Share

Rencana Lamaran (1)

"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar.

"Dia ... " jawab ibu ragu.

"Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.

Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami.

"Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?"

"Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."

Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku.

"Sakit semua?"

"Iya. Lemes banget."

"Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?"

"Iya, Bu?"

"Kamu nggak ingat apa-apa?"

"Apa?"

"Ah, nggak apa-apa."

Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin. Aku mengeratkan selimut pada tubuh. Menoleh kanan kiri tapi tidak melihat ibu juga laki-laki itu. Tak berapa lama ayah masuk ke dalam ruangan. 

"Sudah bangun?"

"Iya, ibu mana Yah?"

"Pulang sebentar."

Aku merasakan aura ayah yang tidak biasa. Sepertinya beliau ada sesuatu yang disembunyikan. Lebih tepatnya ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

"Ayah kenapa?"

"Tidak. Ayah tidak apa-apa. Kamu istirahat saja."

Aku semakin bingung dengan sikap ibu dan ayah. Ada apa sebenarnya dengan mereka. Sesuatu yang rahasia, aku merasa ada hubungannya denganku.

***

Senang bisa pulang ke rumah, setelah tiga hari di rawat di rumah sakit. Pekerjaan juga menjadi terbengkalai. Menjadi salah satu pegawai pemerintah membuat aku mempunyai tanggung jawab yang besar, mendidik anak-anak bangsa menjadi bakal manusia yang berguna nantinya.

Untuk mendapat pekerjaan inipun tidak mudah, karena saingan yang banyak mengharuskan kita belajar lebih ekstra untuk tesnya. Syukur aku diterima dan tempatnya  tidak begitu jauh dari rumah.

Aku menghubungi mas Feri, salah satu teman seangkatan guru di wilayahku. Kami memang bertemu dalam tes. Dan selama perjalanan menuju pegawai tumbuh benih-benih cinta antara kami. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan, daan sebentar lagi memutuskan untuk lebih serius ke jenjang berikutnya. 

[Mas? Dimana?]

[Masih di sekolah. Kenapa tidak aktif ponselnya? Aku ke rumah kamu tapi kosong. Tidak terjadi apa-apa kan?]

[Iya, maaf. Aku di rumah sakit.]

[Di rumah sakit? Sakit apa? Kenapa baru menghubungi?]

[Aku nggak sempat pegang ponsel. Aku kena typus Mas.]

[Sekarang kondisi kamu gimana? Masih sakit? Masih di rumah sakit? Rumah sakit mana?]

[Mas, aku sudah perjalanan pulang sekarang. Pulang sekolah nanti ke rumah, ya?]

[Iya, iya. Kamu mau aku bawakan apa?]

[Cukup Mas datang saja aku sudah senang.]

[Kamu itu, ya? Suka sekali buat mas khawatir. Tiga hari loh nggak ada kabar.]

[Iya, maaf. Aku tunggu ya?]

Aku senyum-senyum sendiri mendengar ucapan mas Feri. Sungguh beruntung bisa memiliki seseorang sepertinya. Aku sudah nggak sabar ingin segera menjadi istri.

"Nduk? Itu, Feri?"

"Iya, Bu."

"Tanyakan padanya, kapan bisa ke rumah. Ayah pingin ngomong," ucap ibu di sebelah sembari mengusap-usap punggungku.

"Nanti ini sepulang sekolah mau ke rumah, Bu."

"Yah, nanti siang Feri mau ke rumah," info ibu pada ayah.

"Baguslah."

***

Lega, akhirnya bisa merebahkan diri di kamar kesayangan. Lebih senang lagi karena mendengar ayah dan ibu menanti kedatangan mas Feri ke sini. Aku harap ada kabar baik nanti.

Aku dan mas Feri memang merencanakan untuk lebih serius setelah diangkat menjadi pegawai. Sudah satu tahun kami menekuni profesi ini, memang sudah waktunya bagi kami untuk lebih memikirkan ke jenjang berikutnya.

Banyak sekali bahan masakan terutama bahan kue di dapur. Hal ini semakin menguatkan bahwa pasti ayah dan ibu segera meminta mas Feri untuk segera melamarku.

[Halo, Mas?]

[Sepuluh menit lagi aku sampai ke sana. Ini masih di lampu merah. Kenapa? Ingin sesuatu?]

[Ah, tidak. Nanti mas Feri jangan kaget ya?]

[Kenapa?]

[Sepertinya ayah dan ibu sudah menginginkan sesuatu yang lebih serius dari kamu.]

[Jangan khawatir, aku sudah siap.]

Ayah dan ibu sudah menunggu kedatangan mas Feri di ruang tamu. Hatiku menjadi deg deg an. Semoga semua berjalan lancar. 

"Assalamualaikum?" Ucap mas Feri dari luar rumah.

"Waalaikum salam," jawab kami bertiga hampir bersamaan.

"Masuk, Nak Feri?" Ajak ibu.

Aku tersenyum melihat kedatangannya. Bingkisan buah dia serahkan padaku. Kemudian aku menyuruhnya segera duduk.

"Buatkan minuman, Nduk!" Perintah Ayah.

"Iya, Yah."

Di dapur, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Mas Feri bertanya pada Ayah tentang pekerjaannya begitupun sebaliknya. Tapi tetap saja aku merasakan hawa ketegangan. Entah apa.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status