Share

BAB 2. Pengakuan Geri

"Jadi, ada permasalahan apa antara Pak Gandung dan Pak Geri, kok bisa sampai jotos jotosan seperti ini?" tanya pak RT memulai mediasi.

Kami berempat sudah duduk di satu meja di ruang tamu. Sementara kerumunan tetangga yang mengiring kami berjubel di pintu dan di teras rumah.

"Si Geri ini Pak RT, ngejar-ngejar istri saya terus."

Mas Gandung menjawab duluan.

Aku yang mendengar jawaban mas Gandung menoleh. Bukannya tadi nuduh aku yang ngejar-ngejar Geri, sekarang malah balik nuduh Geri yang ngejar-ngejar aku. Dasar manusia aneh, batinku kesal.

"Apa benar begitu, Pak Geri ?"

Pak RT menatap Geri.

"Mana ada maling mau ngaku, Pak RT."

Mas Gandung langsung nyolot.

Para tetangga yang di luar mulai riuh. Pak RT berusaha menenangkan, hingga keadaan kembali tenang.

"Semua ini hanya salah paham Pak RT, gak seperti yang suami saya omongkan."

Aku berusaha meluruskan permasalahan yang sebenarnya.

"Jadi kamu masih mbelain Geri?" tuduh mas Gandung menunjuk mukaku dan Geri.

"Bukan begitu, Mas. Yang Mas Gandung bilang itu memang tidak benar."

Aku masih berusaha menahan emosi. Karena sejujurnya aku merasa malu kalau tuduhan mas Gandung ini menjadi konsumsi warga komplek.

"Jadi yang benar gimana? Kamu yang ngejar ngejar dia, gitu?"

Ya Allah, aku menelan ludah. Rasanya ingin lari menghilang dari permukaan bumi, mendengar mas Gandung yang terang-terangan mempermalukan aku di depan banyak warga.

"Sabar dulu Pak Gandung, biar Pak Geri ikut menjelaskan permasalahan ini. Karena gak mungkin kita hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja."

Pak RT berusaha menyabarkan mas Gandung.

"Jadi gimana menurut Pak Geri?" tanya pak RT.

Sebelum Geri menjawab tiba-tiba seorang perempuan datang menerobos masuk. Ratih, istri Geri.

"Oh, jadi begini kelakuan kamu selama aku tinggal kerja? Nggodain istri orang ya?" Ratih melangkah hendak menyerang Geri. Ratih sehari hari bekerja sebagai karyawan di salah satu bank pemerintah.

"Tenang Bu Ratih, jangan emosi dulu!"

Pak RT menahan langkah Ratih hingga tidak jadi memukul suaminya.

"Dan kamu Bu Mayang, udah punya suami masih juga kegatelan nggodain suami saya!"

Ratih ganti menudingku.

Lho? Kok malah dia ikut-ikutan nuduh aku, protesku merasa tak terima.

"Silahkan duduk dulu Bu Ratih, mari kita selesaikan secara baik baik. Mungkin benar yang di bilang Bu Mayang, kalo ini hanya salah paham saja,"

Pak RT menyuruh Ratih duduk.

"Jadi gimana Pak Geri?"

Pak RT kembali meminta penjelasan Geri.

Lelaki itu tak segera menjawab. Tangannya mengusap- usap mukanya yang bengkak dihajar mas Gandung tadi.

Sebenarnya aku merasa sangat bersalah melihat kondisi Geri, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

Sejenak suasana hening menunggu jawaban Geri. Namun karena ditunggu lama lelaki itu tak kunjung berbicara, suasana di luar mulai kembali riuh.

"Emang benar yang dituduhkan Pak Gandung itu kan Mas? Kamu naksir Bu Mayang?"

Ratih mulai tak sabar.

"Ya jelas benar, saya ini sudah lama mengamati kelakuan suami kamu itu pada istri saya."

Mas Gandung malah yang menjawab dan kembali membuat suasana memanas. Ratih berdiri dari tempat duduknya.

"Oh begitu? Jadi kamu juga sudah tanya istri kamu, apa dia juga nggodain suami saya?"

Gantian Ratih menuding mas Gandung. Kali ini sudah berkamu-kamu ke mas Gandung.

Nah lho? Ya Allah, kok jadi kacau balau begini. Kedatangan Ratih bukannya membantu menyelesaikan masalah. Justru membuat suasana semakin tidak karuan.

Kerumunan tetangga yang mengikuti jalannya mediasi ini juga mulai ramai dan tidak sabar.

"Kok bisa ya, Bu Mayang yang kalem gitu bisa ada affairs sama pak Geri."

Terdengar suara sumbang di tengah kerumunan.

Aku menghela nafas. Berusaha menahan sesak, sakit hati, dan pastilah rasa malu yang saat ini menderaku.

"Justru biasanya yang kalem kalem itu kalo sekali bergerak, lansung gerakan maut."

Ada lagi sahutan seseorang yang memerahkan telingaku.

Gerakan maut apanya, batinku kesal. Ini semua gara gara tuduhan mas Gandung. Entah apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu dengan selalu mengumbar tudingan perselingkuhan padaku.

Pak RT kembali berusaha menenangkan warga.

"Jadi gimana Pak Geri, tolong beri penjelasan tentang masalah ini!"

Pak RT kembali meminta penjelasan dari Geri.

Geri menghela napas perlahan. Di usapnya ujung hidungnya yang mancung itu berkali-kali. Pandangannya kini lalu beralih menatapku.

Jujur saja aku jadi risi ditatap Geri seintens itu. Seperti ada sesuatu yang lain, yang ingin dia katakan padaku. Padahal menurutku ngomong pun bukannya susah. Antara kami berdua memang tidak ada hubungan apapun selain hanya bertetangga saja.

Setelah sekian lama menatapku. Geri menghela nafas panjang. Akhirnya dia mulai membuka suara.

"Sebenarnya, jujur saja... Saya selama ini memang menyukai Bu Mayang."

Hah!? Aku yang mendengar jawaban yang di luar dugaan itu tentu saja melongo tak percaya.

"Nah, Pak RT sekarang bisa dengar sendiri kan? Saya tidak salah menuduh orang. Saya tahu kalo Geri ini memang ngejar-ngejar istri saya," kata mas Gandung lebih bersemangat lagi.

"Gila kamu ya, Mas!" Ratih menunjukkan jari telunjuknya ke muka Geri. Muka perempuan itu merah padam menahan amarah.

"Tapi saya gak pernah godain Mbak Mayang, apalagi ngejar-ngejar," kata Geri.

Aku sendiri tidak bisa bicara apa-apa. Mendadak semua pikiran warasku menguap dan hilang begitu saja.

Kerumunan tetangga yang dari tadi ikut mendengarkan menjadi ramai dan riuh rendah. Pak RT jadi sibuk berusaha menenangkan.

"Jadi Pak Geri beneran suka sama Mbak Mayang?" Giliran pak RT yang menanyakan pertanyaan konyol itu. Lebih konyol lagi jawaban Geri yang mengangguk. Membenarkan pertanyaan pak RT.

"Mbak Mayang sendiri bagaimana?" Pak RT giliran menanyaiku.

"Saya?" Aku menunjuk diriku sendiri.

"Halah, pake acara pura-pura bingung segala", Ratih memandangku dengan sinis,"dijawab aja kalo selama ini kamu itu udah jadi selingkuhan suami aku, dasar pelakor!"

"Tapi saya gak selingkuh sama Geri lo Mbak." Aku membela diri.

"Lagian bagaimana kamu bisa memperkeruh keadaan ini, Geri?" tanyaku pada Geri.

"Maafkan saya, Mbak!" jawab Geri menunduk.

Ladalah! Memangnya hanya dengan kata maaf saja bisa menyelesaikan kekisruhan ini. Aku membatin kesal.

"Jadi benar nih, Mbak Mayang ada hubungan sama Pak Geri?" tanya pak RT lagi.

"Ya nggaklah, Pak RT! Saya gak ada hubungan apapun sama Geri. Sebatas tetangga saja," jelasku pada pak RT.

"Mbak Mayang mungkin gak tahu kalo saya suka sama dia. Soalnya saya juga gak pernah ngomong langsung ke Mbak Mayang," jelas Geri.

Nah Lo?! Jadi apa maksud dia mengekspose perasaannya di depan semua orang. Padahal seharusnya dia membela diri. Dan mengklarifikasi semuanya. Bahwa tuduhan mas Gandung itu salah. Tidak benar. Aku benar benar tidak mengerti jalan pikiran Geri ini. Apalagi status dia pun sudah beristri, demikian pula statusku yang sudah bersuami.

"Jadi Pak Geri ini suka dengan Mbak Mayang? Tapi Mbak Mayang gak tahu kalo ditaksir Pak Geri? Karena Pak Geri belum pernah bilang sendiri pada Mbak Mayang. Begitu kan?" tanya pak RT memperjelas.

Geri mengangguk.

Kepalaku menggeleng pelan. Tak menyangka situasinya malah semakin menjadi konyol begini.

Sementara terdengar tertawaan para tetangga yang berada diluar rumah mendengar pertanyaan pak RT barusan.

"Sudahlah Pak RT, kita usir saja orang seperti Geri ini keluar dari kampung kita!" kata mas Gandung penuh provokasi.

"Lhah, enak saja main usir-usiran suami orang!" Ratih menuding mas Gandung dengan sewot," istri kamu yang pelakor itu yang seharusnya diusir dari kampung kita ini. Sudah punya suami, masih juga kegatelan nggodain suami orang. Mas Geri itu kalo nggak digodain sama istri kamu, gak mungkin bisa suka sama istri kamu."

"Kamu itu jadi istri yang gak bisa jaga suami! Masa suami sendiri bisa suka sama istri orang. Sekarang istri aku yang diganggunya, besok lusa istri siapa lagi yang jadi korbannya," kata mas Gandung membalas tudingan Ratih.

"Oh, jadi gak ngaca tuh, dengan kelakuan istri kamu sendiri yang gangguin suami orang. Kamu itu suami yang gak bisa jaga istri. Istri sendiri kok dibiarkan jadi pelakor," tuding Ratih tak mau kalah.

"Astagfirullohaladhim," lirihku sambil mengelus dada. Mendengar mas Gandung dan Ratih saling melempar tudingan membuat kepalaku tidak mampu berpikir jernih. Apalagi Ratih yang sudah berkali-kali menyebutku dengan sebutan pelakor.

"Jadi gimana ni Pak RT?" tanya salah satu tetanggaku. Pak Wiryo namanya.

"Saya malah jadi bingung ini', jawab pak RT yang langsung disambut gelak tawa para tetangga yang mendengar.

Yaelah! Kalau memang tidak bisa ngasih solusi ngapain juga tadi bawa kami kesini, batinku dongkol. Rasa malu yang aku rasakan seperti bahan lawakan warga saat ini.

"Maaf Pak RT, kalo dibolehkan, saya mau pulang aja!" Aku berdiri. Menghadap pak RT. Namun sebelum sempat aku beranjak dari kursi tiba tiba sebuah benda melayang dan menghantamku. Mengenai kepalaku disertai suara makian seseorang.

"Enak saja mau pulang, pulang sana ke neraka!"

Aku ambruk ke kursi akibat hantaman benda itu. Masih sempat kulihat darah segar mengucur deras dari kepalaku. Setelah itu gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status