Tatapan Om Andi itu sangat berbeda. Entah kenapa kedua mata itu terasa hangat dan membuat Imel meraa aman serta nyaman.
"Eum ... Om ... Imel bisa sendiri,"ucap Imel dengan cepat. Ia mengambil garpu yang dipegang Andi dengan cepat. Lalu memegangnya sendiri. "Biar aku suapi. Dulu, aku selalu menyuapimu seperti ini. Kamu pasti gak ingat ..." ucap Andi dengan suara berat namun terdengar cukup berarti. Imel menggelengkan kepalanya pelan dan membalas tatapan Om Andi yang begitu lekat. "Gimana mau ingat. Itu kan waktu Imel masih kecil banget. Sudah pasti Imel gak mengingatnya," ucap Imel pada Om Andi. Imel benar -benar lupa. Tidak ada satu pun yang ia ingat momen kebersamaannya dulu bersama Om Andi, adik Bundanya. Wajah mereka begitu dekat. Andi semakin mendekati wajah imut Imel. Tatapannya semakin berbeda dan penuh damba. Semakin di dekati, Imel semakin gugup dan salah tingkah sendiri. Garpu yang dipegangnya juga terjatuh di mangkuk tanpa sadar. Bukannya berontak, Imel malah diam saja, seolah ia begitu menikmati kedekatan itu. Begitu juga dengan Andi yang begitu santai,sengaja mengecup pipi mulus Imel. Cup ... Tatapan keduanya betemu salin mengunci dan diam. Hanya hembusan napas serta debaran jantung yang semakin kencang. Rasanya ingin meluapkan apa yang baru saja dirasakan. "Maaf ..." ucap Om Andi pada Imel. Suaranya berat dan terdengar lemah. "Emmm ... Gak apa -apa, Om," jawab Imel singkat. Imel langsung kembai mmeegang garpu dan mneggulung mie rebusnya untuk mmebuang rasa gugupnya. Andi memegang tangan kiri Imel dan mengusap pelan punggung tangan itu. Imel kembai melirikke arah Andi dan menerka isi kepala lelaki tampan di sampingnya. "Kenapa Om?" tanya Imel lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih berani tanpa menarik tangan itu dari genggaman Andi. "Kamu sudah besar sekarang, Mel. Cantik dan seksi ..." ucap Andi penuh gairah. "Hmm ... Bunda juga cantik, jadi anaknya cantik," jelas Imel terkekeh. "Yeah ... Bunda kamu memang cantik. Tapi, kamu lebih cantik dari Bunda kamu ..." bisiknya mendekati Imel. Kali ini Andi lebih berani dari sebelumnya. Ia memegang dagu Imel dan mendekati wajahnya untuk menyentuh bibir tipis Imel dengan bibirnya. Cup ... Bibir mereka menempel dan keduanya saling menatap satu sama lain. Andi tidak berani melanjutkan, tetapi tidak mau melepsakan juga. Begitu juga dengan Imel yang juga diam tanpa menggerakan bibirnya sama sekali. Padahal, Imel paling senang jika dicium bibirnya. Dulu, Ivan sering sekali memberikan kecupan -kecupan singkat bahkan mereka beciuman dengan ganas. Tapi sekarang? Sejak Ivan sibuk dengan aktivitasnya sebagai ketua mahasiswa, Ivan jadi berbeda. Waktu kebersamaannya pun berkurang. Entah salah siapa? Spontan, kedua mata Imel menutup. Ia merasakan hangatnya bibir Andi. Hembusan napas yang hangat begitu terasa di wajah Imel. Andi merasa mendapatkan kesempatan. Ia menjulurkan lidahnya dan membasahi bibir Imel hingga Imel membuka mulutnya perlahan. Imel membiarkan Andi yang notabene adalah Om -nya sendiri menciumnya dengan intim. Lidah Andi mulai bermain di dalam mulut Imel. Pelan namun begitu pasti. Tidak tergesa -gesa tapi sedikit menuntut dan sangat posesif. Punggung Imel bersandar di kursi makan. Ia mulai menikmati ciuman Om Andi yang begitu lihai. Sama sekali berbeda dengan Ivan yang selalu terburu -buru dan begitu nafsu hingga ia tidak bisa menikmati dengan nyaman seperti ini. Tangan Andi mulai merayap ke arah pinggang Imel dan menyusup ke dalam tank top lalu menjalar naik ke atas menyentuh bagian -bagian tubuh Imel yang sempat membuat Andi kehilangan akal. Selama kesempatan itu ada, tidak ada yang bilang ini sebuah pemaksaan. Semua ini juga bukan khilaf, lebih tepatnya keduanya sama -sama mau dan butuh. Satu detik ... Dua detik ... Tiga detik ... Ciuman itu sudah berlangsung satu menit. Tangan Imel mulai merangkul Andi tanpa rasa malu. Kedua tangannya melingkar ke arah bahu hingga ke belakang leher Andi. Andi pun mulai meremas pelan gundukan kembar yang masih terasa kencang itu hingga Imel mendesah pelan dan melepas ciuman di bibir Andi. "Ahhh ..." Suara desahan kecil itu lolos dari bbir tipisnya. Imel membuka kedua matanya dan kembali saling bertatapan dengan Andi yang menatapnya penuh arti. Telapak tangannya masih memegang gundukan kembar sebelah kiri tanpa melepas tapi sudah lebih merenggang dibaningkan saat mereka berciuman tadi. "Imel ..." bisik Andi pada Imel begitu lirih. "Ya Om?" jawab Imel dengan tatapan semakin lekat pada Andi. "Aku menyukaimu sejak dulu ..." ucap Andi lembut. Imel terdiam. Bibirnya bergetar tapi lidahnya kelu. Ingin bicara tetapi suaranya tak bisa keluar sesuai keinginan. "Kooo kokk bisa?" tanya Imel terbata. "Karena ..." ucapan Andi terhenti dan bibir Andi mulai mendekati bibir Imel. Rasanya Andi ingin kembali menikmati bibir itu. "Ka- Karena apa?" tanya Imel semakin gugup. Cup ... Andi memilih tidak menjawab dan ia mencium bibir Imel kembali. Ciuman yang lembut tetapi terasa menuntut dan sedikit liar. Karena ini sudah kedua kalinya, Andi lebih berani menunjukkan kelihaiannya dalam brciuman. Ini baru soal ciuman belum lagi kalau soal yang lain, contohnya bercinta. Napas Imel semakin tersengal. Bibirnya mulai membalas ciuman itu dan tubuhnya merespon setiap sentuhan hangat yang diberikan Andi. Rasanya seluruh tubuhnya ikut bergetar hebat. Ruangn itu sangat sunyi dan senyap. Hanya lampu dapur yang menyala dengan terang diikuti suara napas berat yang memburu. Dua insan yang sedang menikmati kekhilafan yang mereka mulai sendiri. Entah dimulai dari mana dan siapa yang memulai. Mereka merasa saling membutuhkan dan berjalan seperti air. Padahal keduanya sudah lama tak bertemu dan bahkan lupa hingga tidak mengenal satu sama lain. Tap ... tap ... tap ... Suara jejak langkah yang semakin mendekati ruang dapur membuat Andi tersadar dan melepaskan ciuman itu lalu berdiri dan berpura -pura mengambil gelas untuk membuat kopi hitam panas. Imel dibiarkan terdiam dan menatap Andi yang melepas ciuman itu begitu saja. "Imel? Kamu ngapain?" tanya Lusi yang begitu kaget melihat anak gadisnya duduk di meja makan semangkuk besar berisi mie instant. "Bu- Bundaa ... " jawab Imel begitu gugup. Imel takut, Bundanya melihat apa yang baru saja Andi lakukan pada dirinya. "Andi? Kamu mau bikin kopi?" tanya Lusi mendekati Andi. "Iya Mbak. Kalau cape malah gak bisa tidur," jelas Andi menyeduh racikan kopi hitam dan gula sesuai takaran yang diinginkan. "Kamu itu gak berubah dari dulu pasti begini. Memang kamu masih mengidap insomnia?" tanya Lusi mengambil air putih dan meneguk hingga habis setengah gelas. "Masih Mbak. Mbak sendiri gak tidur? Kan masih dini hari ini," ucap Andi pelan melirik sekilas kenarah Lusi. "Aku haus. Mel ... Kamu yang bener aja. Ini jam berapa makan mie instant? Oh ya ... Ini Om Andi, adik Bunda. Ndi, Imel lupa sama kamu. Sampai buka album keluarga," ucap Lusi terkekeh. Andi dan Imel saling bertatapan. Kedua matanya saling bertemu dan mengunci.Andi mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkan oleh Imel barusan."Ya, Aku dan Wina menikah secara kontrak," jelas Andi menggantung."Kok bisa?" ucap Imel lagi begitu penasaran.Andi melirik ke arah Imel. Tangannya langsung menggenggam tangan Imel dengan erat. Imel tidak berontak dan bahkan ia malah nyaman dengan genggaman tangan Andi.Andi mencium punggung tangan Imel dengan lembut."Intinya aku mencintaikamu. Soal aku dan Wina, biar aku selesaikan sendiri," jelas Andi meyakinkan Imel.Imel menarik tangannya dan menggelengkan kepalanya pelan."Om ... Jangan main- main soal ini. Kalau Bunda tahu, bisa habis kita. Lebih baik, kita sudahi saja dan tidak usah dilanjutkan lagi," jelas Imel terbata.Andi menghentikan mobilnya perlahan. Mobil itu berhenti dipinggir jalan. Andi menatap Imel dengan lekat. "Mel ... Aku jauh -jauh dari luar negeri dan pulang hanya untuk ketemu kamu dan memiliki kamu. Kejadian semalam memang sudah aku rencanakan. Ternyata aku tidak salah memilih kamu yang masi
Semuanya menoleh ke arah Imel termasuk Wina dan Andi. Andi menatap keponakannya dengan senyum tipis yang sama seklai tidak terlihat. Lelaki itu sangat pandai menyembunyikan perasaannya sejak dahulu."Kamu kenapa Mel?" tanya Lusi pada Imel. Wajah Imel nampak terlihat berbeda dan sedikit pucat.Imel menggelengkan kepalanya pelan."Kenapa? Imel baik -baik saja, kok," jelas Imel pada Lusi. Imel berusaha menampilkan senyumnya yang paling manis kepada Lusi.Imel duduk di salah satu kursi tepat di samping Andi. Itu adalah kursi favoritnya. Segelas susu putih buatan Lusi juga sudah ada di meja."Minm susunya alu sarapan. Kamu hari ini kuliah sampai sore kan?" ucap Lusi pada Imel."Hu um ..." jawab Imel sambil meneguk susu hingga habis setengah gelas. Andi melirik ke arah Imel lalu mengambil tisu kering dan mengelap sisa susu yang masih menempel disudut bibir atas Imel dengan lembut.Imel begitu kaget tetapi ia memilih diam. Imel mencari ativitas lain dnegan menambil roti untuk menghilangkan
Seusai makan mie instant, Imel kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda karena lapar. Isi kepalanya kini hanaya ada Om Andi. Lelaki yang sudah berumur namun begitu matang itu begitu hebat menguasai pikirannya.Tubuhnya kekar, berotot. Sangat tampan dan begitu enak dipandang. Apalagi bibir Om Andi. Kenapa begitu candu? Ah ... Aku harus melupakan lelaki itu. Dia adalah Om -ku sendiri, dan sudah memiliki istri.Kedua mata Imel tertutup perlahan. Ia harus melupakan kejadian gila tadi. Kenapa bisa terjadi? Baru saja menutup kedua matanya, pintu kamarnya terbuka dan ditutup lagi lalu dikunci rapat.Belum sempat membuka kedua matanya, mulutnya sudah dibungkam dengan bibir hangat yang rasanya sama seperti tadi. Kali ini bibir itu lebih berhasrat dan begitu liar memainkan lidahnya.Bukan hanya ciuman dibibir saja, Andi juga menciumi seluruh leher dan turun ke bawah hingga bagian belahan dad4 Imel yang terbuka.Tai tank top itu diturunkan ke bagian lengan. Andi seperti
Tatapan Om Andi itu sangat berbeda. Entah kenapa kedua mata itu terasa hangat dan membuat Imel meraa aman serta nyaman."Eum ... Om ... Imel bisa sendiri,"ucap Imel dengan cepat. Ia mengambil garpu yang dipegang Andi dengan cepat. Lalu memegangnya sendiri. "Biar aku suapi. Dulu, aku selalu menyuapimu seperti ini. Kamu pasti gak ingat ..." ucap Andi dengan suara berat namun terdengar cukup berarti.Imel menggelengkan kepalanya pelan dan membalas tatapan Om Andi yang begitu lekat."Gimana mau ingat. Itu kan waktu Imel masih kecil banget. Sudah pasti Imel gak mengingatnya," ucap Imel pada Om Andi.Imel benar -benar lupa. Tidak ada satu pun yang ia ingat momen kebersamaannya dulu bersama Om Andi, adik Bundanya.Wajah mereka begitu dekat. Andi semakin mendekati wajah imut Imel. Tatapannya semakin berbeda dan penuh damba.Semakin di dekati, Imel semakin gugup dan salah tingkah sendiri. Garpu yang dipegangnya juga terjatuh di mangkuk tanpa sadar.Bukannya berontak, Imel malah diam saja, se
Malam ini, Bunda Imel nampak sibuk sekali. Ia sejak siang hanya bergelut dengan alat -alat masak di dapur. Katanya, Kakek dan Nenek Imelda akan berkunjung ke rumah sederhana mereka ini karena Om Andi, adik Bunda Imel akan datang dari Jerman.Denger -denger cerita sih, Om Andi ini sudah menikah dengan perempuan Indonesia yang tinggal di Jerman juga. Dan, yang Imelda dengar, Om Andi ini sekarang menjadi super ganteng. Maklum, Imelda agak lupa dengan wajah Om Andi, kenangan yang masih bisa di Imelda itu adalah saat ia akan tenggelam di sebuah kolam saat berada di Kampng, dan Om Andi inilah yang menyelamatkannya.Ganteng? Lupa, sumpah, kaya apa wajahnya.Seharian ini, Imelda hanya duduk malas di sofa empuk yang ada di ruang tengah. Ia membuka bebeapa album foto keluarga dan mulai mengingat wajah Om Andi yang katanya ganteng dan baik itu.Kalau foto yang ada di album ini memang ganteng, tapi usia Om Andi saat itu masih dua puluh tahunan. Sedangkan sekarang usianya tiga puluh lima tahun."U