"Bu Wenda?"
"Tapi, jangan kamu kira aku bicara tanpa bukti. Beberapa kali aku memergokimu berduaan dengan seorang lelaki bahkan kadang empat orang di rumah kosong dekat sekolah."
Bagai disambar petir, kalimat tuduhan Bu Wenda begitu menyayat hati.
"Kasihan sekali ibumu, Yum. Dia mengira kamu salihah karena selalu ke rumah Ustaz Hasan, padahal sepulang dari sana malah berzina!" Suara Bu Wenda begitu lantang.
"Mana buktinya?!" Ibu yang sejak tadi diam sudah kembali bersuara, tetapi kali ini matanya menatap tajam. Aku yakin beliau pasti tidak percaya.
Bu Wenda terlihat mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan foto seorang perempuan membelakang dengan empat lelaki hidung belang di hadapannya. Tentu saja itu bukan aku dan tidak ada bukti jelas. Mereka mungkin ingin menjebak, tetapi untuk apa?
Aku merasa tidak punya saingan bahkan jika anak Bu Wenda ingin menikah dengan konglomerat pun terserah atau orang dari kerajaan juga boleh.
"Itu buk
"Jelaskan foto itu sekarang!" titah Mas Dika dengan suara tinggi.Aku gemetaran. Benar, masku telah termakan omongan Bu Wenda. Perempuan tua yang pandai bersilat lidah. Seandainya dia tahu bahwa dosa fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan, mungkin dia tidak akan melakukan. Aku penasaran apa motif sebenarnya dari tindakan Bu Wenda."Yumna!" bentak Mas Dika membuatku kaget dan mengelus dada."Dik, jangan kasar sama adik kamu. Itu semua fitnah!" Beruntung ibu tiba-tiba hadir. Namun, nahasnya ayah juga berdiri di ambang pintu. Aku menelan saliva tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi."Bu, aku cuma tidak mau Yumna melakukan kesalahan, tetapi tidak mengakui atau dia benar, tetapi hanya diam dan ketakutan seperti itu," jelas Mas Dika mengacak rambutnya dan berlalu pergi. Aku menangis di tempat tidur, sementara ayah dan ibu menghampiri.Keluarga kami semakin kacau balau. Apakah pantas aku menyalahkan Mas Ilham? Gara-hara dia yang datang melamar,
Aku tidak bisa tidur malam ini gara-gara kepikiran tentang fitnah itu. Omongan manusia jika sudah dari mulut ke mulut itu semakin bertambah. Aku khawatir dan yang mengira aku ini sudah lebih dari sekadar murah*n. Telepon berdering dan tertera nama Amel di sana. Aku gegas mengangkat karena penasaran padahal sudah pukul sebelas malam. "Assalamu'alaikum, Amel. Ada apa malam-malam telepon? Biasanya abis ziyadah atau muraja'ah kamu langsung tidur." "Waalaikumussalam, Yum!" Suara Amel nampak memburu, dia terdengar mengambil napas berulang kali, kemudian melanjutkan, "Viral, Yum!" "Apa yang viral?" Aku ikut panik. "Buka Faceb*ok, klik link yang aku kirim di inbox!" Aku gegas mematikan sambungan telepon, mengaktifkan data seluler dengan tangan gemetar. Setelah berhasil membaca pesan dari aku Amel aku langsung mengklik link yang di-share-nya. Jaringan yang 4G tidak perlu membuatku menunggu lama. Namun, sayang sekali karena mata harus me
Amel menyetor hafalan al-qur'annya sementara aku duduk dengan debar tak menentu. Kaki dan tangan semakin dingin saja karena gugup. Ustaz Hasan yang terlihat enggan melihat padaku seperti menjadi bukti bahwa beliau percaya kepada Marry. Pun istrinya yang biasa menyapa malah diam saja. Melirik ke kami pun tidak. Aku tahu kalau sebagian prasangka adalah dosa, bisa jadi mereka ada masalah pribadi. Akan tetapi, kebetulan sekali tadi malam beliau di-inbox Marry. Itu yang membuat khawatir. Amel terus menyambung ayat demi ayat yang dihafalnya. Hanya sepuluh menit, lalu dia menutup dengan shodaqallāhul adzīm. Aku semakin deg-degan menanti hal apa yang akan terjadi di detik selanjutnya. Namun, sampai kini Ustaz Hasan tidak memintaku menyetor hafalan seolah aku tidak terlihat di matanya. Bahkan untuk membahas postingan Marry pun tidak. Aku semakin bingung memikirkan apa yang ada dalam pikiran beliau sebagai seorang guru. "Maaf, Ustadz," ucapku ketika beliau hend
"Kamu viral di Facebo*k, kan?" Pertanyaan Mas Dika yang baru pulang dari tempat kerja membuatku bungkam. Pasalnya dia jarang sekali menggunakan aplikasi itu. "Anu, Mas ... itu–" "Mas sudah tahu semuanya. Kevin teman mas bekerja yang cerita. Dia melihat foto kamu terpampang di sana dengan caption dan ratusan komentar yang tidak enak didengar." Aku menunduk, tidak tahu harus bilang apa karena nama pemilik postingan itu tidak aku kenal. "Marry, kamu mengenalnya?" Aku menggeleng. "Dia Bu Wenda," lanjut Mas Dika. Aku seketika mengangkat wajah. "Kenapa Mas tahu Marry itu Bu Wenda?" Mas Dika menjelaskan bahwa Kevin sengaja mengirim inbox pada Marry. Dia mengeluarkan jurus jitu menggombal sehingga ketahuanlah siapa di balik akun itu. Bu Wenda ternyata memberi alamat rumah asli, mungkin akan meminta anak gadisnya pura-pura sebagai Marry secara Kevin ganteng karena blasteran. Aku menelan saliva tidak percaya dengan semua kejadian yang te
Sesampainya di rumah, kami langsung pergi dengan menggunakan sepeda motor. Bukan, bukan ke rumah Ustaz Hasan karena hari ini masih diliburkan. Amel yang dikabari istrinya tadi malam via telepon. "Kita mau ke mana, Mel?" tanyaku penasaran. "Ke mana saja, tepatnya mengembara tanpa tujuan." Amel menambah kecepatan motornya. Kami diam tanpa kata, tetapi di kilometer ke empat netraku melihat seorang perempuan yang memakai kaos lengan pendek juga celana di atas lutut. Dia sangat mirip dengan Nurul. Kuminta Amel untuk berhenti, beruntung dia mendengar. "Kenapa, Yum?" "Itu Nurul, kan?" tunjukku pada perempuan itu. Jarak kami tidak terlalu jauh. "Iya, benar. Dia sama siapa itu? Tidak pakai jilbab lagi." Amel memasukkan ponsel ke saku gamisnya tepat di dada sebelah kiri. Jilbab segitiganya diikat bagian bawah sehingga siapa pun akan melihatnya ponsel itu. "Kita samperin, yuk!" ajak Amel langsung menarik tanganku. Nurul tidak menyadari kehadiran kami, dia benar-benar asik mengobrol dengan
"Waalaikumussalam, Gus Qabil?" Lelaki itu tersenyum dan sangat manis aku sampai resah dan gelisah karena hampir meleleh dibuatnya. Bagaimana mungkin hati tidak luluh jika berhadapan dengannya. Aku menunduk dengan cepat untuk mengalihkan pikiran. "Dengar-dengar kamu sudah ada yang lamar, Na?" tanyanya sopan. "Eum, iya cuman–" "Ouh," potong Gus Qabil cepat seolah tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya. Namun, karena tidak ingin menyesal seperti di film-film siapa tahu ingin dijadikan istri kedua, maka aku langsung melanjutkan, "dia sudah menikah dengan Nurul, Gus." "Apa?!" Wajah Gus Qabil sedikit terkejut, tetapi aku bisa melihat binar di matanya. "Maaf, aku cuma kaget saja tadi kenapa sampai bisa seperti itu. Akan tetapi, karena itu hal pribadi pastinya jadi aku gak akan nanya." "Em." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. "Aku pamit, assalamu'alaikum." "Waalaikumussalam, Gus," lirihku menatap punggung
"Ayah? Kok ayah bakal tahu? Maksudnya gimana, Mas?" Tidak ada sahutan dari luar. Aku mengulangi kalimat tadi hingga empat kali. Huh, Mas Dika memang kebiasaan meninggalkan teman bicaranya. Sangat tidak sopan, makanya hingga sekarang belum menikah juga. Pertama, aku mencari akun Facebo*k Amel, cukup sulit karena banyak yang namanya mirip. Namun, itu semua tidak membuatku jenuh sehingga jari tetap mencari. Ini bukan hal tabu, kenapa harus merasa malas? "Ketemu!" seruku kegirangan. Dengan cepat jariku meminta pertemanan padanya, lalu men-scrool beranda siapa tahu ada petunjuk kalau selama ini dia membantu diam-diam demi menjaga perasaanku. Ibu jariku tidak lagi bergerak ke atas untuk men-scrool ke bawah. Bagaimana mugkin ini terjadi sedangkan Amel adalah sahabatku. Ya, dia foto berdua dengan Nurul Hafizah di cafe tadi malam dengan menyertakan caption yang menyayat hati. Amel bilang bahwa pertemanan bisa renggang karena salah satu dari mereka tidak terbuka atau telah menjelma menjad
"Apa, sih, Mas?!" tanyaku tak sabar."Tumben foto kamu cantik banget di sini," jawab Mas Dika tanpa rasa bersalah. Dia menunjukkan fotoku waktu di majelis bersama Amel."Kirain apa. Jangan-jangan berdebar karena Amel," sindirku."Guyonan kamu gak lucu. Makan sana!"Mas Dika kembali mengotak-atik ponselku. Entahlah, yang penting saat ini aku bisa makan sampai kenyang. Pikiran tiba-tiba terusik oleh sesuatu. Ya, perkara tadi sore itu. Memangnya Gus Qabil mau ke mana sampai bisa lewat di depan rumah?Hati selalu resah kala mengingatnya padahal selama ini sudah perlahan melupakan, takdir malah kembali mempertemukan kami walau sekejab. Namun, sekejab itulah yang menjadikan rindu semakin meronta ingin diberikan penawarnya."Parah-parah!" seru Mas Dika lagi. Namun, aku tidak peduli melainkan langsung mengangkat piring dan mencucinya sekalian."Sini hpku, Mas. Kamu juga cuma buka galeri kayak gak niat bantu.""Siapa ini, Yum?" Mas Dika