Seorang wanita baru saja keluar dari mobilnya, memberikan kunci mobil pada petugas valet sebelum memasuki pintu utama hotel. Kedua tungkai bersepatu tinggi berwarna merah marun itu melangkah pada sebuah private room yang menjadi tempat untuknya bertemu dengan seseorang.
"Selamat malam,"Guna menyambut kedatangan tamunya, seorang wanita muda yang menyamar menjadi pemilik barang antik itu berdiri memberikan sapaan lebih dulu sebelum memulai obrolan mereka. Sedikit berbasa-basi memang diperlukan untuk saat ini, menghilangkan sedikit rasa canggung yang barangkali hadir."Bagaimana kalau kita langsung ke intinya saja?" tanya wanita yang akan menjadi pembeli itu.Sebuah kardus berbentuk balok itu dia angkat dari bawah meja, menunjukkan secara langsung barang yang menjadi inti dari pertemuan ini. Dengan pelan sebuah guci berwarna putih keluar dari kardus tersebut, tak lupa masing-masing tangan dari pemilik dan pembeli itu mengenakan sarung tangan, menghindari sidik jari yang akan menempel.Tak ingin tertipu, wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengamatinya dengan sungguh-sungguh seluruh sisi guci tersebut. Dirinya memiliki minat yang tinggi terhadap barang antik untuk diinvestasikan, sebab itu pengetahuannya tentang barang semacam ini harus dia kuasai. Wajahnya tampak menampilkan senyuman angkuh, dengan kilatan di sudut matanya. Tatapannya juga masih betah mengamati guci itu.Dengan waktu yang tidak singkat, dehaman kecil menjadi akhir dari pengamatan guci tersebut. Keduanya sama-sama tersenyum. Pembeli yang puas dengan barang tersebut, dan pemilik guci yang senang dengan kepuasan pembelinya. Selagi guci tersebut di masukkan kembali, sebuah tas lainnya diletakkan di atas meja. Siapapun akan membelalakkan kedua matanya melihat uang yang memenuhi tas itu."Silahkan jika ingin dihitung terlebih dahulu," ucap wanita tersebut."Tidak perlu, saya percaya dengan para kolektor barang antik," balas sang pemilik guci.Pemilik guci yang bernama Chika itu sekilas melihat ke arah jam tangannya, tak ingin membuang waktu lebih banyak, akhirnya dia memilih untuk meninggalkan tempat. Semakin menjauh dari tempat pertemuan, Chika mempercepat langkahnya. Beberapa kali sempat menoleh ke belakang, memastikan jika targetnya tadi belum berniat untuk meninggalkan hotel ini.Gadis itu merogoh tasnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi Dimas yang berada di luar hotel. "Gue ke sana sekarang," ucapnya singkat. Panggilan itu terputus, yang mana mengubah langkah cepatnya menjadi lari kecil. Kedua tangannya memegang kuat tas berisi uang itu selagi mencari celah untuk melarikan diri.Di lain tempat—lahan parkir—Dimas menggotong kardus lain berisikan guci palsu yang serupa dengan yang dijual oleh Chika, diletakkan tepat di sebelah mobil target mereka. Melihat keadaan yang belum begitu aman, laki-laki itu kembali melangkahkan kakinya guna mengembalikan kunci mobil. Maniknya menangkap Chika yang keluar dengan kepala tertunduk.Gadis itu menyadari langkah Dimas yang berada beberapa meter di depan. Keduanya berpapasan dengan suara Dimas yang mengalun pelan. "Mobil sedan hitam, sebelah mobil gue," ucapnya singkat.Mengikuti apa yang dikatakan partnernya, Chika berjalan ke sisi kanan mobil sedan hitam milik target mereka. Melihat sekeliling, bersamaan dengan tangannya yang perlahan menyentuh pintu mobil, lantas menariknya pelan hingga berhasil terbuka. Tubuhnya merendah, tangannya bergerak mengambil barang palsu sebelum dia masukkan ke dalam mobil tersebut.Disaat semua pergerakannya berjalan begitu tenang, mendadak gadis itu terjingkrak kala dia kembali melihat Dimas di dekat mobil dengan suara yang begitu lirih dan berisik. Temannya itu tampak panik dan menyuruhnya untuk segera pergi dari sana, lantaran target mereka baru saja keluar dari pintu hotel dan berjalan ke arah mobil."Cepetan!" kata Dimas penuh penekanan seraya memberikan guci yang asli pada gadis itu.Chika menunduk, dia berjalan keluar seraya memeluk kardus berisi guci antik yang asli serta tas berisikan uang. Dia dapat merasakan telapak tangan Dimas yang berada di pucuk kepalanya guna melindunginya dari target. Langkah Chika semakin cepat sampai berhasil masuk ke sisi kanan mobil. Dia duduk merendah dengan pandangan yang membelakangi Dimas dan target."Siapa yang nyuruh lo masuk ke sini?"Terkejut bukan main saat mendengar suara bariton yang mengudara itu. Gerakan kepalanya patah-patah ketika menoleh ke asal suara. Netranya bergerak melihat seisi mobil ini, tidak menyangka jika dia salah mobil."Sialan, gue salah mobil," rutuknya pada diri sendiri. Suara kekehan lahir begitu saja, kembali menoleh pada sosok lain di mobil ini. "Gue numpang sebentar, ya?" tanyanya yang memohon."Lo kalau mau ngejalanin aksi lo jangan di mobil bokap gue," kata Dirga yang menarik tangannya dari Chika.Dada Chika berdebar kencang, lantaran aksinya bersama Dimas belum selesai sepenuhnya. Bahkan, mobil target mereka masih berada di sini, yang mana membuat Chika mau tidak mau harus bertahan di dalam mobil milik tetangganya ini. Apalagi Dirga juga meminta Chika untuk segera keluar."Nggak akan lama, kok sepuluh menit aja," pintanya.Dirga melipat kedua tangannya di depan seraya memperhatikan raut wajah Chika, dan dengan satu tarikan nafasnya, akhirnya dia mengiyakan. "Oke. Gue mau lihat langsung aksi lo," katanya."Makasih banget,"Dengan manik yang bergetar hebat, dari jauh dia memindai tubuh laki-laki di depannya ini. Dia menarik lengan Dirga supaya punggungnya membelakangi mobil target—menutupi Chika."Kalau gini, gue nggak bisa lihat," protes Dirga.Chika meletakkan jari telunjuk di bibir, meminta Dirga untuk diam lantaran laki-laki itu terlalu banyak permintaan.Dan diwaktu yang sama, target mereka telah bersama Dimas yang dikenal sebagai petugas valet. Dimas membukakan pintu untuk wanita tersebut. Hanya saja, pergerakan wanita itu sempat tertahan saat melihat mobil di sebelahnya bergoyang. Tubuhnya sedikit dicondongkan lantaran penasaran.Tampak siluet dua orang di dalam mobil itu, membuatnya menekuk kedua alis. "Padahal ada banyak kamar di depan mata mereka," ucapnya yang langsung masuk ke dalam mobil.Sedangkan Dimas juga sempat menoleh ke arah mobil yang dibicarakan oleh targetnya. Dia juga sempat melihat ke arah mobilnya yang tampak begitu tenang, bahkan terlihat kosong. Namun, laki-laki itu terkejut saat mendapat teguran tidak menutup pintu mobilnya dengan segera.Tepat setelah mobil targetnya pergi, Dimas bergegas menuju sisi kanan mobil itu. Dia membuka pintu dan mendapati Chika yang tengah berdebat oleh laki-laki yang sedang bersamanya. Tanpa banyak omong, Dimas mengambil tas dan guci asli tersebut, serta menarik pergelangan tangan Chika agar segera keluar dari mobil itu.Dirinya membawa Chika masuk ke dalam mobil, lengkap dengan semua barang yang dibawa tadi. Pun Dimas juga telah melajukan mobilnya meninggalkan hotel."Lo diapain aja sama dia?" tanya Dimas.Chika masih terdiam, maniknya berkedip lambat. "Gue berantem sama dia, karena dia lihat aksi kita. Dia tau semuanya," jelas Chika."Terus, gimana? Dia mau laporin kita ke polisi?" tanya Dimas lagi yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Chika.Keduanya sama-sama diam ketika mobil Dimas melaju. Namun, beberapa meter setelahnya, Dimas melempar pertanyaan yang membuat Chika terkejut."Gimana kalau dia suka sama lo?"Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya."Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.Memang sengaja menggunakan alasan lain, l
Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah."Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan t
Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang."Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas s
Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya."Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapa
Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany
Sebuah lembar kertas yang tergulung tengah dibuka oleh pemiliknya. Di sana menampilkan adanya rencana untuk target mereka berikutnya. Di hadapan Chika, terdapat teman yang selalu ikut ambil bagian dalam setiap rencana.Keduanya tampak begitu sibuk, dengan apa yang Chika jelaskan. Dimas sendiri juga benar-benar meletakkan seluruh fokusnya untuk memahami setiap kata dan kalimat yang Chika ucapkan. Bahkan gerakan tangan gadis itu juga memberikan penjelasan lebihnya."Kemungkinan, yang ini bakal makan waktu lebih lama. Prosesnya nggak bisa cepet. Inipun udah paling cepet," tutur Chika."Kenapa gitu?"Chika melipat kedua tangannya, lantas menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas panjang. "Dia bukan orang yang gampang ditipu," jawabnya. Lantas menekuk alisnya sebelum kembali berbicara. "Penjagaannya juga agak ketat,"Dua penipu itu terdiam, dengan Chika yang masih menggunakan otaknya. Kedua manik gadis itu kembali menatap skemanya, tangannya bermain dengan pulpen yang dia benturkan ke waja
Perlahan keramaian tersebut semakin berkurang, yang mana membuat Chika juga segera meninggalkan tempat supaya tak menampilkan dirinya pada Dirga. Toh, yang terpenting adalah hasil dari balapan tersebut sudah cukup membuatnya kagum dengan kemampuan balapan tetangganya itu.Gadis itu berjalan keluar lokasi sirkuit, hendak mencari taksi. Hanya saja, semua taksi yang dicarinya melalui ponsel menolak pesanannya. Memang Chika akui, jarak antara sirkuit hingga rumahnya cukuplah jauh, ditambah banyak dari penonton balapan yang juga memesan taksi untuk mengantar mereka pulang."Di sini nggak ada taksi biasa yang lewat," ucapnya.Dengan pasrah, Chika berniat untuk berjalan sedikit jauh guna mencari taksi yang bisa dia tumpangi. Dia menghela lesu, tak ada satupun orang yang dia kenal ataupun mengenalnya yang bisa memberikannya tumpangan. Atau minimal sampai dia mendapatkan transportasi umum.Chika berjalan sembari memperhatikan kedua kakinya, sesekali menendang kerikil yang ada di depannya. Saki