bersama lantaran membantu saya."Cakrawati telah mendengar alasan mengapa Haris bisa bersama Danendra di malam mereka terlibat kecelakaan tunggal dari Cempaka."Apa Nak Dane tidak makam malam di sini dulu?" tanya Cakrawati melihat Danendra bersiap meninggalkan rumah kontrakan sederhana yang dihuni Cakrawati sekeluarga.Sebenarnya, Danendra ingin, akan tetapi menyaksikan kondisi Cempaka yang histeris melihat dirinya, maka Danendra menolak."Lain waktu datang lagi, ya, Nak. Saras dan Bima senang kalau Nak Dane datang," ulas Cakrawati. "Ibu panggil dulu mereka di atas.""Tidak usah, Bu. Mereka lagi belajar, besok sekolah. Salam sama ponakan saya saja, ya, Bu," pamit Danendra.Usai kepergian Danendra, Cakrawati masuk ke dalam kamar Cempaka. Kamar itu tanpa penerangan, terdengar suara napas berat khas orang habis menangis.Cakrawati menyalakan lampu lalu mendekati Cempaka yang rebahan dengan posisi menelungkup."Cempaka, ibu paham perasaan kamu masih kehilangan Haris. Namun, kamu harus pulih dari rasa kehilangan. Lihat Saras dan Bima masih memerlukan ibu yang bahagia."Cempaka membalik tubuh menghadap Cakrawati lalu memeluk ibu yang selalu menerimanya dengan sepenuh hati."Tapi, hati ini masih sulit memaafkan Danendra, Bu. Dia meminta ditemani Bang Haris untuk menjumpai istrinya, malamnya Bang Haris kelelahan dan mengantuk saat berkendara pulang, jadilah Bang Haris korban," ingat Cempaka pada peristiwa buruk yang menimpa suaminya."Umur hanya Tuhan yang tahu, Danendra juga tidak mau terjadi kecelakaan itu, Nak." Cakrawati tidak ingin putri semata wayangnya membenci Danendra seumur hidup."Sayang saja, dia tidak dipenjara, kita tidak punya kuasa untuk meraih keadilan.""Hus! Kamu tidak boleh bilang begitu. Nanti Saras dan Bima dengar, mereka mengira kalau Danendra membunuh ayah mereka," tegur Cakrawati dengan nada berbisik."Tapi, faktanya memang begitu, Bu." Cempaka bersikeras dengan pendapatnya sendiri.Cakrawati menggeleng-geleng menyaksikan betapa berat Cempaka memaafkan Danendra."Ibu mendoakan yang terbaik buat pemulihan diri kamu. Akan tetapi, ibu ingin mengingatkan agar kamu jangan dibelenggu kebencian. Ibu tahu menjalani hari-hari menjadi berat tanpa hadirnya Haris."Cakrawati mengusap lengan Cempaka untuk menguatkan putrinya."Ibu sayang pada kamu."Cempaka memeluk ibunya dengan erat."Aku juga sayang ibu," lirih Cempaka. "Maafin aku, sulit mengontrol emosi, Bu."Danendra menyentuh bahunya yang sempat cidera usai kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa kakak sepupunya. Dari cermin kamarnya ia melihat ada keloid luka di sana.Ia sempat tidak mampu menggerakkan lengan lantaran patah dengan luka terbuka, tetapi keadaan semakin membaik sehingga ia bisa kembali bekerja.Namun, ia prihatin dengan kehidupan Cempaka bersama keluarga paska berpulangnya Haris.Setahun ini ia mengirimkan uang tunai ke rumah kontrakan Cempaka melalui orang suruhan, tetapi selalu ditolak.Termasuk kedatangannya hari ini berujung penolakan dan sikap benci Cempaka.Ponsel Danendra berdering di atas meja. Langsung Danendra menjawab panggilan dari seseorang yang akan memberi informasi penting."Pak, posisi Ibu Natali sudah ditemukan."Danendra senang mendengarnya, semenjak kecelakaan terjadi, istrinya itu tidak pernah datang berkunjung, sementara hati Danendra selalu rindu berharap bertemu dengan Natali Mangkuradja."Di mana?""Semalam baru mendarat dari Singapura. Ibu Natali menginap di sebuah apartemen, ia bersama seorang pria, Pak."Bagai mendengar bunyi guntur, Danendra terkejut sekaligus kecewa."Berikan saya alamatnya."Danendra gerak cepat mendatangi apartemen yang tidak begitu jauh dari kediamannya di Jakarta Selatan. Ia tidak bisa masuk lantaran tidak memiliki akses masuk.Menunggu beberapa lama di lobi apartemen, akhirnya yang ditunggu turun dari unit. Natali seorang diri dengan gaun malam yang melekat indah di tubuh sintalnya.Natali berjalan menuju parkiran kendaraan roda empat dengan anggun. Mendadak seseorang menghentikan langkahnya."Nata, masih ingat aku?"Membelalak manik Natali melihat Danendra berdiri tepat di hadapannya."Ka... kamu, tahu dari mana aku di sini?""Setahun menghilang, kamu tambah cantik Natali," puji Danendra yang tidak memberi pengaruh apa pun pada Natali."Mau apa kamu ke sini?" tanya Natali dengan nada menantang."Mengunjungi istriku."Natali tertawa mencemooh."Sejak setahun lalu aku telah mengatakan tidak ingin lagi menjadi istri kamu!" Jarinya menunjuk Danendra."Kita masih suami istri yang sah," bantah Danendra."Aku telah menikah lagi dengan orang yang lebih baik dari kamu! Dengan orang yang tidak hanya mementingkan pekerjaan dan keluarga sendiri dan mengabaikan aku," ungkap Natali terus terang tanpa sungkan."Saat ini aku akan memerhatikan kamu, yang lalu biarlah sudah terjadi."Natali kembali tertawa sumbang."Urus perceraian kita, hidup dengan cara kamu sendiri. Aku sudah tinggal bahagia bersama orang lain."Kesepuluh jemari Danendra mengepal erat, geram dengan ucapan Natali yang merendahkan pernikahan dan harga diri Danendra."Ku harap kamu berubah pikiran. Hubungi aku dua hari lagi --""Tidak!" jerit Natali. "Aku ingin bercerai," lanjutnya.Hari mulai gelap, Cempaka gelisah lantaran merasa terlalu lama jauh dari anak-anaknya."Kita makan malam dulu, gimana?" ajak Danendra usai mereka menonton film drama di bioskop."Pulang saja, ya, anak-anak pasti cari," tolaknya dengan pasti, Cempaka gelisah mengingat kedua buah hatinya.Danendra mengangguk, mereka berjalan beriringan ke lokasi parkir."Kamu suka filmnya tadi?" tanya Danendra membuka percakapan setelah mereka dalam perjalanan tak mengeluarkan kata sama sskali.Cempaka mengangguk."Nabil, pemain utama, memilih tindakan yang tepat dengan berpisah dari suaminya, pulang kembali ke Indonesia," komentar Cempaka yang membuat posisi duduk Danendra merasa tak nyaman."Tapi, Maxime menunjukkan kalau dia serius bersama Nabil, bukan. Mengejar istrinya sampai ke Indonesia dan meyakinkannya kalau dia bukan Maxime yang dulu. Perjuangan Maxime lima tahun untuk bisa menemukan jejak istrinya. Dan butuh tiga tahun meyakinkan Nabil.""Entahlah, sepertinya semua pria memang seperti itu, ka
Pagi hari usai mengantarkan Saras ke sekolah, Danendra melakukan aktivitas sebagai dokter di rumah sakit. Meskipun semangatnya turun, ia tetap profesional dalam bekerja. Saat jam istirahat ponselnya berdering."Ya, Ma?""Bagaimana kabar kamu?" tanya Qonita dari seberang. Danendra menghela napas panjang, menyenderkan punggung ke bangku."Sepertinya aku gagal, Cempaka tetap mau bercerai, Ma."Qonita merasakan nada sendu dari anak tunggalnya itu. Hatinya pun tak sanggup bila Cempaka akan berpisah dari Danendra. "Sepertinya kamu harus bersiap untuk itu," ucap Qonita bila memang itu akan terjadi."Besok kami akan ke pengadilan, Ma."***Hari yang ditakuti Danendra datang, mereka hadir secara terpisah. Danendra dari tempat kerja, sementara Cempaka dari rumah.Cempaka bisa mengamati bagaimana paras suaminya, sedari semalam mereka telah pisah ranjang. Danendra memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Ia tak sanggup bersama Cempaka dan setelah itu mereka berpisah.Agenda pertama ada
Dengan sigap Danendra melingkarkan tangan ke tubuh Cempaka sehingga perempuan itu tidak terjerembab ke lantai.Mendadak suara tangis Keenan memenuhi kamar tidur mereka. Segera Cempaka setelah badannya seimbang pergi menggendong Keenan."Ssshhh... maaf, ya, Mama membangunkan kamu." Cempaka mengayun-ayun Keenan, menenangkan, sampai anaknya kembali terlelap dalam gendong Cempaka.Perilaku Cempaka yang lembut menangani Keenan disaksikan oleh suaminya dengan seksama. Dalam hati ia memuji istrinya yang lembut pada anak, tetapi bisa kasar juga terhadap orang yang melewati batas.Cempaka kembali naik ke tempat tidur lalu meletakkan Keenan dengan perlahan. Dia menarik napas panjang, lega, lantaran Keenan sudah terbuai dalam tidurnya."Ngapain senyum-senyum?" tanya Cempaka pada Danendra yang tak melepas tatapan.Danendra tidak sadar kalau Cempaka memerhatikan dirinya, ia salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepala belakang. "Kamu ibu dan istri yang luar biasa." Danendra memberanikan diri memuj
Merasa tidak mampu sendiri, Danendra memutuskan meminta bantuan orang tuanya untuk meyakinkan Cempaka agar bersedia bersamanya."Baru sadar sekarang, Danendra!" Lantaran jarak jauh, Danendra hanya bisa mengobrol dari telepon.Bukannya dukungan, Danendra malah dimarahi oleh ibu kandungnya, Qonita."Papa kamu mendukung perceraian kamu, terlalu banyak penderitaan Cempaka!"Beberapa waktu lalu Qonita masih berjuang agar Cempaka tidak bercerai dari putra kesayangannya, hanya saja mengingat betapa Cempaka terluka, hatinya pun tak sanggup."Mama harus bantu aku," ucap Danendra memohon. "Kamu tidak sadar betapa dicintai oleh Cempaka selama ini, hah?!""Cempaka hanya mencintai bang Haris, Ma." Bayangan kemesraan dan kedekatan Cempaka di masa lalu dengan mendiang Haris menari di alam pikiran Danendra. "Jadi, Keenan - anak kamu, bukan bukti kalau Cempaka sangat mencintai kamu? Dia rela tetap bertahan dimadu, padahal dia tahu mendiang istri kamu orang jahat!!"Qonita menggeleng tak habis pikir,
Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara
Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen
Dahlia menemui Danendra di rumah sakit, mereka duduk di taman yang sedang tidak banyak orang. "Aku mohon kamu mau menemui Natali." "Aku akan menceraikannya setelah anak itu lahir lalu mengasuhnya bersama Cempaka." Rahang Dahlia mengatup kuat. Dia semakin yakin cinta Danendra pada Natali sudah sirna seiring terkuak kebenaran. "Apa kamu yakin Cempaka akan menerima anak itu?" Natali tidak setuju, tetapi dia pun tidak bisa berbuat banyak. "Untuk terakhir kali aku menemui Natali, setelah itu jangan kamu datang lagi atas suruhan Natali!" "Aku tidak disuruh Natali atau siapapun, hanya demi kemanusiaan." Danendra berdecak lalu tertawa seolah-olah ada yang membuat kelucuan. Cempaka keluar dari persembunyiannya, ia mencuri dengar percakapan antara Danendra dan Dahlia. Keinginan untuk menemui suami pudar, Cempaka memiliki rencana lain. *** "Dane, kamu masih bersedia menemui aku?" Danendra memenuhi keinginan Dahlia untuk menemui Natali. Danendra duduk berseberangan dengan N
Sebulan berlalu sejak kejadian Cempaka meminta cerai, tinggal tiga bulan lagi. Hubungan antara Cempaka dan Danendra semakin renggang. "Mengapa akhir-akhir ini kamu sering keluar rumah?""Memangnya kenapa? Bik Saidah mengadu?" tanya Cempaka tanpa memandang suaminya. Dia sibuk dengan banyak kertas di tangannya."Kamu buka toko baru?""Kamu membuntutiku?""Kalau tidak seperti itu, kamu tidak pernah mau cerita. Sudah berapa lama?""Bukan urusan kamu." Cempaka berdiri memandang suaminya. "Kamu urusi saja istri kamu yang mau melahirkan itu, bukannya sebentar lagi?"Danendra menghela napas."Jangan mengalihkan pembicaraan. Oh, ya, perlu aku ingatkan keinginan bercerai kamu tidak akan pernah terkabul." Danendra pergi begitu saja dari kamar ke ruang makan. Beberapa minggu belakangan, Danendra sering pulang lebih awal dari rumah sakit.Cempaka terduduk kembali, gilirannya mendengkus karena Danendra memutuskan secara sepihak nasibnya di masa mendatang. ***Usai praktek di poliklinik, Danendra
"Natali, sudahi kebodohan ini!" ujar Dahlia. Baru kali ini perkataan Dahlia serasa tajam di pendengaran Natali."Keluarga Danendra sulit ditumbangkan, lihat papamu, malahan masuk penjara demi aksi balas dendamnya. Apa kamu mau berakhir seperti itu? Cukup menjadi orang jahat, fokuslah sekarang pada anakmu!"Dahlia rasanya tidak sabar lagi menghadapi sahabat karibnya yang terlihat konyol."Tapi... tapi... aku mencintainya, Dahlia," isaknya duduk di kursi."Apa aku bilang! Dulu kamu menikah dengannya tanpa cinta, hanya untuk membalas dendam. Danendra sangat mencintai kamu. Sekarang giliran kamu mencintainya, pria itu sudah tak punya lagi hati untuk kamu. Sadar, Natali!!"Natali semakin terisak, ia merasa menyesal dengan sikapnya di masa lalu sehingga membuat cinta Danendra luntur padanya."Tapi, aku mau berusaha untuk mendapatkan Danendra lagi, Dahlia," ucapnya dibarengi gelengan dari Dahlia."Sadar Natali kesalahan kamu itu banyak, jangan sampai Danendra tahu rahasia kelam kamu, tiba wa