Diana masuk ke rumah dengan langkah ringan. Senyum berkembang menghiasi wajahnya.
"Dari mana kamu?"Diana berjengkit. Ia pikir suaminya masih di kantor. Namun ia salah. Pria itu sedang duduk di sofa dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap.”Dari ngajar, Mas.""Sampai jam segini?" Desta bangkit dan melangkah mendekat. "Kamu lupa sedang tinggal dimana?"Susah payah Diana menelan ludahnya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat tubuhnya panas dingin. Ia binggung dengan perubahan sikap suaminya yang begitu cepat."Maaf, Mas." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Lalu bergerak menjauh menuju kamarnya.Ia tak tahu jika pria yang menjadi suaminya beberapa hari lalu terus menatapnya hingga bayangan tubuhnya lenyap ditelan pintu.Desta bingung dengan sikapnya sendiri. Tiba-tiba ia merasa tidak suka kalau Diana mengabaikannya. Apalagi melihat kedekatannya dengan Daniel. Padahal dia sangat membencinya.<Desta terus mengamati dua wanita yang sedang bertengkar di dapurnya. Dari jarak sekian, ia bisa melihat sikap tenang yang ditunjukkan istrinya. Berbanding terbalik dengan Meta yang berapi-api mencecar kakaknya. "Meta, lebih baik kamu pulang kalau cuma buat gaduh di rumahku! Lagipula, dia kakakmu, harusnya kamu bisa bicara sopan padanya," ucap Desta tanpa emosi. Seperti biasa, ia menampilkan wajah datarnya ketika di hadapan Diana. Karena tak ingin wanita itu salah paham dengan sikapnya. "Dan kau, Diana, kembalilah ke kamarmu. Malu di dengar bik Ijah dan mang Asep!""Iya, Mas." Perempuan berhijab itu melangkah meninggalkan adiknya yang masih diliputi amarah. Melewati sang suami sambil menunduk. Desta yang sejak tadi mencuri pandang padanya merasa kesal karena tak dilirik sama sekali. "Kenapa kamu malah membelanya? Apa sekarang kamu sudah mulai mencintainya?" teriak Meta yang masih bisa didengar oleh Diana. "Kamu ngom
Diana benar-benar tak paham dengan sikap lelaki di depannya ini. Bukankah tadi ia bilang pada adiknya kalau dia sangat membencinya? Kenapa tiba-tiba dia pamitan mau ke rumah sakit? Biasanya juga pulang dan pergi tanpa permisi. Melihat istrinya yang melamun, pria itu tak melewatkan kesempatan untuk kabur dari sana. Ia merutuki kebodohannya yang bicara seperti itu. "Bagaimana kalau ia mengira aku peduli padanya? Argghh! Ada apa, sih denganku?" ***Beberapa hari setelah kejadian ia tertangkap basah menguping istrinya mengaji, Desta memikirkan cara supaya bisa mendengarkan ayat-ayat itu lagi tanpa ketahuan. Ia mulai kecanduan dengan bacaan itu. Namun gengsinya sangat besar untuk berkata jujur dan meminta Diana untuk membacakan Al-Qur'an untuknya. Di sinilah ia sekarang. Di kamar Diana yang sedang ke sekolah untuk mengajar. Tadi pagi ia sengaja berangkat ke kantor. Namun dua jam kemudian ia kembali pulang dan membuka kamar perempuan itu dengan kunci
Seketika Diana membeku. Jantungnya jumpalitan nggak karuan. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitnya. Suara itu, dia sangat mengenal suara dingin itu. Perlahan ia memutar lehernya dan mendapati sosok pria tinggi dengan tubuh atletis berdiri di belakangnya. Sorot mata pria itu begitu tajam menusuk hingga ke tulang belulang Diana. "Ma--mas, kenapa bisa ada di--sini?" ucap perempuan berkerudung syar'i itu gugup. Ia menelan ludah susah payah melihat betapa garangnya pria yang telah menjadi imamnya itu. "Kenapa? Kamu kaget karena tertangkap basah sedang selingkuh dengan sahabatku sendiri? Kupikir kamu wanita alim yang akan menjaga kehormatanmu. Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi. Kamu nggak ada bedanya dengan perempuan murahan yang suka menggoda pria kaya. Cih!""Jadi itu yang ada di dalam pikiranmu, Mas? Kenapa tak bertanya dulu?"Pria dengan mata elang itu tertawa sumbang. Entah mengapa dadanya terasa panas menyaksikan ked
"Bik, Diana sudah makan?" tanya Desta akhirnya. "Belum, Den. Tadi cuma minta dibuatin salad buah dan susu hangat.""Terus kenapa nggak turun?" Pria itu urung menyuapkan nasi ke mulutnya. Berharap wanita yang tadi membuatnya emosi turun dan makan bersama. "Katanya sedang mengerjakan proposal apa gitu lo, Den. Nggak sempat makan ke bawah. Itu aja tadi bibik yang nganter ke kamarnya.""Ck, apa dia lupa kalau punya magh akut," gumam pria itu yang masih bisa didengar oleh bik Ijah. Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum. Ia yakin sebentar lagi tuannya akan jatuh pada pesona Diana. Ya, bik Ijah lebih suka majikannya bersama Diana daripada Meta. Ia juga selalu mengabarkan kondisi rumah termasuk pernikahan sang majikan pada nyonya besar, maminya Desta. "Sudah, Den, makan saja sendiri. Bibik temani di sini, ya. Tadi bibik lihat non Diana lagi sibuk banget di depan laptop. Mungkin nggak akan turun."Seketika nafsu makan p
Diana menghembuskan napas lelah. Ternyata majikan dan pembantunya sama saja. Pemaksa. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok pria yang sedang memenuhi pikirannya. Tatapan keduanya saling beradu. Tubuh mereka menegang. Untuk sesaat, waktu serasa berhenti berputar. Diana tak bisa bergerak, terpaku di tempatnya. "Ehem!" Bik Ijah berdehem untuk menyadarkan keduanya bahwa masih ada orang ketiga di antara mereka. Spontan Diana menyembunyikan pipinya yang merona sambil mencari bergonya yang tadi ditaroh di sebelahnya. Ketika tangannya sudah menemukan benda yang dicari, gadis itu langsung memakainya tanpa melihat sosok yang masih menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Jangan tanyakan bagaimana irama jantung pria itu sekarang. Andai tak ada suara detik jarum dinding yang begitu nyaring, sudah pasti ia bisa mendengar bunyi jantungnya sendiri. Mata elang itu masih enggan berkedip meski pemandangan yang
Suasana kamar menjadi akward. Diana menahan napas karena takut dengan aura yang dipancarkan suaminya. Apalagi setelah menyadari bahwa mereka di kamar hanya berdua saja. Tanpa kata, pria itu mengambil piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Menyendok sedikit lalu mengarahkan pada mulut istrinya. Lagi-lagi muka Diana memerah. Ia handak menolak tapi takut pria di depannya akan marah lagi. Dengan jantung yang berdebar kencang, ia membuka mulutnya. Menerima suapan itu dengan tatapan yang saling mengunci. Beberapa sendok telah masuk ke lambungnya, pria itu meletakkan piring kembali ke meja. Mengusap bibir merah alami wanitanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat keduanya seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Desta merasakan ada yang tak beres dengan tubuhnya. Panas tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Gejolak ga**ah yang pernah ia rasakan saat kejadian yang membuatnya terjebak dengan pernikahan ini, hadir kembali. Bedanya, sekarang ia dalam
Seperti sudah disetting, setiap pukul 3 dini hari Diana selalu bangun untuk melaksanakan ibadah sunah tahajud. Kelopak matanya bergerak-gerak hingga terbuka sempurna. Pertama kali saat matanya terbuka, wajah tampan Desta yang tertangkap retinanya. Jarak mereka yang begitu dekat membuat hembusan napas teratur pria itu menerpa wajah cantik Diana. Seketika wanita itu terbangun. Merasa aneh karena tidur bersama manusia kulkas yang selama ini membencinya. Namun tiga detik kemudian ingatannya kembali pada pergumulan semalam. Pipinya merona saat apa yang terjadi kembali melintas dalam benaknya. Detak jantungnya berpacu lebih cepat hingga menyesakkan dada. Dengan sangat hati-hati ia turun dari ranjang menuju kamar mandi. Membersihkan tubuhnya lalu bermunajat pada Allah. Sepertiga malam terakhir adalah waktu yang sangat pas untuk berkhalwat dengan Sang Pencipta. Ia benar-benar menghayati setiap ayat yang dibaca dalam salatnya. Sementara pria yang terbaring di ranjangnya m
"Mau sampai kapan Lo numpang sarapan di rumah gue?"Pemuda itu tak tersinggung sama sekali. Tampangnya yang sedikit slenge'an terlihat tak terusik dengan sorot tajam tuan rumah. "Sampai gue bosen."Desta mendengus kesal. Merasa terganggu dengan kehadiran sahabatnya. Ini adalah hari bahagianya. Bisa dekat dengan istri setelah beberapa peristiwa yang membuat mereka saling acuh. Seharusnya hari ini ia bisa menikmati akhir pekan berdua saja. Dalam otaknya sudah berencana untuk membangun keintiman dengan wanita yang sejak semalam ia nobatkan sebagai bidadari di hatinya. Menebus kesalahannya yang membuat wanita di sampingnya ini menderita akibat perbuatannya. Namun kehadiran sahabatnya yak ubahnya seperti hama penggagu saat ini. Terlebih ketika melihat tatapan kagum darinya untuk sang istri. Ketenangan yang baru saja ia dapat, seolah terusik. "Di, hari ini ada acara? Ikut abang, yuk!" Pria yang sejak tadi menampilkan aura