Selamat pagi Readers! semakin tegang lho, yuk ah terus menyimak
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
Dion mengambil telepon seluler milik Diah. Dibacanya pesan masuk yang diperlihatkan oleh mantan istrinya tersebut.Dia hafal betul, itu nomer kontak ibunya Sari.Sudah ditalak, jangan mengemis cinta sama Mas Dion! Dasar gatel!Wajah Dion merah padam membacanya. Hatinya tetap tidak bisa menerima Diah dimaki-maki oleh Sari.Diah meminta telepon selularnya. Ragu-ragu, diberikan alat komunikasi itu kepada perempuan manis itu.Mantan istrinya itu seperti memanggil seseorang. Dion langsung bersikap waspada.“Kamu mau menghubungi siapa, Di?” tanyanya gugup.Diah tidak menjawab, sambil tetap menempelkan telepon itu pada telinganya, dia menjauhi mantan suaminya.Dion mengikuti langkah Diah yang menuju ke teras belakang. Telepon seluler masih ditempelkan pada telinga.“Di, Kamu menghubungi siapa? Sari? Jangan, dia lagi hamil. Kasihan!” Dion secara beruntun, memberondong Diah dengan berbagai pertanyaan dan permohonan.Diah berbalik, menghadap pada mantan suaminya. Kesal tergambar dari ekspresi wa
“Di, jangan asal ngomong! Kita baru saja rujuk,” sergah Dion.Diah mendengus, memberikan telepon seluler milik Qilla kepada suaminya.Dion menerimanya, kemudian dibaca pesan teks yang membuat istrinya marah besar dan minta pisah.Bilang ke ibumu yang gatel itu. Balikin calon suamiku!Dion terperangah. Kali ini dia merasa Sari sudah sangat keterlaluan. Anaknya ikut diserang juga.Qilla mendorong piringnya menjauh. Matanya sudah berkaca-kaca. Lalu berdiri, tidak ingin lagi meneruskan makanannya.“Lho Dek, belum selesai makannya,” tegur Diah, diliriknya piring si bungsu yang masih ada setengahnya.“Udah kenyang, Bu,” jawab Qilla, kemudian melipir ke kamarnya.Mya hanya mengikuti drama meja makan ini dalam diam. Dia belum begitu faham, apa yang sebenarnya diributkan oleh kedua orang tuanya.“Kenapa, Bu?” tanya Mya. Diah menghela nafasnya. Bingung, bagaimana menerangkan kepada putri sulungnya.“Tante yang kemarin, marahin Adek lewat chatting,” akhirnya Diah bersuara. Ada ekspresi keberatan
“Oke! Kami akan tetap bercerai!” teriak Dion histeris, saat dilihatnya Sari semakin dalam menekan pisau.Dengan teriakan itu, orang-orang bisa lega karena Sari langsung membuang pisaunya. Sungguh, drama queen perempuan ular itu.Sari pun langsung memeluk Dion, wajahnya terlihat cerah. Hilang sudah drama pengancaman tadi.“Sungguh? Kamu akan menceraikan perempuan itu, Mas?” tanya Sari, memastikan kebenaran ucapan laki-laki itu.Dion mengangguk, tubuhnya lemas. Di dalam isi kepalanya, sudah dapat diperkirakan reaksi apa yang diberikan Diah dan anak-anaknya.“Telepon dia sekarang, Mas,” perempuan itu mendesak Dion.“Nanti saja,” tolak laki-laki itu. Dia merasa perlu menghargai perasaan Diah dan anak-anaknya. Beberapa hari ini, mereka harus jungkir balik gara-gara kesalahannya.“Kenapa nggak sekarang?” Sari semakin mendesaknya. Dion menatapnya dengan perasaan marah yang ditahannya.Dion melirik sekitarnya. Semua orang sudah pergi, begitu Sari tidak jadi mencelakai dirinya.“Aku nggak mungk
Dion terpaku memandang perempuan yang sudah belasan tahun menemaninya.“Kamu sedang sakit, Di. Kita-,” perkataan Dion segera disela oleh Diah.“Aku sakit karena terjebak dengan hal yang nggak penting seperti ini,” sergahnya, tidak sabar dengan sikap plin-plan Dion.Laki-laki itu terdiam dengan bantahan yang dilontarkan oleh Diah.“Aku hanya minta, jangan lalai sama anak-anak. Yang lain-lainnya, tidak akan kutuntut,” pinta perempuan berwajah manis tersebut.Biro pariwisata yang kini dikelola Dion, ada sedikit sumbangan dana dari orang tua Diah ketika didirikan. Tetapi secara hukum, tidak ada hak perempuan itu untuk menuntut.Dulu orang tua Diah percaya sepenuhnya, Dion akan jadi pelindung putri semata wayang mereka.Siapa yang menyangka jika kemudian laki-laki itu melukainya?“Aku akan-,” lagi-lagi, perkataan Dion dipotong oleh Diah.“Jangan berjanji apa-apa, cukup ingat untuk tidak lalai terhadap hak anak-anak,” kata Diah. Dia sudah melihat, Dion sudah bukan laki laki-laki yang sama se
“Ngomong apa sih, Kak,” celetuk Qilla. Dia risih mendengar pertanyaan Mya yang memojokkan ibu mereka.Diah menghela nafas panjang. Paham jika anak sulungnya keberatan dengan pengaturan yang diminta olehnya.Bagi anak generasi milenial seperti Mya, jelas internet dan gawai adalah dua hal wajib untuk kehidupan mereka.Tetapi dengan kebutuhan penting yang harus didahulukan, dan keuangan yang menipis, Diah harus mengurangi anggaran untuk dua hal tersebut.“Kalau Ibu nggak maksa pisah dari Ayah, kita nggak perlu hidup susah!” seru Mya jengkel.“Susah apa sih, Kak? Kita masih bisa makan dan sekolah gini,” sanggah Qilla. Dia berdiri dan membantu ibunya untuk membereskan meja makan.Semenjak Dion pergi dan tidak ada kabarnya, Qilla lebih banyak meluangkan diri untuk membantu ibunya mengurus rumah.Diah menghela nafasnya. Lama-lama tidak dapat mengendalikan diri, melihat sikap anak sulungnya.“Jadi Kakak maunya apa?” tanya Diah, membebaskan Mya bicara keinginannya.“Aku mau tinggal sama Ayah!”