Mbak Fatimah Wajah seketika kelihatan murung, seperti ada berita yang tidak mengenakkan. Apakah Emak atau Bapak sakit?"Nisa, ini ada pesan dari Emak. Kamu tidak diperbolehkan pulang. Sudah dua minggu ini, Rini menikah lagi. Mereka tinggal di rumah itu.""Alhamdulillah kalau Mbak Rini sudah mempunyai pendamping lagi, Mbak," ucapku spontan."Ke-kenapa saya tidak boleh pulang, Mbak? Bukankan ini kabar baik?" tanyaku heran."Iya betul. Seharusnya ini menjadi baik. Tetapi, keadaan malah menjadi buruk," ucapnya sambil menghela nafas. Aku diam penasaran menunggu apa yang akan disampaikan."Rini semakin menjadi-jadi. Apalagi suaminya mendukung apa saja yang dia inginkan. Sampai-sampai, Pak Sardi jatuh sakit.""Bapak sakit?! Sekarang bagaimana, Mbak?" tanyaku tidak sabar."Pak Sardi tadi malam sudah tujuh harinya.""Maksudnya, Mbak? Sa-saya tidak mengerti? Tujuh hari apa?!" teriakku kaget. "Beliau sudah meninggal, Nis. Emak saat itu langsung mendatangiku, jangan sampai memberi kabar ke kamu
Menunggu memang pekerjaan yang tidak mengenakkan. Sampai tengah malam, belum ada kabar dari Mbak Fatimah tentang keberangkatan Emak. Kekawatiranku, Emak tidak mau atau Mbak Rini tidak memperbolehkannya. Namun untuk apa dia menghalangi Emak ke sini? Atau, dia masih ingin memanfaatkan Emak sebagai pengurus rumah dan Hasan, anaknya? Ah, itu jangan sampai terjadi. Aku tidak rela dia memperlakukan Emak seperti itu. Apalagi kebiasaannya yang berkata kasar.Aku keluar kamar, mengurai sesak yang menggumpal di dada ini. Ingin menelpon Mbak Fatimah, tetapi aku urungkan mengingat pesannya dia tadi. Aku dilarang menghubunginya, kawatirnya saat di di rumah Emak dan Mbak Rini mendengarnya. Ini bisa jadi menimbulkan amarah Mbak Rini. Kata Mbak Fatimah, kemungkinan dia tidak menyukaiku karena merasa tersingkir. Emak terlihat sangat sayang kepadaku daripada dengannya. Walaupun itu tidak benar, Emak juga sayang kepadanya. Hanya karena sempat tidak tinggal di rumah karena mengikuti suami, dia merasa t
Aku menceritakan tentang keberangkatan Emak yang belum pasti. Kutumpahkan semua kegelisahanku, memang aku membutuhkan teman untuk mengurai sesak di dada ini."Serahkan semua kepada Allah, Mbak. Saya yakim, Mbak Fatimah sekarang masih mengusahakan. Di tunggu saja," ucapnya.Kami melanjutkan dengan berbincang banyak hal. Terutama tentang masalahku di kampung. Bagaimana dan kenapa aku bisa terdampar sampai di sini. Perlakuan Mbak Rini dan dukungan Emak dan Bapak. Juga, keinginanku nantinya untuk mandiri. Bagaimanapun, aku tetap harus mempunyai rencana ke depan. "Mbak, aku dukung rencananya. Nanti sekalian kita cari tempat kerja yang bisa di tinggali. Jadi, Mbak Nisa bisa di sana dan di sini. Walaupun, seperti Umi bilang, Mbak Nisa statusnya harus masih tetap di sini," jelas Mas Bowo. Tring!"Tuh, yang ditunggu sudah masuk!" teriaknya saat tanda pesan masuk berbunyi. Aku segera membuka dan membacanya dengan keras.[Assalamualaikum, Nisa. Emak sudah di rumahku. Kami berangkat menggunakan
"Nisa ...!" teriak Emak. Dia berdiri di depan gerbang dengan menjinjing tas pakaian. Di belakangnya Mbak Fatimah masih berbicara dengan sopir travel. Aku yang sedari tadi menunggu di depan, langsung berlari menghampirinya."Emak!" ucapku, langsung meraih tangannya dan aku cium dengan air mata berderai. Mertuaku itu menatapku lekat seperti banyak yang akan disampaikan. Kami saling berpelukan mengurai kerinduan yang teramat sangat.Bik Sari juga berlari mengikutiku. Dia langsung membantu Mbak Fatimah membawa beberapa kardus bawaannya."Mbak Fatimah! Terima kasih sudah membawa Emak," ucapku berganti menatap Mbak Fatimah, dan dia langsung memelukku. "Alhamdulillah. Semua baik-baik saja. Lebih baik kita masuk dulu. Banyak yang ingin aku ceritakan. Umi mana?" tanya Mbak Fatimah sambil tersenyum."Umi masih di Mushola, Mbak," jawab Bik Sari.Aku ambil tas yang Emak jinjing dan membimbingnya masuk. Mbak Fatimah langsung masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Dia akan membersihkan badan d
"Emak. Kenapa menangis?" tanyaku masih menggenggam tangannya yang sudah keriput."Bapakmu meninggal karena 'ngenes', Nis. Dia tertekan karena gagal melaksanakan tanggung jawab Ridwan. Bapakmu merasa bersalah tidak bisa melindungi kalian dari keserakahan Rini anaknya," ucapnya dengan masih terisak. Tatapannya menerawang jauh, seakan mengingat sesuatu. "Kamu tahu tidak, apa yang diucapkan sebelum ajal menjemput? Bapakmu menyuruh Emak mencarimu dan melindungimu, Nis. Dia ingat namamu sampai dia akan meninggal. Tolong maafkan Bapak, ya, Nis. Supaya di sana dia tenang.""Emak .... Nisa tidak pernah terbersitpun menyalahkan Bapak apalagi Emak. Bahkan, Mbak Rini sekalipun. Nisa percaya, ini memang jalan Nisa yang terbaik. Buktinya, kami sekarang baik-baik saja," ucapku mengusap punggung tangannya. Mataku mulai basah dengan air mata, seiring dada ini yang semakin terasa sesak. Ternyata, kepergian kami menyisakan rasa bersalah pada kedua mertuaku ini.. "Nisa ... Emak tahu Umi sayang kepada k
Sudah beberapa bulan berlalu.Dari hari ke hari, Emak mulai kelihatan segar kembali. Tubuhnya lebih gemukan. Kebahagiaan bercengkrama dengan cucu, membuat harinya diwarnai dengan senyum dan tawa. Emak pun mulai dekat dengan Umi. Usia yang hampir sama, membuat mereka sepemikiran yang menyebabkan betah berbincang berjam-jam. Umi juga mengajak Emak untuk aktif di pengajian."Memang kami yang sudah tua, penting mengikuti kegiatan seperti ini. Selain beribadah, kami bertemu dengan teman seumuran," jelas Umi dibenarkan oleh Emak.Usaha kuliner kami sudah berkembang pesat. Langganan yang banyak dan promosi yang konstan membuat bisnis kami stabil. Bahkan dapur di belakang sekarang terasa sempit. Dikarenakan itu lah, kami hampir setiap hari berkeliling, mencari tempat baru. Tidak hanya itu, kami mencari informasi di media sosial dan iklan cetak. Namun, yang sesuai dengan kantong dan keinginan belum ada.Sering kali apa yang kita dapatkan, bukan diwaktu yang kita inginkan. Walaupun itu sudah k
Emak dan Mas Bowo kompak menata perabotan di atas. Bahkan terdengar mereka berbincang dan sesekali terdengar tawa. Karena kesal aku memilih menyibukkan diri di bawah, dan tindakanku ini sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka. Semakin kesal rasanya."Bu, pesanan Bapak sudah semua dikirim. Ini surat tanda terimanya. Tolong ditandatangani," pinta pengantar barang tadi."Dengan Bapak yang di atas saja, Mas!" "Dengan ibu saja, saya buru-buru. Tadi suratnya ketinggalan di mobil."Terpaksa aku menandatangai surat yang dia sodorkan. "Bapak kelihatan sayang keluarga ya, Bu. Beruntung, Ibu memiliki suami seperti Bapak. Jadi kangen dengan anak istri di kampung. Terima kasih, kami pamit," ucapnya kemudian berlari tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan sanggahan tentang status Mas Bowo. Apalagi, suara klakson pak sopir yang sudah memanggilnya.Sering seperti ini, perhatian dan tindakan dia yang terlalu seperti ini selalu membuat orang lain salah paham. Ingin aku jelaskan, namun mer
"Nisa .... Nak Bowo sudah turun? Emak dari tadi tidak mendengar suaranya?" tanya Emak.Dia sibuk memasak soto Madura. Ini masakan kesukaan Mas Ridwan. Aku juga bisa membuatnya, tetapi untuk masakan ini, Emak tidak terkalahkan. Padahal bumbu sama, cara sama, namun rasa tetap soto yang dimasak Emak yang terenak. Seperti saat ini, aroma soto yang menyengat membuat perutku merasa lapar. Dulu aku sering kesal dengan Mas Ridwan. Setiap kami makan soto di warung selalu mengeluh, kurang ini dan itu. Ujung-ujungnya dia berkata, "Enakkan sotonya Emak!"Bahkan dia sampai berkata, "Dimasakkan setiap hari pun, saya tidak akan bosan. Asal sotonya Emak." Dikarenakan itulah, kami selalu menghindari makan soto di luar."Nisa! Ditanya dari tadi malah melamun. Nak Bowo mana? Dia kemarin bilang ke Emak, pingin soto. Kasih tahu dia, sotonya sudah matang!" Aku kaget mendengar ucapannya. Biasanya dia membuatkan soto khusus untuk Mas Ridwan. Sekarang Emak membuat khusus untuk Mas Bowo? Pikiranku berputar