Mas Dika yang tadi masuk kamar tiba-tiba ke luar dengan memakai jaket. Dia mengajakku ikut serta, lalu menyambar kunci motor.
"Tunggu, Mas! Aku ganti baju sebentar."
Mas Dika tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Gegas aku menuju kamar dan mengganti pakaian. Hanya lima menit takut kelamaan menunggu.
Kami melaju dengan kecepatan sedang. Mas Dika seperti mencari sesuatu. Namun, dia tidak mau memberitahuku. Katanya, nanti juga akan tahu sendiri. Beruntung baru jam sembilan pagi, rasa lapar belum sampai puncak.
Tiba-tiba motor direm mendadak. Aku memindai sekeliling dan melihat Nurul tengah berdiri tidak jauh dari kami. "Turun!" titah Mas Dika.
Aku menurut saja tanpa mau bertanya. Seperti pasangan, Mas Dika malah menggandeng tanganku atau mungkin berniat melindungi. Kami mensejajarkan langkah mengikis jarak hingga tersisa satu meter saja.
"Tidak ada yang mau kamu sampaikan, Nurul?" Mas Dika memulai pembicaraan.
Nurul terkekeh pelan. "Se
Aku sangat tidak sabar menunggu waktu berbuka. Bukan karena lapar, melainkan penasaran pada cerita ibu. Aku kasihan pada Mas Dika yang tidak pernah ke luar kamar selain salat berjamaah ke masjid, dia nampak sedih sekali. Paling tidak kalau mengetahui cerita sebenarnya, akan mudah menemukan solusi. Itulah mengapa aku penasaran bukan semata-mata mencari tahu aib seseorang. Ketika menunggu, waktu berputar begitu lambat. Aku merasa sudah seharian duduk di meja makan menanti waktu berbuka puasa padahal sebenarnya baru satu jam. "Panggil Dika, lima menit lagi azan magrib!" "Iya, Bu." Aku melangkah pelan menuju kama Mas Dika. Pintunya masih tertutup juga dikunci. Berulang kali aku ketuk baru terbuka. "Mas, sebentar lagi buka puasa." "Iya, mas juga tahu itu!" ketusnya. Tidak ada pilihan lain kecuali mengekor di belakang saja. Aku harus bisa memaklumi bahwa Mas Dika tengah dilanda masalah berat, tentu suasana hatinya sedang tidak bersahabat. Kami berempat duduk di meja makan, bedug lang
Siang ini aku sudah siap untuk ke percetakan. Mas Dika menitip power bank, jadi aku harus ke kamarnya. Setelah mengambil kunci motor yang digantung dekat televisi, aku membuka pintu kamar Mas Dika.Mata memindai hati-hati berusaha menemukan powe bank yang katany ada di meja. Nihil, sepertinya Mas Dika lupa. Tanganku terus sibuk mencari, membuka laci demi laci tetap tida ada."Apa mungkin di lemari?" tanyaku pada diri sendiri karena cuma lemari lah yang belum aku buka.Tidak terkunci. Akubtersenyum sambil mencari power bank itu. Padahal ukurannya tidak kecil malah kesulitan menemukannya. Aku mempertajam penglihatan dan menemukan laci kecil di sudut bawah."Ketemu!" sorakku gembira.Namun, sesuatu yang ikut ke luar dari laci membuatku penasaran. Tanpa menunggu lama segera aku sambar dan membuka kertas itu perlahan.Surat dari Amel? batinku bertanya-tanya.~~~Assalamualaikum, Mas Dika.Apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Aku menoleh dan melihat pada Mas Ilham. Dia tiba-tiba datang dengan pedenya mengaku ingin menyembuhkan trauma padahal dia lah penyebabnya.Kevin yang mulanya duduk langsung berdiri menatap Mas Ilham dengan tajam. Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi. Beruntung ada Mas Dika sebagai saudaraku yang akan melindungi."Trauma itu akan disembuhkan olehmu?" tanya Kevin."Iya, kenapa? Asal kamu tahu ya, Yumna gak bakal nerima lamaran kamu karena udah cinta sama aku!"Kevin membuang pandangan beberapa detik, lalu masuk ke ruang sebelah dalam. Aku sendiri tidak tahu dia mau melakukan apa. Mas Ilham yang melihat itu tertawa, aku menegur mengingatkan kalau lagi bulan puasa."Gak apa-apa, aku melakukan ini supaya kamu gak nikah sama yang lain."Mata Mas Dika memicing. "Kalau saja bukan bulan puasa, kepalamu sudah kupecahkan!""Santai, Dik. Aku cuma bercanda."Bersamaan dengan itu Kevin kembali, dia seperti habis mengambil wudu. Masih
Pukul 17.00 WIB baru kuberitahu pada ibu perihal Kevin yang akan mengantar Mas Dika pulang sekaligus ikut buka bersama. Takdir berpihak karena beliau baru saja membeli kebutuhan dapur pagi tadi. So, it's okay!Ibu memintaku mandi daripada sibuk bertempur di dapur. Walau menolak, tetap saja kalah. Katanya, tidak baik anak gadis alpa mandi pagi atau sore apalagi jika ada pemuda datang ke rumah. Ibu tidak tahu saja kalau sebenarnya Kevin bukan sebatas teman kerja Mas Dika, tetapi mendaftar sebagai calon menantu."Yang bersih mandinya. Jangan lupa pakai sabun, sikat gigi, sampo.""Gak sekalian lupa ngeguyur air, Bu?" celetukku sedikit kesal."Nah, mantap!" Ibu malah mengacungkan jempol. Aku hanya tersenyum menanggapi, lalu melangkah cepat masuk kamar.Lima puluh menit berlalu, aku sengaja keluar memakai jilbab takut-takut mendadak ketemu Kevin berujung penghulu kalau nampak aurat. Sepertinya masih aman, gegas aku melangkah ke ruang tamu untuk bersih-be
Lepas berzikir, aku menengadah tangan ke langit dengan penuh rasa rendah diri. Teringat perkataan Jalaluddin Rumi bahwa di hadapan Tuhan kita semua sama. Kita semua pengemis dan peminta-minta.Air mata merembes cepat. "Tuhan, jangan biarkan hidup ini penuhi dengan teka-teki. Aku khawatir salah dalam melangkah, lalu menyesal karena memilih. Bukakan jalan bagiku untuk mengetahui mana yang terbaik menurut-Mu, ya Allah. Tentang Gus Qabil, Kevin juga Mas Ilham, apakah pantas menyukai mereka dalam waktu yang sama? Aku tidak mengerti perasaan apa ini dan sebenarnya jatuh cinta pada siapa?""Yumna, kamu sudah selesai salat? Teman masmu mau pulang!" panggil ibu dari luar.Segera aku membaca doa keselamatan dunia akhirat, kemudian melipat sajadah tanpa melepas mukenah. Ketika membuka pintu kamar, Kevin sudah menyambut dengan senyum manis. Aku menunduk, takut jatuh cinta."Cantik," gumam Kevin. Aku mengangkat wajah, lalu melirik ibu dan Mas Dika yang hanya diam mena
Kami terkejut dan sama-sama mundur selangkah agar tidak terlalu dekat. Ketika menoleh, dia adalah Kevin. Aku bahkan sempat gugup mengira yang datang itu Gus Qabil. Dia memanerkan gigi putih bersihnya."Waalaikumussalam, Vin. Kok ke sini gak bilang-bilang?" Mas Dika memasang raut terkejut."Ya ndak apa-apa to, Mas kalau Kevin misal mau ngejemput lagi." Aku berusaha membela karena melihat wajahnya yang salah tingkah."Iya, benar kata adikmu, Dik."Mas Dika mendengkus kesal, lalu melangkah ke luar rumah. Sementara aku duduk bersandar pada kursi karena benar-benar letih.Pikiran yang menerawang jauh mengingatkanku pada kata-kata Mas Dika tentang cinta. Pun karena cinta yang kita simpan dalam hati selain Allah hanya menuai luka.Namun, karena cinta pula banyak membawa perubahan bagi manusia. Misalnya saja orang malas akan menjadi rajin karena cinta. Tidak jarang dari mereka rela melakukan apa saja demi cinta, atas nama cinta.Ada pula yang
"Memangnya kalau abis mandi pagi harus ketemu sama Gus Qabil? Ibu aja yang belum mandi malah sempat mengobrol tadi." Ibu menjawab tanpa rasa bersalah."Bukan begitu, Bu. Barangkali Gus Qabil ada kepentingan sama aku makanya nge-chat dulu kemarin sebelum ke sini.""Tadi Gus Qabil bilang, nge-chat itu buat mastiin apakah aman untuk bertamu atau ndak." Ibu menoleh padaku. Raut wajahnya terlihat serius.Jadi, ternyata kemarin menanyakan itu karena tidak ingin bertamu kalau ada aku? Memangnya aku ini kenapa sampai harus dihindari?Aku mengusap wajah kecewa karena tidak percaya dengan fakta yang ada. Ada sedikit luka yang menelisik di sudut hati. Memang begini, kalau kita berharap maka akan kecewa. Semakin besar harapan dilambungkan kepada selain Allah, semakin dalam pula luka itu tercipta.Aku duduk bersandar di tembok depan kamar, sementara ibu menyalakan televisi. "Gus Qabil tadi bahas apa saja, Bu?""Rahasia." Ibu menjawab pendek."Aku
"Jalani hidupmu seolah-olah semuanya dirancang untuk kebaikanmu."–Jalaluddin Rumi. ~~~ Banyaknya masalah membuatku merasa dada seperti dihantam batu besar. Untuk bernapas saja sulit sekali. Aku ingin melangkah mencari udara segar, kaki terasa lemas walau sekadar menopang berat badan. Sudah jam tiga sore. Aku mengecek ponsel untuk sekadar berselancar di dunia maya menonton konten-konten dari berbagai akun. Sedikit membosankan, lalu aku beralih What$app. Ada pesan dari Gus Qabil? batinku. Gus Qabil : Kamu sebenarnya siap menikah tahun berapa? Mataku mengerjap sambil menggigit jari mengamati dan membaca pesan dari Gus Qabil. Entah apa tujuannya menanyakan hal itu. Aku : Ndak tahu, Gus kapan siapnya. Mungkin kalau ada yang hendak melamar akan aku terima asal agama baik bakal aku terima. Insya Allah. Gus Qabil : Tipe kamu seperti apa? Aku : Salat lima waktu, care, bisa mengajariku ilmu agama. Setelah itu tida