Ketika aku membuka mata. Aku mendapati tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Aku tahu ini rumah sakit karena ada perawatan medis didekat aku terbaring. Termasuk juga selang infus yang tersambung ke jariku.
"Oh, syukurlah kau sudah siuman!"Seseorang memelukku. Menangis tanpa suara."Bapak?" tanyaku lirih. Nyaris tercekat di tenggorokan.Kulihat juga ibuku di dekat pintu. Sedang menelepon seseorang."Selesaikan saja tanpa kehadiran putriku, kau hadiri proses mediasi dan proses sidangnya!" kata ibu pada seseorang di telepon."Ibu menelpon siapa, Pak?" tanyaku pelan. Perasaanku mendadak tidak enak ketika ibu menyebut proses mediasi dan sidang."Gak usah kamu pikirkan dulu omongan Ibu kamu. Yang penting sekarang istirahat dulu dan pulihkan kesehatanmu!" jawab bapak menggenggam tanganku."Bu...!" panggilku ketika kulihat ibu sudah selesai menelpon. Ibu menghampiriku."Sudah Ibu bilang dari dulu. Suami kamu itu memang gak waras. Coba kalo dari dulu kamu mau nurut sama Ibu," kata ibu memandangku marah."Sudahlah Bu! Yang lain dibahas nanti saja! Kasihan Mayang lagi sakit," kata bapak ketika melihat ibu hendak marah padaku."Untung kemaren itu ada Lita yang menelpon kita. Kalo tidak, mungkin sekarang anak kita udah ada di dunia lain," kata ibu lagi.Rupanya Lita yang menelpon ibuku. Tetangga depan rumahku. Tapi dimana mas Gandung, batinku bertanya."Apa Mas Gandung tadi ada kesini, Bu?" tanyaku kepada ibu yang masih memasang wajah masam menahan marah."Buat apa kamu masih nanyain lelaki gak berguna itu?" Ibu malah balik bertanya."Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham.Ibu menatapku tajam. Matanya terlihat jelas diliputi amarah."Lupakan saja suamimu itu!" jawab ibu ketus."Sudahlah Mayang, kamu istirahat saja ya! Biar semua Bapak Ibu yang ngurus!" Bapak menasehatiku.Aku terdiam. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Siapa sebenarnya yang telah melempar benda yang mengenai kepalaku. Benda apa yang membuatku sampai pingsan dan berakhir di rumah sakit.Tok tok tok!Ada yang mengetuk pintu. Bapak bangkit dari duduk. Berjalan menuju pintu."Assalamualaikum!"Seseorang mengucap salam."Waalaikumsalam," Bapak menjawab salam."Maaf Pak, apa Bu Mayang dirawat disini?"Kudengar orang itu menanyakanku."Betul, ada apa ya?" jawab Bapak sekaligus bertanya."Kalo diperbolehkan saya ingin menengok Bu Mayang, Pak," jawab orang itu lagi.Sepertinya aku mulai mengenali sang pemilik suara."Oh, silahkan!" Bapak membuka pintu lebar-lebar.Seseorang masuk kedalam. Dan mataku membelalak. Benar dugaanku. Dia lagi yang datang.Laki-laki itu menyalami ibuku."Siapa kamu?" tanya ibu menatap tajam.Ibuku memang bukan tipe orang yang mau beramah tamah pada orang tak dikenal. Sikapnya cenderung selalu curiga dan ketus. Apalagi kalo suasana hati beliau tidak senang seperti sekarang ini."Saya Geri, Bu!" jawab Geri sedikit membungkukkan badannya. Hormat.Masih terlihat memar di wajahnya bekas pukulan mas Gandung kemaren. Ah, aku jadi merasa bersalah padanya."Kamu siapanya Mayang?" tanya ibu lagi. Menginterogasi."Saya tetangganya Mbak Mayang, Bu!" jawab Geri. Lalu mengalihkan pandangan ke arahku.Aku jadi merasa tidak enak hati ketika ibuku pun ikut-ikutan menatapku."Geri ini tetangga satu komplek sama aku, Bu." Aku memberi penjelasan pada ibuku."Oh." Hanya itu komentar ibu."Silahkan duduk Nak Geri!" kata bapak menarik sebuah kursi untuk Geri.Bapakku memang seorang yang ramah dan penuh tata krama."Terima kasih, Pak," jawab Geri," ini saya bawa sedikit buah untuk Mbak Mayang."Geri menyerahkan beberapa bungkusan pada bapakku."Aduh, Nak Geri! Mana repot segala, bawain buah untuk Mayang," komentar bapak ketika menerima bungkusan kantong buah dari Geri."Gak papa,Pak! Gak repot kok," jawab Geri."Lagian biasa jugalah, Pak! Namanya menengok orang sakit itu ya biasa kalo bawa buah," sahut ibuku menimpali obrolan mereka berdua."Ih, Ibu ni apaan sih?" Aku yang mendengar sahutan ibuku jadi merasa tidak enak hati sama Geri.Tapi Geri biasa saja. Tidak menunjukkan ketersinggungan sedikitpun pada raut wajahnya atas ucapan ibuku barusan."Gimana kabar Mbak Mayang? Apa lukanya serius?" Geri menanyakan keadaanku."Ya luka seriuslah! Liat kepalanya tuh! Diperban dan dijahit sembilan jahitan karena sobek dan bocor." Ibuku yang menjawab."Saya minta maaf ya Mbak Mayang! Saya merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Mbak Mayang," kata Geri menunjukkan raut muka menyesal."Oh, jadi kamu yang melukai Mayang?" tanya ibuku meradang, "kamu lempar apa sampai anakku luka-meluka seperti ini?"Ibu berdiri menuding ke arah Geri. Aku sampai terkejut mendengar ucapan ibu yang menuduh Geri. Benarkah Geri yang melakukan pelemparan itu?"Maaf, Bu! Bukan saya yang melempar," jawab Geri menggeleng cepat."Kalo bukan kamu, ngapain juga kamu minta maaf?" Ibuku memotong penjelasan Geri."Mertua saya yang melakukannya, Bu! Makanya saya minta maaf atas nama beliau," jawab Geri.Mukanya menunjukkan mimik tidak enak hati. Oh, jadi bu Ida yang melempar benda ke kepalaku waktu itu. Bu Ida itu ibunya Ratih, mertua Geri."Bagaimana bisa, mertua kamu melukai anakku?" tanya ibuku. Menginterogasi Geri.Apa benar ibu dan bapakku belum tahu peristiwa yang semalam menimpaku? Apa Lita yang menelpon orangtuaku tak menceritakan asal muasal terjadinya pelemparan benda yang melukaiku?Geri menatapku sejenak. Seolah minta pertimbangan untuk menjawab pertanyaan ibuku.Aku menggelengkan kepalaku pelan. Berharap agar Geri tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibuku."Sebenarnya hanya salah paham saja, Bu! Cuma mertua saya memang temperamental orangnya," jawab Geri.Mungkin dia mengerti kode samar yang kuberikan agar tak buka mulut pada orang tuaku."Orang macam itu memang layak dipenjara," sungut ibuku ketus."Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham. Apa ibuku menempuh jalur hukum menyelesaikan masalahku ini."Ibu sudah laporkan ke polisi pelaku penyerangan kamu itu," jawab ibu santai.Aku kaget mendengan perkataan ibu.Geri hanya menunduk mendengar keterangan ibuku. Sepertinya dia sudah tahu hal itu."Maafkan Ibunya Mayang ya, Nak Geri!" pinta bapak pada Geri.Mungkin Bapak merasa tidak enak hati ketika mengetahui yang dilaporkan ke polisi adalah mertua Geri."Lah, kok malah Bapak yang minta maaf?" tanya ibu sewot."Sudahlah, Bu! Jangan diperpanjang lagi sama Bapak!" pintaku pada ibu ketika melihat beliau akan memarahi bapak.Tok tok tok!Kami berempat berbarengan menoleh ke pintu yang di ketuk.Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
Aku tak begitu menanggapi candaan Geri. Takutnya kalau kutanggapi malah ngelantur kemana-mana. "Kok nggak respon, Mbak?" tanya Geri menyalakan sebatang rokok. Dibukanya sedikit kaca jendela mobilku."Takutnya kebablasan jadi dukun cabul."Ups! Rasanya hendak kutarik ucapanku barusan. Padahal sebelumnya sudah kuniati untuk tak menanggapi omongan Geri. Namun kenapa malah omongan itu yang justru keluar dari bibirku.Geri sontak menoleh mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya."Bercanda!!" sanggahku cepat. Agak malu juga sebenarnya kenapa aku menanggapi ocehannya tadi."Kalau dokter cinta saja gimana, Mbak?" tanyanya.Yaelah! Untung sudah sampai ke kantor om Hendri. Jadi aku tak perlu lagi menjawab pertanyaannya."Ikut turun?" tanyaku membuka handle pintu mobil. Geri ikut membuka pintu mobil dan turun bersamaku memasuki kantor om Hendri.Om Hendri yang memang sudah menyuruhku datang ke kantornya sedari kemarin juga sudah menungguku di ruang kerjanya.Tak banyak yang aku ceritakan karena
"Emangnya Ibumu ini punya tampang kriminal?" Ibu malah balik bertanya. Menjitak kepalaku. Lagi-lagi aku meringis."Berarti Ibu cuma menggertak saja kan?" tanyaku." Hemmm!" Aku bernapas lega. Tak bisa aku bayangkan jika memiliki ibu seorang pembunuh. Hih, aku tergidik ngeri."Makanya cepat diurus perceraianmu dengan suamimu itu! Besok Om Hendri nyuruh kamu datang ke kantor," kata ibu memberitahuku."Tanyakan sama Om Hendri bagaimana secepatnya perceraian itu bisa di proses agar tak berlarut-larut," kata bapak menambahi perkataan ibu.Waktu berjalan tanpa terasa saat kami bertiga mengobrol.Aku menguap beberapa kali sebelum akhirnya ibu menyuruhku tidur."Sana, istirahat! Kalau kamu sudah menguap terus itu tandanya tubuhmu perlu tidur! Istirahat! Masuk kamar sana! Ibu masih ingin ngobrol dulu sama bapakmu!" usir ibu sambil mendorong tubuhku agar masuk kamar."Iyalah, Bu...Pak, Mayang tidur dulu lah," sahutku sambil menguap lagi. Setelah itu aku bergegas masuk kamar.******Pagi-pagi s
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.