"Maafkan mamaku, ya. Dia memang selalu begitu," kata Febby, sambil melirik suaminya.
Pria itu hanya mengangguk, menampilkan senyum lembut. "Tidak apa," jawabnya dengan suara penuh pengertian. "Ayo, kita ke kamar," ajak Febby. Rangga mengikutinya. Setibanya di dalam, Febby duduk di sisi ranjang, matanya tampak sendu. Rangga mendekat, meletakkan tasnya, dan duduk di samping istrinya. Dengan lembut, dia menyentuh tangan Febby, mengecup punggung tangan itu. Detak jantung Febby memburu, karena baru pertama kali dia merasakan sentuhan pria lain. "Aku tahu ini mungkin sulit bagimu... dan bagiku juga. Akan tetapi kita harus menjalani pernikahan ini kita awali tanpa benih cinta. Tapi percayalah, aku tidak ingin main-main dengan sakralnya pernikahan. Aku ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup. Jika takdir menautkan kita melalui jalan pernikahan dadakan ini, maka aku berjanji, akan berusaha keras menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untukmu," ucap Rangga dengan suara yang menggetarkan. Febby menatap dalam ke mata Rangga, mencari setitik pun kebohongan dalam kilau matanya, namun yang ia temukan hanyalah kesungguhan. "Selama ini, hidupku selalu dihimpit beban yang berat," Febby bersuara lirih, matanya berkaca-kaca menahan penderitaan yang merasuk hingga ke tulang sumsum. "Aku hanya hidup untuk memenuhi harapan mama, mengerjakan pekerjaan yang tak pernah aku impikan, semua waktuku hanya bekerja dan bekerja. Bahkan ketika orang bertanya, aku hanya bisa menyebutkan mobil dan rumah ini, warisan satu-satunya dari Papa, dan aku tidak punya tabungan apapun." Suaranya bergetar, seraya mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak di dalam dada yang seperti mau meledak. Di sisi lain, Rangga, dengan pandangan yang amat dalam, mengerti benar arah obrolan yang diutarakan oleh istrinya. Ia merespons dengan nada penuh kehati-hatian, "Aku ingin kita tetap bersama bukan hanya karena latar belakangmu sebagai manajer keuangan dulu, tapi karena komitmenku pada pernikahan ini, Febby." Wajahnya menunjukkan kecemasan, "Aku hidup sebatang kara di dunia ini setelah kehilangan kedua orang tuaku. Aku tidak ingin melakukan kesalahan, tidak ingin menambah dosa dengan memenuhi keinginan Mamamu, aku hanya berharap kebaikan yang aku lakukan di dunia mampu menembus langit, membawa doa untuk ketenangan kedua orang tuaku." Febby menatap wajah suaminya, mencari sepercik pengertian di sana. Mungkin ucapan-ucapan yang meluncur dari lisannya tadi telah menusuk hati Rangga, karena dia hanyalah seorang karyawan magang di perusahaan itu, jauh dari citra sukses yang selama ini dibanggakan. Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya jatuh membasahi pipi, menciptakan luka yang baru di hati yang sudah terluka. "Aku janji, takkan pernah ada air mata atau kelelahan yang kamu rasakan selama kamu bersamaku. Demi apapun, aku ingin mempertahankan pernikahan kita, bukan karena status pekerjaanmu sebelumnya, tapi karena aku sangat menghargai ikrar suci kita," ucap Rangga dengan nada penuh tekad, yang mampu menembus hati Febby. Febby mengangguk, “aku percaya padamu, maaf kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu.” Rangga membalas dengan anggukan dan senyum hangat. "Baiklah, kamu istirahat saja dulu. Aku akan ke dapur untuk memastikan apakah bibi sudah menyiapkan makan malam. Ini makan malam pertamamu di rumah, dan apapun yang Mama ucapkan nanti, tolong jangan diambil hati ya," kata Febby dengan lembut. “Tidak masalah,” jawab Rangga. "Taruh saja bajumu, dan biar nanti aku yang menyimpannya di lemari. Jika kamu ingin mandi, gunakan handuk baru ini." ujar Febby, sambil menyerahkan handuk besar itu kepada suaminya. Setelah Febby pergi, Rangga berbisik kepada dirinya sendiri dengan penuh tekad, "Aku janji akan membuatmu bahagia dan menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku." Tepat pukul 19.00, suasana tegang menyelimuti meja makan. Itu malam pertama Rangga duduk bersama untuk makan malam dengan Febby dan keluarganya. Suasana semakin mencemaskan ketika sang Mama mertua menatap tajam dan berkata, "Jadi kamu akan tinggal di rumah ini sampai Febby kalian bercerai?" "Iya, Ma, aku tinggal di sini, dan kami tidak akan pernah bercerai," jawab Rangga tegas. Rossa, yang duduk di samping sang mama dengan sinis menambahkan, "Ya jelaslah dia tinggal di sini, Ma. Mana mungkin dia akan tinggal di tempat lain, mengingat kita semua tahu dia pria miskin yang tak berguna. Sekarang, dia akan memanfaatkan situasi untuk hidup enak di rumah ini." Febby, mencoba meredam situasi memanas, menengahi, "Mama, kakak, sebaiknya kita makan dulu. Tidak baik ribut di atas meja makan." Namun, ucapan itu tak berguna, "Pokoknya, Mama tidak mau tahu, Febby. Kamu harus kembali bekerja. Terserah kamu, mau bekerja di kantormu yang lama atau mencari pekerjaan di tempat lain. Mama mau kamu kembali bekerja!" “Ma. Febby sudah bilang kalau suami istri tidak bisa bekerja dalam satu kantor.” “Makanya jangan jadi orang bodoh. Mana mungkin Bosmu lebih memilih karyawan magang ini untuk bertahan di sana? Pasti ini sudah menjadi rencananya. Buka matamu Febby,” pekik sang mama mulai tersulut Emosi. “Tidak baik seorang istri bekerja mencari nafkah, biarlah semua tanggung jawab ini saya yang ambil alih.” Rossa dan Mayang tertawa terbahak-bahak. “Dengan gajimu yang sebagai anak magang itu, kamu mau membiayai hidup kami berdua?” Febby memijat kepalanya yang mulai berdenyut. Sakit sekali rasanya, bahkan mereka belum menyentuh makanan itu sama sekali. “Kenapa Kak Rossa tidak bekerja saja agar bisa memenuhi kebutuhan sendiri?” Mayang dan Rossa melotot menatap Rangga penuh amarah. Beraninya pria sederhana itu berbicara pada mereka?Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca