Share

7. Sebuah Keinginan

Author: Iestie Adja
last update Last Updated: 2025-10-02 21:19:06

“Sayang... Bunda kamu sudah meninggal. Tubuhnya dimakamkan di sini, dikubur,” Ardian mencoba menjelaskan.

 

“Dikubur?” Arsya dengan tatapan nanar.

 

“Nah, Arsya pernah kan kucingnya mati? Dia bisa gerak nggak?” tanya Ardian mencoba mencari persamaan kejadian untuk menjelaskan kepada Arsyana.

 

“Makanya waktu itu kucing Arsya kemudian dikubur. Begitu juga dengan manusia, karena semua yang ada pada tubuhnya sudah tidak lagi berfungsi maka dinamakan meninggal atau mati. Jadi Allah memerintahkan untuk mengubur tubuh atau jenazah manusia yang telah meninggal ke dalam tanah. Yang dikubur itu adalah tubuhnya, sedangkan jiwanya berpindah ke surga. Begitu juga dengan Bunda, nak,” lanjut Ardian.

 

Arsyana masih menatap ke arah sang ayah dengan tatapan bingung dan belum sepenuhnya paham dengan apa yang dijelaskan oleh Ardian kepadanya.

 

“Kenapa nggak dibiarin aja di rumah? Meskipun tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, kalau bisa tetap di rumah kan aku masih bisa tetap ketemu sama Bunda,” polos Arsyana.

 

Ardian menggeleng perlahan kemudian berkata, “Semua makhluk hidup yang telah meninggal itu raganya atau tubuhnya akan rusak dan membusuk. Kalau nggak dikubur kan nanti mengganggu kita semua yang masih hidup. Selain itu Allah memerintahkan kita umat Islam untuk mengubur yang telah meninggal dengan tata cara yang telah ditentukan. Jadi, semua manusia yang meninggal itu dikubur lagi ke dalam tanah dalam syariat agama kita. Tapi meskipun tubuh Bunda dikubur di sini dan jauh dari rumah kita, namun hati kita masih akan tetap penuh dengan kenangan dan kasih sayang Bunda yang pernah dicurahkan kepada kita.”

 

“Berarti aku nggak akan pernah ketemu lagi sama Bunda, Yah?” tanya Arsyana dengan mata yang mulai mengembun menahan tangis dan kesedihan.

 

Gadis kecil berusia 5 tahun itu sepertinya paham dengan penjelasan yang diutarakan oleh ayahnya.

 

Ardian menggeleng perlahan dengan senyuman tipis kemudian memegang lembut satu pipi putrinya seraya menjawab, “Arsya masih bisa ketemu sama Bunda melalui mimpi jika Allah mengizinkan. Sekarang yang harus kamu lakukan untuk membanggakan Bunda adalah menjadi anak sholehah yang tak pernah henti belajar dengan baik entah itu ilmu agama ataupun ilmu yang lain. Satu lagi yang harus Arsya ingat, bahwa doa anak sholehah itu akan tetap bisa sampai dan dirasakan oleh orang tuanya yang sudah meninggal sekalipun. Jadi jangan pernah berhenti untuk mendoakan bundamu.”

 

Gadis kecil berambut panjang itu segera mengalungkan kedua tangannya ke leher sang ayah dibarengi dengan air bening yang mengalir dari kedua netranya. Tangisnya yang semula hanya isakan kecil lama-kelamaan menjadi pecah dan terdengar memilukan.

 

“Arsya sayang... Sudah, tidak usah menangis, nak! Kamu masih punya ayah, Eyang, Tante, juga nenek sama kakek juga. Jadi tidak usah menangis seperti ini ya,” ucap Ardian mencoba menghibur putrinya.

 

“Pantas saja teman-temanku bilang aku nggak punya Bunda, ternyata memang Bunda nggak akan pernah kembali buat nemenin aku....”

 

“Sayang... Sayang coba lihat sekarang!” ucap Ardian sambil mengangkat bahu putrinya agar bisa menatap wajahnya dengan jelas.

 

Arsyana pun menatap sang ayah dengan mata yang berair penuh kesedihan.

 

“Kamu punya Bunda, nak. Jangan pernah berkata seperti itu! Kamu tidak ingin kan Bunda sedih karena merasa tidak diakui oleh putri kesayangannya?”

 

Arsyana menatap lekat-lekat ke arah sang ayah kemudian mengangguk menjawab pertanyaan ayahnya.

 

“Jika ada temanmu yang berkata seperti itu lagi, jawab bahwa semua orang pasti memiliki Bunda karena setiap anak itu dilahirkan oleh bundanya. Hanya saja yang membedakan bahwa Bunda kamu sudah lebih dulu berada di surga.”

 

Putri kecil yang menatap tajam penuh keseriusan pada sang ayah itu akhirnya menyapukan tangan mungilnya ke pipi Adrian saat laki-laki dewasa yang ada di depannya itu tidak bisa  lagi menahan air matanya. Iya, Ardian sudah tidak lagi bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan putrinya. Ia sudah tidak mempedulikan lagi bagaimana tanggapan gadis kecilnya itu melihat dirinya menangis.

 

“Iya, ayah. Aku akan menjawab seperti yang ayah katakan. Aku sayang sama ayah...” Arsyana kemudian memeluk Ardian dengan erat.

 

Melihat apa yang ada di hadapannya membuat Bu Nining dan Audy tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mereka yang juga turut kehilangan sang menantu dan ikut sedih merasakan hari-hari putra dan cucunya tanpa sosok wanita yang melengkapi kehidupan mereka.

 

“Sekarang, kirim doa ya buat Bunda!” ujar Bu Nining setelah menghapus air matanya.

 

Ardian kemudian melepas pelukan putrinya dan bersama-sama dengan putrinya mengangguk setuju dengan ajakan Bu Nining. Laki-laki dengan kemeja biru laut itu lalu memimpin doa untuk sang istri.

 

***

 

Malam hari saat berdua dengan ayahnya, Arsyana memilih untuk tidur bersama sang ayah meskipun Bu Nining dan Audy masih menginap di rumahnya. Ardian tak ingin mengecewakan putrinya dengan menolak keinginannya untuk tidur bersamanya.

 

“Ayah... Bunda itu cantik?” tanya Arsyana sambil berbaring di samping Ardian.

 

“Tentu. Bukankah sudah ayah kasih lihat fotonya?”

 

“Ayah sayang sama Bunda?”

 

“Tentu dong.”

 

Arsya tersenyum mendengar jawaban ayahnya yang begitu cepat dan tanpa ragu menjawab pertanyaannya.

 

“Aku juga. Aku juga sayang sama Bunda. Makanya aku pingin ketemu sama Bunda.”

 

“Insya Allah nanti ketemu bunda di mimpi ya...” jawab Ardian dengan lembut sambil membelai rambut panjang putrinya.

 

“Bukan. Aku mau dipeluk sama Bunda. Aku ingin bisa mengobrol banyak dengan Bunda,” Arsyana bercerita tentang keinginannya yang justru membuat Ardian terkesiap dan berpikir macam-macam terlebih putrinya itu mengidap penyakit kanker stadium awal.

 

“Kata ayah, bunda meninggal kan? Terus kalau orang meninggal itu pasti nanti di surga, yah?”

 

“Tidak, sayang. Kalau orang baik dan rajin ibadah masuk ke surga seperti Bunda. Kalau yang suka jahat dan nggak mau beribadah, dia dimasukin ke neraka.”

 

“Kalau menurut ayah aku baik nggak?”

 

“Baik. Sholikhah. Anak ayah ini insya Allah ahli surga. Aamiin...” Ardian penuh senyum sambil menatap lembut ke arah putrinya.

“Kalau begitu, aku nggak mau berobat ayah. Nanti kalau aku meninggal kan bisa ketemu bunda di surga,” ucap Arsyana polos yang seketika membuat sang ayah terperangah mendengar penuturan sang putri.

 

Ardian yang semula tersenyum bahagia mengobrol dengan putrinya tiba-tiba mematung dengan tatapan mata terkejut. Dirinya yang telah kehilangan sang istri kini diuji dengan penyakit serius yang diderita putri semata wayangnya. Sehingga saat Arsyana mengatakan hal demikian, Ardian bagai tersengat listrik kejut mendengar ucapan gadis kecilnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   21. Bu Riska Kesayangan Arsyana

    “Duh, sayang... Bu guru harus pulang ke rumah, soalnya pasti sudah ditunggu orang tua Bu guru,” tolak Riska halus sambil mengusap kepala Arsyana. “Tidak mau! Pokoknya harus ikut! Nanti Bu Riska naik motor di belakang mobil ayah. Janji cuma sebentar saja! Mau ya, bu Riska?” Arsyana merengek dan menatap Riska dengan mata memohon yang membuat hati siapa pun luluh. Bu Nining menyikut lengan Ardian pelan. Beliau memberi kode agar putranya itu ikut membujuk. “Bu Riska, bagaimana? Kalau... Bu guru tidak keberatan,” bujuk Ardian dengan nada lebih terdengar seperti permohonan. Riska menghela nafas pasrah. Dirinya tahu bahwa menolak Arsyana dalam kondisi sebahagia ini akan sangat menyakitkan. Dia akhirnya mengangguk dengan tersenyum yang terlihat dipaksakan. “Baiklah. Tapi hanya sebentar ya. Bu guru cuma mau antar Arsya sampai rumah saja,” kata Riska berusaha memberikan batasan waktu. “Horeee!!” Gadis kecil berusia 5 tahun itu meloncat kegirangan. Dia benar-benar terlihat bahagia dengan

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   20. Ya Ampun, Nak....

    Riska merasakan pipinya memanas dan matanya bergantian menatap Arsyana yang tersenyum penuh harap kepadanya. Sedangkan Ardian menatap heran dan mematung sesaat melihat ke arah sang ibu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Bu Nining. Akan tetapi wanita tua itu segera menguasai dirinya dan justru tersenyum menanggapi ucapan sang cucu yang ajaib itu. “Aduh Arsya! Pertanyaan apa itu? Jangan aneh-aneh seperti itu dong,” ucap Ardian pelan sembari berjalan ke arah bangsal dengan ekspresi yang mencoba ia tunjukkan santai meski dirinya benar-benar malu. Arsyana mengerucutkan bibir, dan menjawab, “Kok aneh sih, Yah? Kata temen-temen itu, kalau udah suka boleh jadi pacar. Bu Riska kan cantik dan baik, terus Bu Riska juga suka dengan ayah yang baik juga. Jadi ayah sama Bu Riska boleh jadi pacar. Ayah mau ya pacaran sama Bu Riska?” Suasana di ruangan itu mendadak menjadi panggungnya, hanya terdengar suara detak jam dinding. Bu Nining yang tadinya hanya tersenyum maklum kini justru terkekeh pe

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   19. Ingin Bu Riska Datang ke RS

    “Sudahlah, Yan. Kamu tahu bagaimana susahnya membuat anak ini mau makan dan minum obat kan? Kalau dia punya keinginan begini, biarkan saja sesekali kita turuti. Demi dia tidak stres, penyakitnya kan butuh semangat,” ujar Bu Nining tegas dengan suara lirih di dekat telinga anak lelakinya itu. Ada nada prihatin dalam suara Bu Nining. Wanita tua itu tahu bagaimana menjaga mood Arsyana adalah bagian terpenting dari perawatan di awal ini. Ardian akhirnya menghela nafas pasrah. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Nomor guru muda itu sudah tersimpan rapi sejak beberapa minggu yang lalu. Saat itu ia harus minta izin absen sekolah Arsyana. Dengan sedikit gugup, Ardian mengetikkan pesan kepada Bu Riska. {Selamat sore Bu Riska. Maaf mengganggu waktunya. Ini saya ayahnya Arsana. Arsyana hari ini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tapi dia mendadak tidak mau pulang kalau belum dijenguk oleh ibu. Katanya dia mau menunjukkan kalau dia sudah hebat. Apakah Bu Riska ada

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   18. Ingin Tetap di Rumah Sakit

    “Tidak sesederhana itu, pak. Saya belum mengenal dia dengan dekat. Permintaan Arsya itu bukan soal permintaan beli permen yang dengan mudah dapat langsung saya kabulkan. Dia minta bunda, minta ibu yang hubungannya dengan pernikahan. Apalagi yang namanya pernikahan itu hubungannya tidak hanya dua orang saja, tapi dua keluarga besar, lebih dari itu juga perjanjian pada Tuhan. Tidak sesimpel pemikiran Arsya, pak,” jawab Ardi mencoba menjelaskan. “Bapak tahu. Atau... kamu memang sudah ada calon?” Ardian menggeleng dan berkata, “Saya masih belum berani menggantikan Risa di kehidupan Arsya. Dia belum sepenuhnya diingat dan dikenal Arsya, kasihan pak. Kasihan jika nanti Risa justru tidak dikenal Arsya sebagai ibunya, padahal Risa orang yang mengandung dan melahirkan.” Pak Nugraha terdiam. Beliau tidak ingin memaksakan sesuatu pada anak laki-lakinya itu. Laki-laki tua itu pun sadar semua yang dikatakan oleh Ardi benar dan memang masalah pernikahan juga tidak bisa grasah-grusuh dan sembaran

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   17. Rengekan Arsyana

    ‘Ini permintaan apa lagi? Kenapa Arsya selalu mengajukan permintaan yang rasanya tak mungkin untuk aku penuhi,' ujar Ardi di dalam hatinya.  Untuk beberapa saat ayah satu anak itu terdiam bahkan tatapan matanya lurus namun kosong. Ardi mematung dan otaknya berputar dengan pikirannya sendiri karena ucapan sang anak.  “Ayah... Ayah kok malah diam?” desak Arsyana yang berhasil menyadarkan Ardian kembali.  “Eh iya... Gimana sayang?” jawab Ardian setelah tersadar dari lamunannya.  “Bu Riska jadi bundaku ya, yah! Bu Riska ajak tinggal di rumah sama kita. Boleh kan yah?” ucap Arsya kembali.  Ardian terdiam. Ia merasa bingung harus menjawab apa atas ucapan putrinya itu.  “Assalamu’alaikum...”  Terdengar suara salam yang dibarengi dengan pintu yang terbuka. Dari luar masuk Bu Nining dan pak Nugraha, ayah kandung Ardian.  “Wa’alaikum s

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   16. Demam

    Berkali-kali dibangunkan akhirnya mata Arsyana pun terbuka. Matanya tampak sayu dan wajahnya pucat.  “Sayang... Apa yang kamu rasakan, nak?” tanya Ardian penuh kekhawatiran.  “Ayah, aku lemas rasanya. Kepalaku pusing,” jawab Arsyana lemah.  “Kita ke rumah sakit sekarang!”  Ardian langsung menggendong putrinya keluar dari kamar dan mengajak budhe Mar untuk ikut serta. Ardian dengan cepat membawa putri kesayangannya itu ke rumah sakit.  Sampai di rumah sakit, Arsyana segera mendapat pertolongan dengan cepat. Ardian menghubungi orang kepercayaannya untuk menghandle pekerjaannya di toko.  “Ya Allah, semoga semua baik-baik saja. Izinkan aku membesarkannya dan melihatnya tumbuh jadi gadis dewasa. Jangan ambil dulu putriku satu-satunya,” lirih Ardian sambil berdiri penuh kesedihan.  Tak dapat lagi disembunyikan kesedihan ayah muda itu. Bahkan Ardian ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status