Share

BAB 3. Dibawa Ke Rumah Sakit

Ketika aku membuka mata. Aku mendapati tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Aku tahu ini rumah sakit karena ada perawatan medis didekat aku terbaring. Termasuk juga selang infus yang tersambung ke jariku.

"Oh, syukurlah kau sudah siuman!"

Seseorang memelukku. Menangis tanpa suara.

"Bapak?" tanyaku lirih. Nyaris tercekat di tenggorokan.

Kulihat juga ibuku di dekat pintu. Sedang menelepon seseorang.

"Selesaikan saja tanpa kehadiran putriku, kau hadiri proses mediasi dan proses sidangnya!" kata ibu pada seseorang di telepon.

"Ibu menelpon siapa, Pak?" tanyaku pelan. Perasaanku mendadak tidak enak ketika ibu menyebut proses mediasi dan sidang.

"Gak usah kamu pikirkan dulu omongan Ibu kamu. Yang penting sekarang istirahat dulu dan pulihkan kesehatanmu!" jawab bapak menggenggam tanganku.

"Bu...!" panggilku ketika kulihat ibu sudah selesai menelpon. Ibu menghampiriku.

"Sudah Ibu bilang dari dulu. Suami kamu itu memang gak waras. Coba kalo dari dulu kamu mau nurut sama Ibu," kata ibu memandangku marah.

"Sudahlah Bu! Yang lain dibahas nanti saja! Kasihan Mayang lagi sakit," kata bapak ketika melihat ibu hendak marah padaku.

"Untung kemaren itu ada Lita yang menelpon kita. Kalo tidak, mungkin sekarang anak kita udah ada di dunia lain," kata ibu lagi.

Rupanya Lita yang menelpon ibuku. Tetangga depan rumahku. Tapi dimana mas Gandung, batinku bertanya.

"Apa Mas Gandung tadi ada kesini, Bu?" tanyaku kepada ibu yang masih memasang wajah masam menahan marah.

"Buat apa kamu masih nanyain lelaki gak berguna itu?" Ibu malah balik bertanya.

"Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham.

Ibu menatapku tajam. Matanya terlihat jelas diliputi amarah.

"Lupakan saja suamimu itu!" jawab ibu ketus.

"Sudahlah Mayang, kamu istirahat saja ya! Biar semua Bapak Ibu yang ngurus!" Bapak menasehatiku.

Aku terdiam. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Siapa sebenarnya yang telah melempar benda yang mengenai kepalaku. Benda apa yang membuatku sampai pingsan dan berakhir di rumah sakit.

Tok tok tok!

Ada yang mengetuk pintu. Bapak bangkit dari duduk. Berjalan menuju pintu.

"Assalamualaikum!"

Seseorang mengucap salam.

"Waalaikumsalam," Bapak menjawab salam.

"Maaf Pak, apa Bu Mayang dirawat disini?"

Kudengar orang itu menanyakanku.

"Betul, ada apa ya?" jawab Bapak sekaligus bertanya.

"Kalo diperbolehkan saya ingin menengok Bu Mayang, Pak," jawab orang itu lagi.

Sepertinya aku mulai mengenali sang pemilik suara.

"Oh, silahkan!" Bapak membuka pintu lebar-lebar.

Seseorang masuk kedalam. Dan mataku membelalak. Benar dugaanku. Dia lagi yang datang.

Laki-laki itu menyalami ibuku.

"Siapa kamu?" tanya ibu menatap tajam.

Ibuku memang bukan tipe orang yang mau beramah tamah pada orang tak dikenal. Sikapnya cenderung selalu curiga dan ketus. Apalagi kalo suasana hati beliau tidak senang seperti sekarang ini.

"Saya Geri, Bu!" jawab Geri sedikit membungkukkan badannya. Hormat.

Masih terlihat memar di wajahnya bekas pukulan mas Gandung kemaren. Ah, aku jadi merasa bersalah padanya.

"Kamu siapanya Mayang?" tanya ibu lagi. Menginterogasi.

"Saya tetangganya Mbak Mayang, Bu!" jawab Geri. Lalu mengalihkan pandangan ke arahku.

Aku jadi merasa tidak enak hati ketika ibuku pun ikut-ikutan menatapku.

"Geri ini tetangga satu komplek sama aku, Bu." Aku memberi penjelasan pada ibuku.

"Oh." Hanya itu komentar ibu.

"Silahkan duduk Nak Geri!" kata bapak menarik sebuah kursi untuk Geri.

Bapakku memang seorang yang ramah dan penuh tata krama.

"Terima kasih, Pak," jawab Geri," ini saya bawa sedikit buah untuk Mbak Mayang."

Geri menyerahkan beberapa bungkusan pada bapakku.

"Aduh, Nak Geri! Mana repot segala, bawain buah untuk Mayang," komentar bapak ketika menerima bungkusan kantong buah dari Geri.

"Gak papa,Pak! Gak repot kok," jawab Geri.

"Lagian biasa jugalah, Pak! Namanya menengok orang sakit itu ya biasa kalo bawa buah," sahut ibuku menimpali obrolan mereka berdua.

"Ih, Ibu ni apaan sih?" Aku yang mendengar sahutan ibuku jadi merasa tidak enak hati sama Geri.

Tapi Geri biasa saja. Tidak menunjukkan ketersinggungan sedikitpun pada raut wajahnya atas ucapan ibuku barusan.

"Gimana kabar Mbak Mayang? Apa lukanya serius?" Geri menanyakan keadaanku.

"Ya luka seriuslah! Liat kepalanya tuh! Diperban dan dijahit sembilan jahitan karena sobek dan bocor." Ibuku yang menjawab.

"Saya minta maaf ya Mbak Mayang! Saya merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Mbak Mayang," kata Geri menunjukkan raut muka menyesal.

"Oh, jadi kamu yang melukai Mayang?" tanya ibuku meradang, "kamu lempar apa sampai anakku luka-meluka seperti ini?"

Ibu berdiri menuding ke arah Geri. Aku sampai terkejut mendengar ucapan ibu yang menuduh Geri. Benarkah Geri yang melakukan pelemparan itu?

"Maaf, Bu! Bukan saya yang melempar," jawab Geri menggeleng cepat.

"Kalo bukan kamu, ngapain juga kamu minta maaf?" Ibuku memotong penjelasan Geri.

"Mertua saya yang melakukannya, Bu! Makanya saya minta maaf atas nama beliau," jawab Geri.

Mukanya menunjukkan mimik tidak enak hati. Oh, jadi bu Ida yang melempar benda ke kepalaku waktu itu. Bu Ida itu ibunya Ratih, mertua Geri.

"Bagaimana bisa, mertua kamu melukai anakku?" tanya ibuku. Menginterogasi Geri.

Apa benar ibu dan bapakku belum tahu peristiwa yang semalam menimpaku? Apa Lita yang menelpon orangtuaku tak menceritakan asal muasal terjadinya pelemparan benda yang melukaiku?

Geri menatapku sejenak. Seolah minta pertimbangan untuk menjawab pertanyaan ibuku.

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Berharap agar Geri tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibuku.

"Sebenarnya hanya salah paham saja, Bu! Cuma mertua saya memang temperamental orangnya," jawab Geri.

Mungkin dia mengerti kode samar yang kuberikan agar tak buka mulut pada orang tuaku.

"Orang macam itu memang layak dipenjara," sungut ibuku ketus.

"Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham. Apa ibuku menempuh jalur hukum menyelesaikan masalahku ini.

"Ibu sudah laporkan ke polisi pelaku penyerangan kamu itu," jawab ibu santai.

Aku kaget mendengan perkataan ibu.

Geri hanya menunduk mendengar keterangan ibuku. Sepertinya dia sudah tahu hal itu.

"Maafkan Ibunya Mayang ya, Nak Geri!" pinta bapak pada Geri.

Mungkin Bapak merasa tidak enak hati ketika mengetahui yang dilaporkan ke polisi adalah mertua Geri.

"Lah, kok malah Bapak yang minta maaf?" tanya ibu sewot.

"Sudahlah, Bu! Jangan diperpanjang lagi sama Bapak!" pintaku pada ibu ketika melihat beliau akan memarahi bapak.

Tok tok tok!

Kami berempat berbarengan menoleh ke pintu yang di ketuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status