“Ada apa? Kenapa kamu nyariin Ayah sampai ngos-ngosan gitu?” tanya Tuan Wirata dengan bingung pada putranya. “Sebentar,” ucap Alatas lemas dengan memberikan telapak tangannya lalu kedua tangannya bertumpu pada pahanya dengan tubuh membungkuk guna menormalkan napasnya. Perawat Dinda mengulum senyum melihat tingkah putra pasiennya. Alatas seperti itu selama lima menit, setelah napasnya kembali normal, ia menegakkan lagi tubuhnya lalu mendekati kursi roda sang Ayah. “Ayah, ayo kita bicara di kamar saja!” ucap Alatas sambil mendorong kursi roda sang Ayah. Perawat Dinda yang mengerti langsung pamit terlebih dahulu dan Alatas mendorong kursi roda ayahnya memasuki gedung rumah sakit sambil mengobrol hal-hal kecil. Sesampainya mereka di kamar rawat sang Ayah, Alatas langsung mengunci kamar itu dari dalam karena tidak mau pembicaraan mereka di dengar orang lain. “Ada apa sih, Al? Kamu kok aneh banget setelah dari kamar kakakmu? Apa kakakmu baik-baik saja?” cecar Tuan Wirata yang ma
Tubuh Ghufron berkeringat dingin karena ketakutan sendiri. Ia berusaha menutupi rasa gelisah dan takutnya dengan pura-pura tertawa malu karena lupa. “Aduh, Abang lupa, Sa!” sahut Ghufron tertawa canggung sambil lirik kanan kiri. “Belum tua sudah lupa, Bang! Abang ngapain di sini? Ini kan bukan waktunya istirahat kantor?” ucap Raisa menohok Ghufron sambil bertanya lagi dengan santai. “Eh, anu... Abang tadi ada urusan di luar, jadi mampir sebentar beli keperluan kantor karena yang biasanya beli lagi izin kerja,” jawab Ghufron dengan berbohong sambil menggaruk ujung hidungnya. Kening Maisarah berkerut melihat tingkah putranya yang jika berbohong pasti menggaruk ujung hidungnya. Mata tua yang tajam itu menatap putranya dengan penuh kecurigaan dan ia menahannya karena saat ini waktunya tidak tepat untuk memarahinya. ‘Apa yang di rahasiakan anak itu? Aku sangat tahu jika anak itu pasti berbohong, aku sangat tahu jika ia sudah menggaruk ujung hidungnya, ia pasti berbohong. Apa yang
Maisarah uring-uringan di rumahnya karena selama tiga hari berturut-turut tidak ada kabar dari putranya Ghufron. Ponselnya juga tidak diangkat dan hanya suara operator yang tersambung saat wanita itu menghubungi nomor tersebut. Wanita paruh baya itu berniat mendatangi rumah dinas putranya dan pagi itu ia sudah siap-siap mau ke sana. “Rapi banget, Bu? Mau ke mana?” tanya Siska basa basi saat mau sarapan. “Ibu mau ke rumahnya Ghufron, mau nasihat jatah bulanannya Ibu!” jawab Maisarah ketus. ‘Dih, tagih saja sampai lebaran monyet gak kan di kasih karena anak kesayanganmu itu sudah habis gajinya,’ cibir Siska dalam hatinya. Wanita itu diam dan memilih tidak bertanya lagi karena malas di semprot sang mertua yang lagi sensitif pagi ini. “Siska, Ibu pergi dulu! Nanti kalau Bu Hayati datang, bilang saja Ibu lagi ambil uangnya sama Ghufron!” ucap Maisarah berpamitan sama menantunya. Siska hanya mengangguk kecil tanpa berniat untuk menyampaikan pesan Wanita tua itu pada petugas b
Satu jam telah berlalu saat Alatas pergi menemui iparnya, Tuan Wirata membuka pintu kamarnya dengan sikap biasa saja seolah-olah keluar karena suntuk. “Tuan Wirata, Tuan mau ke mana?” tanya perawat yang memang ditugaskan untuk menjaganya saat keluarganya keluar. “Saya mau jalan-jalan Sus, bosan di kamar terus! Ayo, temani saja mencari udara segar, Sus?” jawabnya dengan memasang wajah bosan dan jenuh mengajak perawat itu juga. “Boleh, mau saya ambilkan kursi roda biar Tuan gak capek jalan?” tawar perawat itu sambil mengiyakan ajakan pasiennya. “Gak usah Sus, saya pengen jalan kaki saja! Biar terbiasa bergerak!” tolak Tuan Wirata dengan sopan. “Maaf, Tuan! Bukannya saya memaksa, tapi Tuan baru beberapa hari bisa berjalan karena masih kaku syaraf-syarafnya karena koma! Saya tidak mau ambil risiko di marahi dokter karena membiarkan Tuan jalan-jalan dengan berjalan kaki! Apalagi rumah sakit ini juga sangat luas, jadi lebih baik Tuan memakai kursi roda,” ucap sang perawat tidak te
“Ayah membawamu setelah memakamkan Ibu kalian pada wanita itu, dan mengatakan jika kamu adalah anaknya. Wanita jahat itu percaya karena dia tidak tahu jika anak yang ia lahirkan berjenis kelamin perempuan... Entah stres atau bagaimana, wanita itu tidak bisa menyusuimu dan itu membuat Ayah lega. Dan sekarang kamu mengerti bagaimana kehidupan kita setelah kalian semua besar dan sudah bersekolah. Ayah tidak menyesal menjadikanmu anak kandung wanita itu, yang paling Ayah sesalkan adalah Ayah terlalu sibuk bekerja mencari uang sehingga Ayah tidak tahu penderitaan yang kakakmu alami saat ia kecil,” jawab Tuan Wirata atas rasa penasarannya sang Putra. Alatas mendekati sang Ayah, dan merengkuh tubuh sang Ayah yang terlihat lebih tua dari usianya. Pemuda itu mengerti penyesalan sang Ayah, ia hanya bisa menghibur dengan kata-kata manis agar ayahnya tetap tegar. “Yah, apa kita kasih tahu kakak kenyataan ini agar kakak tidak lagi menahan perasaannya karena mengira dia anak durhaka pada wa
Tuan Wirata menyalahkan dirinya sendiri yang tidak becus memperhatikan putrinya sejak kecil. Ia terlalu sibuk mencari uang tanpa pernah tahu penderitaan yang dialami sang anak selama ini. Mata pria paruh baya itu berkilat dendam pada Maisarah istrinya dan juga anak-anak wanita jahat itu. Wajahnya semakin bertambah tua karena merasa sedih dan merasa tidak berguna menjadi seorang Ayah untuk anak-anaknya. Seharian pria tua itu merenung dan melamun melihat keluar jendela. Setitik rasa penyesalan memasuki relung hatinya menikahi perempuan berhati iblis seperti Maisarah. “Ayah, menyalahkan diri sendiri tidak ada gunanya saat ini! Semuanya sudah terjadi di masa lalu, jika masa itu Ayah tidak bisa melakukan apa-apa, Ayah bisa melakukannya di masa sekarang dengan memberikan keadilan dan kenyamanan itu hidup kakak ke depannya,” tegur Alatas menghampiri ayahnya dan duduk di sampingnya. Tuan Wirata menoleh dan mendapati sikap dewasa dari sang anak yang selama ini selalu bertingkat kekanak