"Ras ... bicaralah, jangan diam saja membuatku takut." Winda menggoyangkan lenganku.Aku bergeming dan hanya diam mematung duduk di atas ranjang, netraku memandang kosong sudut kamar. Sejak mengetahui kehamilanku, aku diam seribu bahasa. Aku masih terkejut dengan kenyataan yang baru saja aku terima."Bicaralah, Ras. Aku mohon, katakan sesuatu. Diammu hanya membuatku semakin sedih, Ras," ucap Winda dengan suara yang bergetar.Winda menangis, dia menangis lagi karena aku. Padahal Winda bukanlah orang yang cengeng. Tapi aku telah menjadi penyebab dia menangis terus.Ah, aku membuat seseorang bersedih lagi, aku telah membuat sahabatku khawatir padaku lagi.Aku jahat sekali bukan? Ternyata memang semua salahku, mungkin kepergian Mas Haris juga karena salahku. Andai aku tidak meminta Mas Haris membawaku berbulan madu. Mungkin semua masih baik-baik saja.Air mataku seketika mengalir tanpa bisa aku tahan, hatiku terasa seperti diremas-remas. Sakitnya membuat dadaku terasa sesak, mengingat kem
"Hati-hati, Win. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku." Aku memeluk Winda, dia akan kembali pulang setelah mengantarku ke rumah sakit.Winda harus segera kembali, cuti kerjanya sudah habis. Sudah dua hari Winda menginap. Dia harus kembali bekerja untuk menggantikan aku. Jika kami berdua tidak ada, tentu ayah akan sangat kerepotan."Iya, Ras. Kamu juga jaga baik-baik keponakanku. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh yang membahayakan kandunganmu.""Tentu, Win. Aku pasti akan menjaga kandunganku.""Baiklah, aku pergi Ras. Jangan terlalu lama menyendiri, aku rindu Laras yang dulu."Aku mengangguk menanggapi ucapan Winda. Sedangkan Winda sudah masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankannya dengan pelan.Aku masih berdiri di halaman melihat kepergian Winda, aku merasa bersalah padanya karena kami sempat bertengkar tadi malam.Winda terus membujukku untuk kembali ke rumah orangtuaku, tapi aku masih tetap pada pendirianku. Aku tetap bertahan di rumah ini, aku masih ingin menata hatiku."Temannya
Tak terasa sudah satu bulan semenjak aku mengetahui kehamilanku, hari ini aku sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku.Sudah dua minggu ini mual-mualku sudah berangsur membaik, aku sudah bisa memakan apapun, tidak seperti di awal-awal lalu, aku hanya bisa makan sedikit buah dan juga minum susu. Nasi pun tak bisa aku telan, badanku sampai lemas sekali. Tapi aku lega sekarang, paling tidak keadaanku sudah membaik.Aku duduk di sebuah bangku, menunggu namaku dipanggil untuk mengambil obat dan juga vitamin setelah dokter selesai memeriksaku. Alhamdulillah kandunganku tidak ada masalah apapun, janinku tumbuh sehat di dalam rahimku.Tanganku memainkan ponsel sembari menunggu namaku di panggil, aku berbalas pesan dengan Winda tentang rencana kepulanganku.Aku sudah memutuskan untuk pulang ke rumah dua minggu lagi, menunggu usia kehamilanku memasuki trimester kedua. Aku ingin memberi kejutan untuk kedua orangtuaku.Aku mengulum senyum membayangkan bagaimana reaksi mereka k
"Total belanjaannya enam ratus empat puluh ribu, Mbak," ucap kasir minimarket sembari tersenyum dengan ramah.Aku segera membuka dompet lalu mengambil tujuh lembar uang seratus ribuan. Setelahnya aku menyodorkannya pada perempuan muda yang menjadi kasir itu."Uangnya tujuh ratus ribu ya, Mbak," ujarnya setelah menghitung uang yang telah dia terima.Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan kasir tersebut. Lalu tanganku meraih kresek yang berisi barang-barang belanjaanku dan menentengnya."Kembaliannya enam puluh ribu ya, Mbak. Terima kasih sudah belanja di minimarket kami, jangan lupa kembali," ucap kasir tersebut sembari tersenyum kembali."Terima kasih kembali, Mbak," sahutku meraih uang kembalian, lalu segera melangkah pergi keluar minimarket."Mbak Laras, aku ingin berbicara sebentar." Sebuah tangan besar mencekal pergelangan tanganku begitu aku sampai di halaman minimarket, secara reflek aku pun langsung menghempaskannya kasar.Namun, tangan tersebut tidak mau lepas dari tanganku. D
"Andai tadi aku sama kamu, Ras. Sudah kutampol itu mulut adik iparmu," ucap Winda melalui sambungan telfon.Aku mengulum senyum, Winda selalu peduli padaku. Dia memang sahabatku yang terbaik. Jika saja tidak ada Winda aku tidak tahu bagaimana menjalani hidupku setelah kepergian Mas Haris.Aku sangat bersyukur bisa mempunyai sahabat sepertinya. Walaupun kadang Winda menjengkelkan tapi dia selalu mendukungku dalam keadaan apapun."Aku juga jengkel padanya, Win. Kasihan Risa, dia tidak tahu jika suaminya ternyata ada main di belakangnya.""Ah, biarkan saja, Ras. Toh nanti jika kamu memberitahu Risa, dia belum tentu percaya padamu. Risa kan bucin banget sama Indra."Benar juga apa yang dikatakan Winda, yang kulihat selama aku menjalin hubungan dengan Mas Haris, Risa terlalu cinta pada Indra, dia tidak mungkin percaya begitu saja pada ucapanku. Bisa-bisa nanti aku dikira menfitnah suaminya itu."Lagian, nanti kamu yang kena getahnya, Ras. Kamu pasti dikira menfitnah Indra, menjelekkan Indr
"Tahu gak Ibu-Ibu, kemarin malam aku melihat ada laki-laki yang datang ke rumah Mbak Laras." Suara Mbak Ranti membuatku menghentikan kegiatanku menyapu halaman samping rumah.Aku mengernyitkan kening ketika mendengar Mbak Ranti membicarakanku dengan ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur. Aku melangkah ke arah tembok dan menyandarkan tubuhku ke dinding mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan."Yang benar, Ran?" tanya salah salah satu dari ibu-ibu tersebut."Iya, beneran. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Bahkan aku juga mendengar kalau mereka seperti sedang bertengkar," jawab Mbak Ranti.Aku menajamkan indera pendengaranku, ingin tahu apa saja yang dikatakan Mbak Ranti tentangku."Walah, siapa ya laki-laki itu sampai bisa bertengkar dengan Mbak Laras?" Kembali seseorang menimpali ucapan Mbak Ranti."Aku juga tidak tahu. Yang jelas mereka pasti memiliki hubungan yang spesial. Tidak mungkin kalau mereka tidak memiliki hubungan jika mereka bertengkar seperti itu. Suara perteng
Senja sudah mulai menyapa, pertanda matahari telah mulai meninggalkan eksitensinya. Setelah seharian dia menyinari bumi tanpa lelah.Aku masih disibukkan dengan barang-barang di depanku, aku pun belum membersihkan diri sejak tadi. Aku masih ingin menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu.Sejak menjelang sore tadi, aku sudah sibuk mengemas barang-barangku. Aku putuskan untuk segera pulang ke rumah. Lingkungan di sini sudah mulai tidak nyaman untukku.Aku takut jika tetap berada di sini, nanti bisa mempengaruhi kesehatan mentalku. Sejak mendengar Mbak Ranti menfitnahku dengan keji, aku mulai tidak nyaman tinggal di sini.Bisa saja Mbak Ranti kembali menfitnahku dengan lebih kejam lagi, kan? Aku harus bersiap untuk itu, lebih baik aku segera memutuskan untuk pergi.Adzan Magrib mulai terdengar di telingaku, aku pun segera beranjak meninggalkan pekerjaanku dan menjalankan kewajibanku sebagai muslimah.Selang setengah jam, aku sudah rapi serta sudah selesai melaksanakan ibadah wajibku.Ak
Tak terasa waktu cepat berlalu, aku sudah memarkirkan mobil di halaman rumah orangtuaku yang nampak sepi dan gelap. Karena memang sudah tengah malam aku baru sampai, setelah menempuh perjalanan yang lumayan cukup jauh.Ayah dan ibu pasti sudah terlelap semua, mengingat malam sudah sangat larut. Perlahan aku turun dari mobil, netraku memandang sendu ke arah rumah yang sejak kecil aku tinggali.Rumah dua lantai itu, tidak pernah berubah sejak aku kecil, bangunannya masih tetap sama, hanya warna catnya yang sering kali diganti setiap tahun.Aku melangkahkan kaki menuju pintu, dengan ragu aku pun mengetuk pintu setelah tiba di depan pintu. Sejujurnya aku tidak mau datang di waktu seperti ini, tapi aku juga tidak punya pilihan setelah diusir dari tempat tinggalku.Lama aku mengetuk pintu, tapi tak juga ada yang membukanya. Mungkin semua sudah tertidur dengan lelapnya, sehingga tidak ada yang mendengar pintu diketuk.Aku pun mengambil ponsel di dalam tas, aku memutuskan untuk menelfon ponse