Share

Disiakan Suami, Dicintai Kakak Angkat
Disiakan Suami, Dicintai Kakak Angkat
Penulis: Legiyani Dewi

Mas Tega Banget!

“Mas tega banget! Anak sendiri sakit tapi malah mentingin nongkrong sama teman-teman Mas! Raka demam tinggi, Mas. Aku mau bawa dia ke dokter. Udah lebih dari dua hari demamnya nggak turun juga. Aku mau minta uangnya sama Mas.”

Bukannya melunak, hati yang lebih keras dari baja itu malah semakin menjadi. Tamparan keras melayang ke pipi kanan Lila. Panas dan nyeri menjalar di sekitar pipi Lila lantas membuat gendang telinganya berdenging kencang.

Kerongkongan Lila mendadak kering. Untuk menelan ludahnya sendiri pun sulit sekali. Kedua matanya yang kini terpaku menatap sang suami mulai berair.

“Kasih saja obat yang ada di warung. Kalau cuma panas aja, minum obat sekali dua kali juga nanti sembuh sendiri.”

Lila masih berdiri dengan satu tangannya menyentuh permukaan pipinya yang masih terasa nyeri itu.

“Aku kan kemarin udah ngasih uang lima puluh ribu sama kamu. Masih aja minta lagi,” cetus Ridwan dengan kesal.

“Aku bakalan pulang malam banget jadi pintunya jangan kamu kunci lagi. Malu kalau tetangga tahu aku teriak-teriak minta bukain pintu.” Ridwan kembali berseloroh lantas pergi tak peduli.

Perlakuan Ridwan semakin hari semakin menyiksa Lila. Satu kali tamparan seperti yang diberikan Ridwan sesaat lalu adalah siksaan teringan bagi Lila. Jika lelaki itu sudah naik temperamennya dan emosinya sudah benar-benar ada di puncak, tubuh putih mulus Lila bisa jadi dipenuhi lebam di sana-sini.

“Tunggu, Mas!”

Tangan Lila bergerak cepat menahan kepergian Ridwan. Lila sadar betul jika seharusnya dia membiarkan Ridwan saja. Tak ayal jika Lila bisa kembali menerima rasa nyeri di bagian tubuhnya yang lain. Mirisnya, hanya Ridwan yang menjadi satu-satunya harapan bagi Lila saat ini.

Raka butuh pertolongan. Anaknya tersayang harus segera dibawa ke dokter, jika tidak entah Lila bisa menghadapi situasi ini lagi atau tidak.

“Apa lagi sih?” bentak Ridwan berbalik lantas menghempaskan pegangan tangan Lila.

Sesaat nyali Lila ciut saat mendapati sorot tajam mata Ridwan. Lila hapal betul arti tatapan itu. Tetapi sekali lagi Lila mengindahkan, Raka satu-satunya prioritas Lila saat ini meskipun pada akhirnya Lila harus kembali babak belur.

“Tolong bawa dulu Raka ke dokter, Mas. Setelah itu aku nggak bakalan minta apa-apa lagi. Aku juga bakalan kerja setelah Raka sembuh biar aku nggak terus ngerepotin Mas Ridwan.”

“Heh! Harusnya kamu mikir itu dari dulu! Buat apa aku nikahin kamu kalau ujung-ujungnya nasibku tetap aja apes!”

Lila terdiam. Bibirnya digigiti dalam diam.

“A-aku minta maaf, Mas. Tapi… tolong kasih aku uang dulu buat berobat Raka. Mas boleh pergi kalau memang nggak sempat buat nganterin aku sama Raka.”

Air mata yang sejak tadi mendesak di kedua pelupuk mata Lila terus coba ditahannya. Lila tak bisa menangis sekarang. Lila tak boleh menangis sekarang. Lila harus kuat. Jika bukan dirinya sebagai ibu yang harus tetap terlihat kuat agar anaknya pun bisa ikut bertahan, lantas siapa?

“Kamu benar-benar membuatku kesal, Wanita Sial!”

Ridwan mendekati Lila. Sambil menahan tangisnya, Lila bergerak mundur. Kakinya gemetar namun tetap coba ia tancapkan di lantai kontrakan itu agar dirinya tak limbung.

Ridwan mencengkeram tangan Lila sangat keras, membuat Lila meringis kesakitan. Tatapan pria itu menajam. Lila bisa merasakan panas udara dari hidung Ridwan. Bau rokok menyengat, menusuk hidung Lila.

Wajah Lila berpaling, namun segera dicengkeram Ridwan. Sekarang tangan yang tadi mencengkeram tangan Lila itu sedang mencekik leher Lila. Lila gelagapan. Napasnya mulai tersengal.

“Le-pas, Mas…”

Dengan sisa-sisa kekuatannya, Lila mencoba untuk menarik tangan Ridwan. Naas cengkeraman itu malah semakin menguat. Kepala Lila berdenyut nyeri. Tatapannya mulai berkunang-kunang.

“BUKA PINTUNYA!”

Suara keras dari luar rumah membuat Ridwan berbalik. Mata pria itu menyipit seakan tengah menerka-nerka sosok yang ada di depan kontrakan petakan itu.

“Gue tau loe ada di dalam, Hei Ridwan! Buka pintunya! Bayar hutang loe, Tukang Tipu!”

Raut wajah Ridwan seketika berubah. Tatapan beringas tadi luntur, digantikan oleh rasa cemas dan bingung.

Lila yang tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya, jatuh begitu saja ke lantai. Suara tangis Raka mengalihkan perhatian Lila. Rupanya anak semata wayangnya itu tengah mengigau saking suhu badannya yang semakin tinggi.

“Raka sayang… tenang ya, Nak. Mama ada di sini. Bertahan sebentar ya, Sayang.” Lila berusaha tetap tenang meski dia juga terus menangis saat mendapati suhu tubuh Raka semakin terasa panas di tangannya.

“Sialan! Kenapa mereka datang ke sini?” Ridwan bergumam sendiri sambil mencari jalan keluar dari rumah itu.

Sayangnya tak ada jalan keluar kecuali pintu depan yang disinyalir sedang ditunggui beberapa rentenir yang hendak menagih hutang. Ridwan terus mengusap wajahnya panik. Dia bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

“Buka pintunya, Ridwan! Woi, Ridwan!”

Ridwan bergerak maju, hendak mengintip. Tetapi berbalik lagi karena tak punya nyali.

“Mas, gimana ini? Badan Raka tambah panas, Mas. Dia bisa kejang jika terus begini. Tolong, Mas…”

“Berisik! Sialan!” bentak Ridwan sambil memelototi Lila.

“RIDWAN! BUKA!” Suara dari luar kembali bergemuruh.

Lila pun sampai ikut memperhatikan pintu depan.

“Siapa yang ada di luar sana, Mas? Kenapa mereka nyari-nyari Mas?”

Ridwan tak menjawabnya.

“Rupanya loe benar ada di sini, hah.”

Pintu rumah itu sudah terbuka lebar dan sekarang ada segerombol pria berbaju hitam melesak masuk.

“Mana duitnya, Ridwan? Loe janji mau balikin tiga hari yang lalu. Sampai sekarang loe masih aja kabur.” Pria lain menimpali.

“Gue janji bakalan balikin besok, Bang. Gue janji, beneran. Gue pasti bakalan balikin duitnya, Bang. Loe harus percaya sama Ridwan, Bang. Gue ini dikenal sebagai orang yang selalu nepatin janji.”

“Cuih!” Pria yang badannya paling besar diantara ketiganya meludah di sembarang tempat di dalam kontrakan itu. “Loe pikir kita ini bego? Bawa dia! Biar bos yang ngurus ni orang!”

Lila kebingungan saat tangan Ridwan tiba-tiba saja mendorong punggungnya. Hampir saja Lila terjatuh jika dia tidak buru-buru menyeimbangkan posisi badannya.

“Bawa dia aja, Bang. Abang bisa jual dia dengan harga tinggi. Dia bisa cantik banget kalau didandanin, Bang. Gue yakin banyak orang yang mau beli dia. Hitung-hitung kita impas, Bang. Hutang gue lunas. Gimana, Bang?”

Kedua mata Lila membulat lebar. Dia masih belum bisa percaya atas apa yang didengarnya. Ridwan mau menjualnya?

Tampak ketiga rentenir itu diam dan saling bersitatap. Ridwan yakin jika usulannya itu akan membuahkan hasil. Senyum Ridwan seketika terkembang saat salah seorang dari rentenir itu memberikan kode untuk segera membawa Lila.

“Kita bawa dia, tapi urusan hutang biar Bos yang nentuin,” ucap pria yang mencengkeram tangan Lila kuat.

“Ng-nggak, Mas! Apa yang kamu lakuin? Lepaskan aku!”

Lila terus berontak namun tenaganya hanya sebatas angin tak ada arti.

Lila tak habis pikir bagaimana mungkin suaminya tega menjualnya. Pria yang diyakini Lila akan menjadi pelindungnya itu sekarang malah menjadikannya pelunas hutang.

“Mas, jangan Mas! Gimana dengan Raka? Mas! Toloong!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status