LOGINbelum lahir ja udah dikasih nama 🙂🙂
“Kalian menjauh darinya!” Abel kini tak peduli lagi, dia mendekati Amory, tapi berhenti dan mengernyit heran, saat melihat Amory mundur menjauh. Abel ingin bertanya kenapa, tapi perhatiannya teralih karena jengkel. Melihat Hunter lain dengan terang-terangan menilai Amory dengan mata penuh nafsu, membuatnya kesal.Jelas saja air liur mereka menetes saat membayangkan bisa membayar Amory untuk menghangatkan ranjang. Amory tangkapan yang menakjubkan, dan bisa diraih dengan uang. “Pantas saja kau posesif. Aku juga akan bersikap sama jika punya teman tidur semolek ini. Berapa harganya? Pasti tidak murah jika wajahnya seperti ini.” “Aku sudah katakan, jangan bicara sembarangan!” bentak Abel. Dia jarang marah, tapi jelas sekarang amat marah saat ini. Abel menyesal membiarkan mereka berpikir Amory adalah wanita bayaran. “Hah? Aku hanya ingin tahu berapa harganya, tidak perlu sampai marah seperti itu!” Hunter yang berada di dekat Amory, kini mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya, ta
"Amory?" Abel melupakan kalau seharusnya dia tidak memanggil nama Amory di depan Hunter lain. "Kau mengenalnya?" Salah satu Hunter seketika bertanya padanya. “Eh? I…iya.” Abel tidak mungkin menghindar dengan tiba-tiba berkata tidak, karena jelas tadi dia sudah memanggil nama Amory. Tapi kemudian Abel kebingungan untuk menjelaskan soal bagaimana bisa dia mengenal seorang gadis yang berada di tengah hutan saat tengah malam seperti ini. “Apa dia gadis yang mengunjungimu kemarin?” Hunter yang lain menyahut. “Diam.” Abel menolak menjawab yang itu. Dan Abel kecewa setelah mendengar pertanyaan itu. Hunter yang baru itu memiliki kewaspadaan yang rendah. Mereka seharusnya sadar jika keadaan yang terjadi saat ini sungguh aneh. Ada seorang gadis muncul di kegelapan, dan mereka menganggap itu biasa. Mereka langsung merasa santai begitu Abel terlihat mengenal sosok yang mendekati mereka. Sikap yang amat salah. Hunter seharusnya curiga pada hal aneh, sekecil apapun itu. “Kau benar-benar
“Halo! Apa ada orang di rumah?” Abel mengedipkan mata, saat Rome menjentikkan jari di depan wajahnya. “Oh ya? Ada apa?” Abel kaget, lalu memandang sekitar. Saat itu, Abel baru menyadari kalau seluruh Hunter yang ada di ruangan pertemuan itu sedang menatapnya. Rome baru saja bicara padanya, dan jelas sekali, Abel tidak mendengar karena melamun. Rome melipat tangannya yang kekar di depan dada, lalu menatap Abel. “Apa kau baru saja mengabaikan semua kata-kataku?” tanyanya. “Tidak! Tentu tidak!” Abel menggeleng dengan panik. “Aku mendengar semuanya.” Abel menambahkan, saat Rome menatapnya tak percaya. “Coba ulangi apa yang aku katakan kalau begitu.” Rome menopang kepala dengan tangan, menunggu Abel bicara sambil tersenyum. “Itu… Kau ke sini karena ingin mengumumkan rotasi pergantian Hunter yang bertugas di sini,” kata Abel. “Benar. Itu tujuanku datang ke sini. Tapi bukan itu isi dari penjabaran yang kau abaikan tadi,” balas Rome. Abel menunduk sambil menggaruk kepalanya yang ti
“Kau mau kemana, Mere?” Rad langsung menegur, saat menemukan Amory sedang mengendap di samping kastil. Rad meningkatkan kewaspadaan, jadi dia mendeteksi setiap perubahan aroma dari Amory. Meski sulit, Rad mencoba untuk memastikan dia tahu setiap kali Amory bergerak meninggalkan kastil. Ini kedua kalinya—dalam minggu ini, Rad memergoki Amory menyelinap keluar. “Aku ingin pulang ke rumahku sendiri—rumah yang dibuat Nicolas untukku!” Amory tentu saja hanya mengarang alasan itu, dan membentak, karena Rad memergoki sebelum bisa keluar dari kastil. “Dan untuk apa kau ke sana? Apa yang ingin kau lakukan di sana?” Rad bertanya, sambil melipat tangannya di dada. “Aku ingin menengok rumah itu.” “Rumah itu baik-baik saja. Jika kau tidak percaya, aku bisa menyuruh orang untuk membersihkan dan memperbaiki.” “Aku ingin mengambil buku…” “Buku yang kau punya di rumah itu, berasal dari kastil ini, dan perpustakaan kastil ini memiliki lebih banyak buku daripada di rumah itu. Akan aneh jika
Amory terbangun dengan rasa haus mencekik leher, membuanya sangat ingin bergerak, tapi tubuhnya terikat. Amory awalnya mengira dirinya tertangkap atau bagaimana, tapi kemudian sadar, dia sedang ada di kamar sendiri. Kamar yang ada di kastil Marseilles, jadi tidak mungkin dia tertangkap. “Aku gembira kau bangun dan masih menjadi dirimu sendiri.” Ucapan dengan nada lega membuat Amory menoleh, dan melihat Rad duduk pada kursi di samping ranjang. “Apa maksudmu? Kenapa aku terikat?” Amory menggerakkan tubuh, dan mencoba untuk memutuskan tali yang mengikat tangan dan kakinya, tapi tidak mampu. “Tali apa ini, dan kenapa aku harus terikat seperti ini?!” Amory mulai kesal. “Karena aku harus mengamankan dirimu. Aku tidak ingin kau melukai orang lain, maupun dirimu sendiri,” jelas Rad. “Aku melukai diriku sendiri? Kau itu bicara apa?” Amory berhenti meronta karena heran. Rad menyingsingkan lengan bajunya, lalu memperlihatkan tangannya kepada Amory. “Apa yang harus aku lihat?” Amory bing
Tapi untung saja, Rad tidak larut dalam rasa terkejut. Dia mengulurkan tangan, dan menangkap pinggang Amory tepat pada waktunya, sebelum mencapai Abel—sasarannya. Rad merangkup tubuh Amory pada pinggang, lalu menyeretnya masuk semakin dalam ke ruang kerja. Rad tidak mungkin menunjukkan wajah Amory yang seperti itu kepada penghuni kastil lain. Rad lalu memberi tanda kepada Abel, menyuruhnya untuk keluar. Jelas terlihat sasaran Amory adalah Abel. Diiringi suara mendesis, Amory mengayunkan tangan ke arah Abel. “Keluar dari sini!” bentak Rad, saat Abel tidak bergerak. “Tapi…” “KELUAR DARI SINI!” Rad mengulang lebih keras karena Abel masih kebingungan. Tapi bentakan itu membuatnya sadar dan berlari keluar. “YANG JAUH!” Rad kembali berteriak, maka Abel naik ke lantai dua. Di sana dia bertemu Bree yang keluar dari ruang lukis, karena mendengar keributan. Beberapa pelayan juga terlihat berdiri di depan lorong ruang kerja, tapi terlihat Campy mencegah mereka mendekat. “Ada apa?” tanya







