Srak!
Rangga menarik kerah baju pria itu lalu menghimpitnya ke dinding, tangannya melayang di udara hendak melayangkan bogem mentah atas tuduhan tak berdasar itu. “Sekali lagi kamu bicara sembarangan, akan aku patahkan tulang lehermu!” seru Rangga lalu menghempas tubuh pria itu sampai tersungkur di lantai. Sementara itu di tempat berbeda, Febby baru saja membuka pintu rumah dan terkejut mendengar suara melengking sang mama tiri, "Kenapa kamu bawa banyak berkas pulang? Apa itu yang kamu pegang?" Febby menoleh ke sumber suara. Sang mama sedang duduk di ruang keluarga. "Berkas pribadi, Ma," jawab Febby sambil menggenggam tasnya lebih erat. Mayang, menghembuskan napas berat seolah mencoba menahan emosi. "Kamu mengundurkan diri dari kantor?" Febby mengangguk pelan, "Iya, Ma, seperti yang sebelumnya sudah Febby bilang, suami istri memang tidak diizinkan berada dalam satu tempat kerja yang sama." "Lalu, kenapa kamu yang harus keluar? Kenapa bukan laki-laki miskin itu?" Nada suara Mayang meninggi, dipenuhi rasa kesal yang mendalam. Febby memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan rasa frustrasi. "Biarkan saja dia yang bekerja, Ma. Febby lebih baik di rumah." Mayang mencibir, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. "Jadi maksudmu, gaji karyawan magang seperti dia yang akan menghidupi kita semua?" Sindiran itu keluar begitu saja, menusuk hati Febby dengan kata-kata yang penuh amarah. Sampai kapanpun, Mayang tidak akan pernah menerima memiliki menantu miskin seperti Rangga. Dia akan berjuang untuk membuat Rangga dan Febby segera berpisah. Nama keluarganya telah tercoreng hanya karena sang anak tiri menikahi laki-laki miskin seperti Rangga, laki-laki yang dianggapnya tidak berguna dan dituduh dengan sengaja menjebak Febby agar bisa menikahinya. "Febby, kamu tahu, kan? Apa yang kamu lakukan ini sama saja dengan menghancurkan masa depanmu. Kamu sudah bekerja keras untuk mencapai posisi itu, dan sekarang kamu meninggalkannya begitu saja?" Mayang melanjutkan dengan nada penuh kekecewaan. "Ma, Febby tidak punya pilihan lain. Rangga juga sudah berusaha untuk mundur, tapi Febby yang mau resign dari kantor. Lagipula, Rangga akan bekerja keras untuk menghidupi kita," jawab Febby dengan suara yang mulai lemah. "Omong kosong! Laki-laki itu tidak pantas untukmu, Febby. Kamu bisa mendapatkan pria yang lebih baik, yang bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluarga ini," sergah Mayang dengan nada sinis. Febby hanya bisa terdiam, menahan air mata yang hampir tumpah. Dia tahu, tidak ada yang bisa dia katakan untuk mengubah pandangan sang mama tiri. "Ma, Febby sudah menikah dengan Rangga. Kita harus menerima kenyataan ini," ucapnya akhirnya dengan suara tangis yang nyaris pecah. Jujur dia lelah bekerja keras untuk keluarga ini, sementara Mama dan Kakak tirinya hanya bisa bersenang-senang menghabiskan sebagian besar gaji yang Febby dapatkan setiap bulan. Mayang memandang Febby dengan tatapan dingin, "Kalau begitu, kamu harus siap dengan konsekuensinya. Jangan harap Mama akan membiarkan kalian hidup tenang. Mama akan memastikan kalian berpisah. Nama baik keluarga ini harus dipulihkan." Febby merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu, perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Dia harus berjuang tidak hanya untuk mempertahankan pernikahannya dengan Rangga, tetapi juga menghadapi tekanan dari keluarganya sendiri. Dengan langkah berat, Febby menuju kamarnya. Dia menutup pintu dan duduk di tepi ranjang, membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Di luar, suara bentakan dan sindiran sang mama tiri masih terdengar, menambah rasa sakit di hatinya. Namun, di tengah kesedihan itu, Febby tahu dia harus kuat. Dia harus bertahan, demi dirinya sendiri, dan demi Rangga, pria yang kini menjadi suaminya. "Febby, kamu harus kuat," bisiknya pada diri sendiri, berusaha menanamkan tekad di dalam hatinya. Sore harinya, ketika Rangga baru saja tiba di rumah, dia langsung disambut oleh cibiran dari sang mama mertua. Bahkan saat ini, mereka masih berada di halaman depan rumah, dan beberapa tetangga mendengar keributan antara mertua dan menantu itu, menganggap Rangga sebagai beban keluarga. “Ngapain kamu kesini?” “Maaf Ma, saya akan tinggal di sini dengan Febby,” jawab Rangga. Mata Mayang melebar mendengarnya. "Tinggal di sini?” Mayang membeo, Rangga membalas dengan anggukan. “Dasar laki-laki tak berguna! Kamu hanya membuat hidup kami semakin sulit!" teriak Mayang dengan suara tinggi, matanya menyala penuh amarah. Rangga berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. "Ma. Saya akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini," jawabnya dengan suara tenang namun tegas. "Kerja keras? Kamu? Omong kosong! Apa yang bisa dilakukan seorang pegawai magang sepertimu? Kamu hanya membawa sial bagi Febby dan keluarga ini!" seru Mayang, suaranya semakin tinggi. Beberapa tetangga yang kebetulan lewat berhenti sejenak, melihat dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Mereka berbisik-bisik, jelas sekali cibiran dan cemoohan tersembunyi di balik tatapan mereka. Rangga merasa panas di telinganya, namun dia berusaha tetap tenang. "Ma, tolong beri saya kesempatan. Saya akan buktikan kalau saya bisa menjadi suami yang baik untuk Febby." Mayang mendengus, "Kesempatan? Kamu sudah merusak semuanya. Febby terpaksa berhenti dari pekerjaannya yang bagus karena menikah dengan kamu. Apa yang kamu bisa tawarkan untuk menggantikan itu?" Saat itu, Febby muncul dari dalam rumah, wajahnya pucat melihat keributan yang terjadi. "Ma, tolong jangan begini. Kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik," ucapnya, berusaha menenangkan suasana. Namun, Mayang tidak menggubris. "Lihat, Febby! Kamu lihat sendiri, kan? Dia tidak layak untukmu. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik!" Tetangga yang mendengar semakin banyak berkumpul, bisikan mereka semakin keras. "Kasihan Febby, punya suami seperti itu." "Sudah kutebak, pria itu memang tak berguna," cibir yang lain. "Coba lihat, sekarang keluarganya jadi berantakan!" Berbagai komentar negatif mulai terdengar. Terdengar simpatik, tapi sebenarnya penuh ejekan. Hal ini membuat Mayang makin kesal. “Apapun yang terjadi, kalian harus segera berpisah. Aku akan mencarikan Febby lelaki yang lebih baik dari kamu. Ini sudah menjadi keputusanku!” Deg! Jantung Febby mencelos seketika.Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika