Begitu selesai menjamu tamu, Shen Qi kembali ke kamar pengantin untuk bertemu dengan istrinya. Saat dia membuka pintu, Xue Ningyan masih duduk anggun di tepi ranjang dengan wajah tertutup kerudung merah.
Shen Qi menutup pintu, berdiri tepat di depan Xue Ningyan, dan tangannya bergerak membuka kerudung itu. Ningyan menutup mata, aroma kuat dari arak memenuhi hidungnya hingga membuat muak. Shen Qi sudah ada di depannya. “Xue Ningyan …, bukalah matamu. Lihatlah wajah suamimu dengan baik.” Suara yang terdengar menusuk telinga itu membuat Ningyan langsung membuka mata. Napasnya tertahan, dia hanya melihat wajah datar Shen Qi saja di depannya. “T-tuan Muda …,” Ningyan tergeragap, dia tahu cepat atau lambat tubuhnya akan menjadi milik Shen Qi. Pria arogan yang terkenal tak berhati ini tidak akan melepaskan Ningyan begitu dia sudah disentuh dan menjadi miliknya. Pangeran Pertama bahkan menunjuknya sebagai Kepala Biro Informasi yang didirikan sendiri olehnya dua tahun yang lalu. Shen Qi adalah pria yang memenuhi kualifikasi untuk menerima pekerjaan berat itu. Sekarang, pria ini menjadi suami sah Ningyan. Orang yang ditakuti di seluruh Ibukota ini adalah suami Xue Ningyan. “Aku hanya akan mengucapkannya satu kali, jadi kau dengarkan baik-baik.” Shen Qi berkata pelan. Ningyan menelan ludah. Sedekat ini, aura yang dikeluarkan Shen Qi sungguh membuatnya gelisah dan tidak bisa tenang. “Kau hanya perlu patuh padaku dan duduk diam di rumah. Tidak perlu ikut campur urusan kediaman, tidak perlu melibatkan diri dengan persaingan apa pun dengan istri kakak-kakakku. Yang terpenting, jangan membuat masalah, jangan membuatku kerepotan.” Shen Qi berkata panjang dengan nada datar. Ningyan menggeser duduknya sedikit untuk menghindari wajah Shen Qi. “Apakah Tuan Muda begitu tidak menyukai saya?” Shen Qi melontarkan tatapan tajam ke arahnya, tersenyum tipis, “Suka? Bagaimana mungkin aku bisa langsung menyukai wanita yang bahkan tidak kukenal sama sekali.” “Kalau begitu, kenapa Tuan Muda bersedia menikah denganku padahal tidak mau menerimaku?” Demi mendengar itu, Shen Qi terdiam kaku. Memang benar bahwa dia tidak mau menerimanya meski sudah menikah. “Kau tidak berhak mengetahuinya.” Ningyan menundukkan kepala, “Apakah Anda bisa menceraikan saya jika tujuan Anda sudah tercapai?” “Apa?” Shen Qi menatap tak percaya. “Kenapa kau beranggapan kalau aku menikahimu karena suatu tujuan?” “Ayah saya menikahkan saya dengan Tuan Muda karena memiliki tujuan yang harus dicapai. Tuan Muda Keempat memiliki hidup yang baik dan disegani orang-orang serta sudah mapan dan berasal dari keluarga terhormat, tidak mungkin mau menikah dengan saya kalau tidak punya tujuan lain.” Shen Qi mengepalkan tangan, terdiam cukup lama. Lantas tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia menatap Ningyan dengan sorot merendahkan. “Ningyan …, jadi kau menyamakanku dengan ayahmu yang bodoh itu?” Shen Qi melotot tajam. “Aku sungguh tidak salah menilaimu. Kau jauh lebih kuat dari pada yang aku bayangkan. Kau juga cerdas dan punya karakteristik yang tenang.” “Memang aku menikahimu karena suatu tujuan. Tapi itu bukan sesuatu yang harus kau ketahui. Malah lebih baik jika kau tidak perlu tahu. Karena itulah aku ingin agar kau tidak ikut campur dan jangan menganggap dirimu sudah menjadi bagian dari Keluarga Shen.” Shen Qi berdiri dari ranjang, melepas jubah pernikahannya, lalu mengambil posisi tidur di samping Ningyan. Ningyan meremas seprai dengan kuat, “Tuan …, Muda? Anda mau tidur dengan saya?” Shen Qi berdecak. “Aku tidak akan menyentuhmu, dasar bodoh. Tidur saja yang tenang.” Ningyan menelan ludah, dia tidak bisa tidur dengan tenang seperti yang Shen Qi katakan. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk turun dari ranjang dan melepas jubah pernikahannya dan perhiasan yang memberatkan kepalanya. *** Kediaman Menteri Keuangan tidak sederhana. Ada banyak wanita berkuasa dari keluarga lain yang menikah ke keluarga ini. Dan seluruh urusan rumah tangga diurus langsung oleh Nyonya Besar Shen. Tuan Muda Pertama, Shen Yi menikahi putri tunggal dari Kementerian Hukum, Zhu Mingyue. Tuan Muda Kedua, Shen Liang menikah putri ketiga dari Kementerian Administrasi, Song Xiuying. Tuan Muda Ketiga, Shen Sicheng menikah dengan pengusaha kaya dari Yangzhou, Yu Xinyi. Tuan Muda Kelima, Shen Jinyang belum menikah namun sudah ditunangkan dengan keponakan Kaisar, Putri Yinyue. Lalu putri satu-satunya dari Keluarga Shen bernama Shen Lanhua. Usianya baru 15 tahun. Selain wanita-wanita berkuasa yang disebutkan sebelumnya, masih ada Selir Pertama dan Selir Kedua. Tuan Muda Ke-empat adalah putra angkat Selir Pertama. Sedangkan Tuan Muda Ke-tiga dan Nona Ke-enam adalah putri dari Selir Kedua. Dari silsilah yang rumit ini, semua orang yang berada di kediaman ini sama rumitnya. Semua putra sah dari Nyonya Besar dan Tuan Besar, Tuan Pertama, Kedua dan Kelima memiliki jabatan penting di Kementerian Keuangan. Wanita-wanita yang menjadi istri mereka sama mengerikannya dalam hal kekuasaan. Kediaman ini serupa tembok kokoh yang tidak memiliki pintu keluar bagi orang-orang yang tidak punya kekuasaan. Dan Ningyan terjebak di dalamnya. Tanpa tahu harus mengandalkan dukungan dari siapa untuk bertahan hidup di dalam penjara terburuk ini. Kelak sepanjang hari, selain kekejaman Tuan Muda Ke-empat, dia tidak bisa lolos dari rundungan wanita-wanita berkuasa itu. *** Di kediaman Tuan Muda Pertama Shen Yi, Nyonya Muda Pertama yang baru kembali ke kediaman setelah memuja leluhur di luar kota sudah mendapatkan kabar dari pelayannya tentang pernikahan Tuan Ke-empat yang mendadak. Seorang pelayannya bernama Mu Bai, yang melaporkan kabar itu padanya sambil bertekuk lutut. "Nona Pertama Xue menikah dengan Tuan Muda Ke-empat setelah dijodohkan oleh ayahnya seminggu yang lalu.” Zhu Mingyue tersenyum tipis sambil menyeruput tehnya. "Apakah serangga ini harus disingkirkan?" "Nyonya, dia hanya putri pertama Menteri Pekerjaan Umum yang katanya diabaikan oleh ayahnya sendiri. Posisinya sangat rendah, Tuan Besar juga tidak akan peduli padanya, dia tidak akan memengaruhi kekuasaanmu. Sebaiknya jangan merendahkan diri dengan mencari masalah dengan kutu itu." Mu Bai memberikan saran. "Ayahnya pernah berurusan dengan ayahku. Jika aku diam saja, bukankah sedikit tidak adil? Mu Bai …, justru keberadaannya ini harus segera disingkirkan. Meskipun hanya hama, tapi dia bisa merusak tanaman seluas ribuan hektar." Zhu Mingyue berdiri di depan jendela, memikirkan sesuatu. "Apakah aku harus melakukan sesuatu untuk mempersulitnya?" Mu Bai bertanya. Zhu Mingyue menyeringai, “Haruskah …?”Fajar menyembul dari balik tirai tipis yang bergoyang pelan ditiup angin musim dingin. Pagi tahun baru. Hangat cahaya keemasan yang menerobos jendela menciptakan lukisan tak kasat mata di dinding kamar, menyinari ujung selimut dan rambut panjang Xue Ningyan yang terurai di bantal.Di sisi lain ranjang, suara tangisan kecil terdengar lirih—bukan keras, bukan rewel, melainkan rengekan khas bayi yang baru bangun dengan mata separuh terpejam.Xue Ningyan bangkit perlahan. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka, tapi tangan refleksnya sudah bergerak sigap mengangkat sosok mungil itu ke pelukannya."Bangun pagi sekali, hm?" bisiknya sambil mengecup dahi kecil itu. "Hari ini Ayah dan Ibu harus pergi sebentar. Xiao Yan tinggal di rumah dengan Nenek, ya?"Dari balik tirai dalam, terdengar suara lembut pemuda yang tengah mengenakan sabuk di pinggangnya. "Dia pasti lebih senang tinggal di rumah daripada ikut ke tempat penuh orang yang semua baunya sama—politik."Xue Ning
Hening panjang menindih udara. Debu di udara pun enggan bergerak saat kalimat itu keluar dari mulut Baginda Kaisar—tajam, gamblang, tanpa jalan pulang.“Atau …, apakah ajudanmu itu adalah orang yang mencuri surat wasiat Permaisuri Zhang Jingyi dari tangan Tuan Kanselir?”Pangeran Pertama tidak menjawab.Batu catur putih yang sejak tadi digenggamnya perlahan diletakkan ke papan. Suaranya nyaris tak terdengar, namun gaungnya seperti mengiris telinga. Gerakan kecil itu tak sekadar tanda bahwa ia masih hidup, tetapi bahwa pikirannya masih bekerja—berputar, menggiling setiap kemungkinan.Tatapannya tak bergerak dari batu catur itu. Bukan karena takut. Bukan pula karena malu. Tapi karena ia tahu—kata-kata yang sembarangan bisa membakar jalan keluar satu-satunya.Lidahnya seperti terikat. Tapi bukan karena tidak ada jawaban. Justru karena terlalu banyak.“Jika memang benar surat itu hilang,” ucapnya akhirnya, lambat, dingin, dan penuh perhitungan, “maka yang mengambilnya tentu bukan orang se
Esok paginya.Langit masih abu-abu ketika Pangeran Pertama melangkah menuju ruang pribadi Baginda Kaisar. Sepanjang lorong, suara derap langkahnya bergema, menandakan bahwa ia tak berniat menyembunyikan kedatangannya.Saat Pangeran Kedua mengunjunginya secara tiba-tiba tepat setelah kepulangannya, Pangeran Pertama menyadari dengan jelas bahwa dirinya telah diawasi sejak memasuki Ibukota.Dan kepergiannya ke Beizhou telah dibocorkan oleh seseorang bahkan jauh sebelum dirinya melintasi gerbang Ibukota.Setelah kehilangan Ying Shi yang terluka parah hingga tak mengenalinya lagi, Pangeran Pertama memutuskan untuk menghentikan segala macam aktivitas di luar perintah Baginda Kaisar yang jelas berkaitan dengan upayanya memenangkan kursi takhta.Tanpa Ying Shi, Pangeran Pertama tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Sehingga lebih baik mundur sejenak untuk mengambil langkah yang lebih besar.Pangeran Pertama menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri dari pikiran yang berkecamuk sepa
Yang Yunshui berjalan masuk ke dalam kediaman bersama Xiao Ci yang diperintahkan untuk mengantar tamu masuk. Xue Ningyan memilih menunggu di halaman belakang karena tidak ingin mengganggu obrolan penting mereka. Karena dia sudah menyampaikan apa yang bisa dia sampaikan pada suaminya. Setelah memasuki ruangan Yang Yunshui membungkuk takzim. “Salam hormat, Yang Mulia Pangeran.”Shen Qi menatapnya. “Aku bahkan belum secara resmi diakui sebagai pangeran, Tuan Kanselir. Jangan dulu berbasa-basi seperti itu.”Yang Yunshui mengangguk. “Baik, Tuan Muda.” Yang Yunshui duduk di kursi yang disediakan. Lalu mulai membicarakan pertemuannya dengan Baginda Kaisar semalam. “Baginda Kaisar …, memiliki niat untuk mencari Anda, Tuan Muda.” Yang Yunshui mulai bicara. “Saya membuat taruhan dengan beliau. Taruhan untuk tidak memilih Pangeran Pertama maupun Kedua. Baginda Kaisar …, saya meminta beliau untuk membantu saya merebut surat wasiat Mendiang Permaisuri Zhang Jingyi dari tangan Pangeran Pertama
Angin malam membawa aroma hujan salju yang turun, menyusup masuk melalui celah lorong panjang tempat Yang Yunshui melangkah keluar dari ruangan Baginda Kaisar. Langkahnya tenang, namun ada ketegangan yang mengekori geraknya, seolah setiap ayunan lengan menyimpan sisa percakapan yang berat di dada.Di luar aula, Yang Ye sudah menunggunya. Tubuhnya bersandar di sisi pilar batu, bayangannya jatuh ke tanah oleh cahaya lentera yang bergoyang. Ia menoleh saat mendengar langkah Yang Yunshui mendekat.“Bagaimana hasilnya, Ayah?” tanyanya pelan.Yang Yunshui tidak langsung menjawab. Ia berdiri di samping Yang Ye, lalu ikut menatap pekarangan kosong di depan mereka, seakan membiarkan malam menyerap emosi yang belum bisa diucapkan.“Aku sudah menyampaikan semuanya. Termasuk tentang surat itu,” jawabnya, lembut tapi mantap.Yang Ye menatap serius. “Ayah, apakah ini tidak terlalu awal?” “Tidak. Jika terlambat sedikit saja, menunggu kesempatan lain membutuhkan waktu lebih lama. Kalau lebih lama,
Asap dupa mulai menipis. Salju di luar sana belum juga berhenti. Seiring waktu berjalan, butir-butirnya menjadi lebih rapat dan lambat, seperti sengaja ingin menetap lebih lama di atas atap yang tertutup diam.Di dalam ruangan, suasana terasa lebih sunyi daripada sebelumnya. Suara jam air berdetak pelan dari sudut ruangan, dan detik-detik itu serasa menyeret waktu turun ke dasar batin masing-masing orang yang ada di dalam.Yang Yunshui masih berlutut dengan punggung tegak. Matanya mengamati wajah Baginda Kaisar yang mulai kehilangan kilau. Sisa-sisa wibawa kekaisaran yang dulu begitu agung, kini mulai dikelupas oleh usia …, dan penyesalan.“Baginda,” Yang Yunshui berucap lirih. “Apakah Anda menyelidiki anak itu?”Baginda Kaisar tidak langsung menjawab. Jemarinya menyentuh permukaan cangkir teh yang dingin, lalu bergerak pelan menggulirnya sedikit di atas meja.“Aku menyelidikinya,” katanya pelan, “Tepat setelah percakapan kita tempo hari di ruangan ini. Aku perintahkan orangku menyusu