"Jadi, ada permasalahan apa antara Pak Gandung dan Pak Geri, kok bisa sampai jotos jotosan seperti ini?" tanya pak RT memulai mediasi.
Kami berempat sudah duduk di satu meja di ruang tamu. Sementara kerumunan tetangga yang mengiring kami berjubel di pintu dan di teras rumah."Si Geri ini Pak RT, ngejar-ngejar istri saya terus."Mas Gandung menjawab duluan.Aku yang mendengar jawaban mas Gandung menoleh. Bukannya tadi nuduh aku yang ngejar-ngejar Geri, sekarang malah balik nuduh Geri yang ngejar-ngejar aku. Dasar manusia aneh, batinku kesal."Apa benar begitu, Pak Geri ?"Pak RT menatap Geri."Mana ada maling mau ngaku, Pak RT."Mas Gandung langsung nyolot.Para tetangga yang di luar mulai riuh. Pak RT berusaha menenangkan, hingga keadaan kembali tenang."Semua ini hanya salah paham Pak RT, gak seperti yang suami saya omongkan."Aku berusaha meluruskan permasalahan yang sebenarnya."Jadi kamu masih mbelain Geri?" tuduh mas Gandung menunjuk mukaku dan Geri."Bukan begitu, Mas. Yang Mas Gandung bilang itu memang tidak benar."Aku masih berusaha menahan emosi. Karena sejujurnya aku merasa malu kalau tuduhan mas Gandung ini menjadi konsumsi warga komplek."Jadi yang benar gimana? Kamu yang ngejar ngejar dia, gitu?"Ya Allah, aku menelan ludah. Rasanya ingin lari menghilang dari permukaan bumi, mendengar mas Gandung yang terang-terangan mempermalukan aku di depan banyak warga."Sabar dulu Pak Gandung, biar Pak Geri ikut menjelaskan permasalahan ini. Karena gak mungkin kita hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja."Pak RT berusaha menyabarkan mas Gandung."Jadi gimana menurut Pak Geri?" tanya pak RT.Sebelum Geri menjawab tiba-tiba seorang perempuan datang menerobos masuk. Ratih, istri Geri."Oh, jadi begini kelakuan kamu selama aku tinggal kerja? Nggodain istri orang ya?" Ratih melangkah hendak menyerang Geri. Ratih sehari hari bekerja sebagai karyawan di salah satu bank pemerintah."Tenang Bu Ratih, jangan emosi dulu!"Pak RT menahan langkah Ratih hingga tidak jadi memukul suaminya."Dan kamu Bu Mayang, udah punya suami masih juga kegatelan nggodain suami saya!"Ratih ganti menudingku.Lho? Kok malah dia ikut-ikutan nuduh aku, protesku merasa tak terima."Silahkan duduk dulu Bu Ratih, mari kita selesaikan secara baik baik. Mungkin benar yang di bilang Bu Mayang, kalo ini hanya salah paham saja,"Pak RT menyuruh Ratih duduk."Jadi gimana Pak Geri?"Pak RT kembali meminta penjelasan Geri.Lelaki itu tak segera menjawab. Tangannya mengusap- usap mukanya yang bengkak dihajar mas Gandung tadi.Sebenarnya aku merasa sangat bersalah melihat kondisi Geri, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.Sejenak suasana hening menunggu jawaban Geri. Namun karena ditunggu lama lelaki itu tak kunjung berbicara, suasana di luar mulai kembali riuh."Emang benar yang dituduhkan Pak Gandung itu kan Mas? Kamu naksir Bu Mayang?"Ratih mulai tak sabar."Ya jelas benar, saya ini sudah lama mengamati kelakuan suami kamu itu pada istri saya."Mas Gandung malah yang menjawab dan kembali membuat suasana memanas. Ratih berdiri dari tempat duduknya."Oh begitu? Jadi kamu juga sudah tanya istri kamu, apa dia juga nggodain suami saya?"Gantian Ratih menuding mas Gandung. Kali ini sudah berkamu-kamu ke mas Gandung.Nah lho? Ya Allah, kok jadi kacau balau begini. Kedatangan Ratih bukannya membantu menyelesaikan masalah. Justru membuat suasana semakin tidak karuan.Kerumunan tetangga yang mengikuti jalannya mediasi ini juga mulai ramai dan tidak sabar."Kok bisa ya, Bu Mayang yang kalem gitu bisa ada affairs sama pak Geri."Terdengar suara sumbang di tengah kerumunan.Aku menghela nafas. Berusaha menahan sesak, sakit hati, dan pastilah rasa malu yang saat ini menderaku."Justru biasanya yang kalem kalem itu kalo sekali bergerak, lansung gerakan maut."Ada lagi sahutan seseorang yang memerahkan telingaku.Gerakan maut apanya, batinku kesal. Ini semua gara gara tuduhan mas Gandung. Entah apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu dengan selalu mengumbar tudingan perselingkuhan padaku.Pak RT kembali berusaha menenangkan warga."Jadi gimana Pak Geri, tolong beri penjelasan tentang masalah ini!"Pak RT kembali meminta penjelasan dari Geri.Geri menghela napas perlahan. Di usapnya ujung hidungnya yang mancung itu berkali-kali. Pandangannya kini lalu beralih menatapku.Jujur saja aku jadi risi ditatap Geri seintens itu. Seperti ada sesuatu yang lain, yang ingin dia katakan padaku. Padahal menurutku ngomong pun bukannya susah. Antara kami berdua memang tidak ada hubungan apapun selain hanya bertetangga saja.Setelah sekian lama menatapku. Geri menghela nafas panjang. Akhirnya dia mulai membuka suara."Sebenarnya, jujur saja... Saya selama ini memang menyukai Bu Mayang."Hah!? Aku yang mendengar jawaban yang di luar dugaan itu tentu saja melongo tak percaya."Nah, Pak RT sekarang bisa dengar sendiri kan? Saya tidak salah menuduh orang. Saya tahu kalo Geri ini memang ngejar-ngejar istri saya," kata mas Gandung lebih bersemangat lagi."Gila kamu ya, Mas!" Ratih menunjukkan jari telunjuknya ke muka Geri. Muka perempuan itu merah padam menahan amarah."Tapi saya gak pernah godain Mbak Mayang, apalagi ngejar-ngejar," kata Geri.Aku sendiri tidak bisa bicara apa-apa. Mendadak semua pikiran warasku menguap dan hilang begitu saja.Kerumunan tetangga yang dari tadi ikut mendengarkan menjadi ramai dan riuh rendah. Pak RT jadi sibuk berusaha menenangkan."Jadi Pak Geri beneran suka sama Mbak Mayang?" Giliran pak RT yang menanyakan pertanyaan konyol itu. Lebih konyol lagi jawaban Geri yang mengangguk. Membenarkan pertanyaan pak RT."Mbak Mayang sendiri bagaimana?" Pak RT giliran menanyaiku."Saya?" Aku menunjuk diriku sendiri."Halah, pake acara pura-pura bingung segala", Ratih memandangku dengan sinis,"dijawab aja kalo selama ini kamu itu udah jadi selingkuhan suami aku, dasar pelakor!""Tapi saya gak selingkuh sama Geri lo Mbak." Aku membela diri."Lagian bagaimana kamu bisa memperkeruh keadaan ini, Geri?" tanyaku pada Geri."Maafkan saya, Mbak!" jawab Geri menunduk.Ladalah! Memangnya hanya dengan kata maaf saja bisa menyelesaikan kekisruhan ini. Aku membatin kesal."Jadi benar nih, Mbak Mayang ada hubungan sama Pak Geri?" tanya pak RT lagi."Ya nggaklah, Pak RT! Saya gak ada hubungan apapun sama Geri. Sebatas tetangga saja," jelasku pada pak RT."Mbak Mayang mungkin gak tahu kalo saya suka sama dia. Soalnya saya juga gak pernah ngomong langsung ke Mbak Mayang," jelas Geri.Nah Lo?! Jadi apa maksud dia mengekspose perasaannya di depan semua orang. Padahal seharusnya dia membela diri. Dan mengklarifikasi semuanya. Bahwa tuduhan mas Gandung itu salah. Tidak benar. Aku benar benar tidak mengerti jalan pikiran Geri ini. Apalagi status dia pun sudah beristri, demikian pula statusku yang sudah bersuami."Jadi Pak Geri ini suka dengan Mbak Mayang? Tapi Mbak Mayang gak tahu kalo ditaksir Pak Geri? Karena Pak Geri belum pernah bilang sendiri pada Mbak Mayang. Begitu kan?" tanya pak RT memperjelas.Geri mengangguk.Kepalaku menggeleng pelan. Tak menyangka situasinya malah semakin menjadi konyol begini.Sementara terdengar tertawaan para tetangga yang berada diluar rumah mendengar pertanyaan pak RT barusan."Sudahlah Pak RT, kita usir saja orang seperti Geri ini keluar dari kampung kita!" kata mas Gandung penuh provokasi."Lhah, enak saja main usir-usiran suami orang!" Ratih menuding mas Gandung dengan sewot," istri kamu yang pelakor itu yang seharusnya diusir dari kampung kita ini. Sudah punya suami, masih juga kegatelan nggodain suami orang. Mas Geri itu kalo nggak digodain sama istri kamu, gak mungkin bisa suka sama istri kamu.""Kamu itu jadi istri yang gak bisa jaga suami! Masa suami sendiri bisa suka sama istri orang. Sekarang istri aku yang diganggunya, besok lusa istri siapa lagi yang jadi korbannya," kata mas Gandung membalas tudingan Ratih."Oh, jadi gak ngaca tuh, dengan kelakuan istri kamu sendiri yang gangguin suami orang. Kamu itu suami yang gak bisa jaga istri. Istri sendiri kok dibiarkan jadi pelakor," tuding Ratih tak mau kalah."Astagfirullohaladhim," lirihku sambil mengelus dada. Mendengar mas Gandung dan Ratih saling melempar tudingan membuat kepalaku tidak mampu berpikir jernih. Apalagi Ratih yang sudah berkali-kali menyebutku dengan sebutan pelakor."Jadi gimana ni Pak RT?" tanya salah satu tetanggaku. Pak Wiryo namanya."Saya malah jadi bingung ini', jawab pak RT yang langsung disambut gelak tawa para tetangga yang mendengar.Yaelah! Kalau memang tidak bisa ngasih solusi ngapain juga tadi bawa kami kesini, batinku dongkol. Rasa malu yang aku rasakan seperti bahan lawakan warga saat ini."Maaf Pak RT, kalo dibolehkan, saya mau pulang aja!" Aku berdiri. Menghadap pak RT. Namun sebelum sempat aku beranjak dari kursi tiba tiba sebuah benda melayang dan menghantamku. Mengenai kepalaku disertai suara makian seseorang."Enak saja mau pulang, pulang sana ke neraka!"Aku ambruk ke kursi akibat hantaman benda itu. Masih sempat kulihat darah segar mengucur deras dari kepalaku. Setelah itu gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
Aku tak begitu menanggapi candaan Geri. Takutnya kalau kutanggapi malah ngelantur kemana-mana. "Kok nggak respon, Mbak?" tanya Geri menyalakan sebatang rokok. Dibukanya sedikit kaca jendela mobilku."Takutnya kebablasan jadi dukun cabul."Ups! Rasanya hendak kutarik ucapanku barusan. Padahal sebelumnya sudah kuniati untuk tak menanggapi omongan Geri. Namun kenapa malah omongan itu yang justru keluar dari bibirku.Geri sontak menoleh mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya."Bercanda!!" sanggahku cepat. Agak malu juga sebenarnya kenapa aku menanggapi ocehannya tadi."Kalau dokter cinta saja gimana, Mbak?" tanyanya.Yaelah! Untung sudah sampai ke kantor om Hendri. Jadi aku tak perlu lagi menjawab pertanyaannya."Ikut turun?" tanyaku membuka handle pintu mobil. Geri ikut membuka pintu mobil dan turun bersamaku memasuki kantor om Hendri.Om Hendri yang memang sudah menyuruhku datang ke kantornya sedari kemarin juga sudah menungguku di ruang kerjanya.Tak banyak yang aku ceritakan karena
"Emangnya Ibumu ini punya tampang kriminal?" Ibu malah balik bertanya. Menjitak kepalaku. Lagi-lagi aku meringis."Berarti Ibu cuma menggertak saja kan?" tanyaku." Hemmm!" Aku bernapas lega. Tak bisa aku bayangkan jika memiliki ibu seorang pembunuh. Hih, aku tergidik ngeri."Makanya cepat diurus perceraianmu dengan suamimu itu! Besok Om Hendri nyuruh kamu datang ke kantor," kata ibu memberitahuku."Tanyakan sama Om Hendri bagaimana secepatnya perceraian itu bisa di proses agar tak berlarut-larut," kata bapak menambahi perkataan ibu.Waktu berjalan tanpa terasa saat kami bertiga mengobrol.Aku menguap beberapa kali sebelum akhirnya ibu menyuruhku tidur."Sana, istirahat! Kalau kamu sudah menguap terus itu tandanya tubuhmu perlu tidur! Istirahat! Masuk kamar sana! Ibu masih ingin ngobrol dulu sama bapakmu!" usir ibu sambil mendorong tubuhku agar masuk kamar."Iyalah, Bu...Pak, Mayang tidur dulu lah," sahutku sambil menguap lagi. Setelah itu aku bergegas masuk kamar.******Pagi-pagi s
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.