Share

4. Kekangan Sang CEO

Author: Nadia Styn
last update Last Updated: 2025-10-20 17:14:29

"Saya...," Aku mencoba mencari alasan setelah dia mengancam akan mengangkat telepon dari Steven. "Saya rasa itu tidak penting, Tuan."

Dia tak merespons lagi, tetapi rahangnya yang tampak mengeras, seirama dengan intimidasi dari sorot matanya.

Aku tertegun ngeri. Dia serius dengan perintahnya.

Di seberang meja, Lily menatap kami bergantian, mata birunya yang jernih penuh kebingungan dengan pipinya yang mengembung selagi mengunyah sereal.

Aku tidak punya pilihan. Dengan jari gemetar, aku menekan tombol hijau di ponselku, terpaksa mengangkat telepon dari Steven di depan Mark.

"Nyalakan pengeras suara," titah Mark.

“Tuan, seharusnya ini bukan urusan—”

"Nyalakan," ulang Mark, suaranya datar. “Aku ingin dengar.”

Lidahku sudah gatal ingin berdecak. Bosku ini kian melewati batas, dia benar-benar mengontrolku dengan berbagai cara. Sayangnya, meski jengkel, tak ada yang bisa kulakukan selain patuh.

[Anna! Ya Tuhan, kau di mana saja?! Kenapa baru mengangkat teleponku?!]

Aku tersentak mendengar Steven menukas di seberang telepon. Lily pun sampai terlonjak kaget di kursinya.

[Kenapa kau menghilang? Aku meneleponmu semalaman, Sayang! Aku ke apartemenmu dan kau tidak ada. Kau pergi ke mana, huh? Apa kau baik-baik saja?]

Aku memejamkan mata sejenak, menahan malu dan panik. Aku melirik Mark yang berbalik menatapku. Dari caranya melihatku begitu Steven menyebutku ‘Sayang’ di seberang sana, aku tahu, dia menyimpan emosi.

"Steven, hai," kataku, suaraku nyaris bergetar. "Aku... aku baik-baik saja. Maaf, aku tidak sempat mengabari."

[Tidak sempat?! Anna, aku hampir menelepon polisi karena khawatir padamu! Kau di mana sekarang? Kenapa kau terdengar ketakutan? Kau bersama siapa? Apakah perlu kujemput?]

"Aku... aku sedang bekerja,” jawabku pelan sembari memalingkan wajah untuk meredam suara.

Aku tidak bisa berkata jujur, apalagi di hadapan Lily dan Mark. Aku harus menyembunyikan ini dari Steven, setidaknya sampai aku bisa bertemu dengannya dan menjelaskan langsung secara tatap muka.

“Aku dapat pekerjaan baru. Untuk sementara waktu, aku harus meninggalkan apartemen karena sering keluar kota. Aku jadi pengasuh....”

"Ibu menelepon siapa?” tanya Lily tiba-tiba. “Kenapa Ibu dimarahi seperti itu?”

[Suara siapa itu? Kau bersama anak kecil?]

Sial.

Aku tidak tahu apakah Mark peka bahwa Lily sudah mengacaukan rencana yang sudah aku susun dan dia ingin menolongku, atau justru dia sengaja ingin memperburuk keadaan.

Karena sejenak setelahnya, dia sengaja mengambil cangkir teh paginya dan meletakkannya di atas piring kosong, menimbulkan bunyi denting yang nyaring.

"Sekretaris Walter,” panggilnya dengan agak keras, seolah ingin Steven mendengar suaranya. "Tehku dingin. Kau tahu aku tidak bisa menikmatinya. Bisa tolong ambilkan yang baru?”

[Sekretaris Walter?] Suara Steven kini berubah, lebih rendah dan menyuratkan rasa tak suka. [Di mana kau sebenarnya?! Apakah yang dikatakan Jane benar? Kau pindah ke rumah bosmu?]

Aku tidak ingin Lily mendengar suara Steven yang kembali meninggi. Dia masih terlalu kecil untuk mendengar hal seperti ini. Jadi, aku segera mematikan pengeras suara dan menempelkan ponsel ke telinga.

"Steven, ini tidak seperti yang kau pikirkan,” ucapku, sebisa mungkin pelan, karena Mark tak membiarkanku beranjak menjauh dari meja makan.

 [Kau keterlaluan, Anna. Apa yang kau pikirkan sampai mau tinggal di rumah bosmu sendiri? Kau ingin menjual diri atau bagaimana, huh?]

Steven kelewatan dengan kalimat terakhirnya. Aku ingin marah, tetapi ada Lily yang membuatku merasa perlu mengendalikan diri.

Setelah menelan ludah selagi masih menahan amarah, aku mendesis datar, “Aku tidak bisa bicara sekarang. Nanti akan kuhubungi lagi."

Aku segera mengakhiri telepon, lalu menatap Mark dan Lily secara bergantian. Mereka seperti dua sipir yang mengintai seorang tersangka. Namun kulihat, Lily seperti gelisah dan takut, matanya juga tampak berair.

Aku tidak bisa berbuat banyak ketika Mark kemudian bangkit dari duduk, lalu berjalan ke arah kursi Lily dan sepenuhnya mengabaikanku.

“Ayah... siapa yang menelepon ibu? Mengapa ibu dimarahi seperti itu? Kasihan ibu...,” tutur Lily dengan suara pelan dan sedikit gemetar karena ingin menangis.

"Sepertinya orang itu hanya salah sambung, Sayang,” kata Mark, suara beratnya terdengar teduh sekali. Dia membungkuk untuk mencium puncak kepala Lily dan membelai rambut pirang putrinya, lalu menenangkan, “Ayah pastikan, orang itu tidak akan mengganggu ibu lagi.”

Lily mengangguk berkali-kali. Senyum manisnya merekah ketika dia menatap ke arahku.

Aku mencoba bersikap normal bak tak ada apa pun yang terjadi, sehingga aku membalas senyumannya dan berkata, “Lanjutkan sarapanmu, Lily. Ibu akan memotongkan buah untukmu.”

Dia mengangguk cepat, wajahnya semakin semringah.

Ketika aku sedang berada di belakang meja keramik dapur dan memotong apel untuk Lily, Mark mendatangiku.

Pria itu berujar pelan, nyaris berbisik agar Lily tak dengar, “Lily memiliki kondisi mental khusus setelah istriku pergi. Kuharap, pacarmu itu tidak membuat putriku ketakutan seperti tadi lagi.”

Aku tertegun mendengar peringatan dari Mark. Ketika dia melempar pandangannya ke arah Lily yang masih di meja makan, aku mengikuti arah pandangnya, dan dia kembali memperingati, "Kau di sini untuk satu alasan, Anastasia. Untuk putriku. Menjadi ibu untuknya. Apakah itu belum jelas bagimu?"

“Saya tahu, Tuan. T-tadi... situasinya sedikit tidak terkendali. Anda sendiri yang menyuruhku mengangkat telepon di meja makan,” jawabku pelan.

Mark sedikit memicingkan matanya mengamatiku. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia menghampiri Lily dan memintanya untuk bersiap, karena hari ini, Lily akan menjalani pemeriksaan ke psikoterapis anak.

Pria itu pergi dari ruang makan bersama Lily, meninggalkanku sendirian tanpa menghiraukan apel yang padahal kupotong untuk Lily.

Akulah yang mengantar Lily ke psikoterapis. Siapa lagi? Mark sibuk. Dia langsung ke kantor lebih dulu setelah memastikan Lily sudah siap pergi bersamaku.

Mark mengizinkanku menggunakan salah satu koleksi mobil mahalnya. Jadi, ditemani oleh David aku pun membawa Lily pergi ke kantor Dr. Reed—psikoterapis pribadi Lily yang dibayar mahal oleh Mark.

"Nona Walter," kata Dr. Reed, pelan, ketika sesi terapis sudah selesai dan Lily menunggu di luar ruangan bersama David.

"Tuan Lawrence sudah menjelaskan padaku lewat telepon, soal apa yang terjadi di kantornya. Ini jauh lebih rumit dari yang saya bayangkan,” sambung pria paruh baya itu.

Melihatnya menghela napas berat, aku mulai cemas. “Bisa jelaskan apa yang terjadi, Dok?”

Dr. Reed mencondongkan tubuhnya ke depan. "Dua tahun lalu, saat Lily masih berusia tiga tahun, dia menemukan ibunya pingsan di kamar mandi setelah sebuah insiden. Lily hanya menangis, sampai beberapa jam, hingga akhirnya Tuan Lawrence pulang.

"Ibunya dilarikan ke rumah sakit," lanjut dokter itu. "Dan seminggu kemudian, dia menghilang dari rumah sakit. Lenyap. Tidak ada catatan, tidak ada kabar."

Aku teringat gumaman Mark waktu kami pertama bertemu di bar. Sudah pasti yang sedang dibicarakan oleh Dr. Reed adalah Paula.

“Aku baru dengar tentang ini, Dok. Apa yang terjadi selanjutnya?” tanyaku, meminta penjelasan.

"Lily tidak pernah membicarakan hari itu,” kata Dr. Reed. "Lily mengalami trauma block. Pikirannya mengubur ingatan itu dalam-dalam untuk melindungi dirinya sendiri, mengira ibunya hanya pergi sementara dan akan kembali. Dia tidak pernah menangis. Dia menjadi anak yang pendiam dan patuh kepada ayahnya.”

Dr. Reed mengerutkan kening, tampak lebih serius, sebelum menyambung, "Sampai akhirnya Anda muncul, sikapnya berubah dan dia mau mengakui sosok ibu pada Anda.”

"Jadi... apa yang harus saya lakukan?"

Jawaban dari pertanyaan gugupku itulah yang membuat diagnosis jatuh. Resep yang akan menghancurkan sisa-sisa kehidupanku.

"Jangan paksa Lily untuk mengingat," kata Dr. Reed, tenang namun penuh keseriusan. "Jika Anda menyangkalnya lagi, lalu membuatnya histeris seperti sebelumnya, itu bisa menghancurkan mekanisme pertahanannya. Jika itu terjadi, kemungkinan Lily akan mengalami cacat psikologis permanen.”

Kalimat itu terus terngiang di benakku.

Sore hingga malam, aku terus membayangkan, bagaimana hidup di posisi Lily yang terlalu tersiksa, bahkan otaknya memproses tragedi manipulatif yang membuatnya lupa kalau ibunya benar-benar pergi.

Ucapan ‘cacat psikologis permanen’ terus menghantuiku, bahkan sampai Lily akhirnya terlelap setelah kubacakan dongeng, ingatan itu tidak bisa hilang.

Tapi aku tidak bisa terus begini, apalagi dikekang sosok CEO dingin dan anaknya, yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana rupa ibunya.

Ketika aku merenung sendiri, ponselku kembali berdering. Saat aku membaca namanya, aku merasa, penderitaan ini mungkin bisa segera diselesaikan!

***

Bersambung ......

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   27. Izin yang Tak Akan Diterima

    Setelah sempat mengobrol berdua dengan Inez kemarin—meski bagiku cenderung seperti mendengar hinaan halusnya terhadap Paula daripada mengobrol—aku semakin tidak bisa berhenti memikirkan tentang Paula.Masih kuingat ucapan David kepada Mark yang kudengar di Florida waktu itu, bahwa Paula ada di Berlin. Masih kupertanyakan pula, kalau wanita itu masih hidup, mengapa dia menghilang dua tahun terakhir? Lalu, apa yang sebenarnya Lily ketahui sebelum ibunya itu menghilang?Dan dalam sekejap, semua pertanyaan itu tersingkir dari pikiranku, digantikan oleh pertanyaan tentang Paula dan William Harold.Aku tahu, di dunia ini, nama William Harold bisa saja dimiliki oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya.Tapi bagaimana kalau ternyata William Harold yang disebut ibunya Mark adalah William Harold yang pernah kudengar disebut oleh ibuku?“Tidak mungkin... memang apa hubungan ibu dengannya?”Saking kencangnya bisikan di kepalaku, aku tak sadar bahwa kalimat barusan bukan kuungkapkan dala

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   26. Nama yang Familier

    “Kau tidak seperti menantuku yang kukenal,” ucap Inez. “Kau... berbeda dari sebelumnya.”Aku terjebak kebisuan. Tak tahu harus bagaimana sekarang.Mark di sampingku berdeham pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya, lantas menengahi, “Bisakah Ibu tidak berbicara seperti itu di depan Lily?”Dia menoleh sekilas pada Lily dan melanjutkan, “Lily butuh keadaan yang nyaman, Ibu.”Inez mengembuskan napas panjang. Setelah menenggak sedikit air putihnya, dia melanjutkan sarapannya dan tak membahas persoalan tadi lagi.Aku hampir pura-pura pingsan agar bisa keluar dari ketegangan tadi.Sarapan selesai tepat pukul setengah sembilan. Aku membawa Lily ke kamar untuk menggantikan bajunya yang tadi ketumpahan susu.Lily menyentuh rambut panjangku saat aku sedang merapikan ikatan rambutnya. Selepas memiringkan kepala, Lily bertanya, “Kenapa rambut Ibu warna cokelat?”Aku terdiam.“Bukankah seharusnya rambut Ibu sama denganku? Rambut kita seharusnya mirip, Ibu.”Seulas senyum kutunjukkan padanya. Kub

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   25. Tidak Seperti Menantuku

    Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan kedua orang tua Mark, bahkan makan satu meja dengan mereka.Ini sangat canggung—setidaknya bagiku—karena setelah mendapatkan sikap tak ramah dari Inez, posisi dudukku kini justru persis berhadapan dengannya, saling berseberangan.“Apakah Kakek dan Nenek akan berlama-lama di sini?” tanya Lily di sela memakan panekuknya.Kuharap tidak. Sungguh. Kuharap mereka tidak berlama-lama.“Hanya hari ini, Sayangku,” jawab Inez. “Nanti malam, kami akan berangkat ke Florida.”Aku membatin bersyukur.“Kemarin, aku bersama ayah dan ibu baru saja pergi ke Florida,” ungkap Lily antusias.Kuyakin Inez sebenarnya sudah tahu, tetapi menyambut antusias cucunya, dia menunjukkan ekspresi terperangah. “Benarkah?”“Benar, Nenek. Aku bermain di pantai bersama ayah dan ibu, lalu membuat istana pasir yang besaaar sekali,” tutur Lily sembari merentangkan kedua lengannya. “Aku juga menemani ayah bekerja. Karena ibu bilang, ayah pergi ke Florida untuk bisnis.”“Kenapa kau ti

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   24. Menantu Palsu

    “Aku ingin seperti Dee Dee, Ibu.” Lily menggenggam rambutnya menjadi dua bagian, lantas melanjutkan, “Diikat dua seperti ini.”“Dee Dee? Hm... baiklah. Biar Ibu coba,” jawabku.Dengan tubuhnya yang sudah terbalut gaun putih bermotif bunga, Lily duduk tenang di kursi bermain berbentuk stroberi di kamarnya, menungguku untuk menata rambutnya seperti yang ia inginkan.Rambut Lily sudah pirang, seperti Dee Dee dalam kartun Dexter’s Laboratory, sehingga tak sulit bagiku untuk menatanya semirip mungkin dengan model ikat dua.“Sudah selesai!” ucapku beberapa menit kemudian.Lily beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri cermin di sisi kamar. Senyumnya merekah lebar begitu melihat rambut pirangnya yang panjang sudah terikat.Dia berputar-putar di depan cermin, membiarkan bagian bawah gaunnya mengembang terkena angin, lantas mengagumi penampilannya sendiri pagi ini.Tak lama kemudian, pintu kamar Lily terbuka, Mark muncul.Lily langsung mendekati Mark dan melapor penuh semangat pada ayahnya

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   23. Sentuhan Pembangkit Adrenalin

    Aku ketiduran di kamar Lily, terbangun karena mendengar bel di depan penthouse dibunyikan.Saat kulihat jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty di sisi kamar, kudapati kalau sekarang sudah pukul setengah satu malam.Lily tetap nyenyak dalam tidurnya. Dia pasti lelah setelah menunggu kepulangan ayahnya sampai ketiduran bersamaku beberapa jam yang lalu.Aku bergegas keluar dari kamar Lily, lantas membukakan pintu depan.“Mark? David?” Aku mengernyit kaget melihat keberadaan kedua pria itu di depan pintu.Entah apa yang terjadi pada Mark, tetapi bosku itu tampak setengah sadar dan dirangkul oleh David.“Nona Lily sudah tidur, ‘kan? Aku tidak langsung masuk karena khawatir dia belum tidur,” ujar David, melirik ke arah Mark yang dia rangkul, mengisyaratkan kalau dia tak mau Lily melihat kondisi ayahnya saat ini.Aku mengangguk cepat, lalu memegangi lengan Mark dan membantu menuntunnya untuk masuk.“Apa yang terjadi?” tanyaku cemas.“Tuan Lawrence minum terlalu banyak setelah makan malam d

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   22. Seperti Anak Sendiri

    Sudah lima hari berlalu sejak aku, Mark, dan Lily kembali ke New York setelah tiga hari kami berada di Florida.Lily semakin ceria pasca kami pulang. Tingkah manisnya yang penuh semangat, membuatku merasa cukup lega, karena tampaknya dia tak lagi memikirkan mimpi buruknya yang membuatnya histeris waktu itu.Sore ini sebelum pulang dari Lawrence Company, karena Mark harus pergi menemui rekan bisnisnya, aku mampir ke supermarket dan membeli beberapa kotak stroberi untuk Lily, agar Lily tidak murung menantikan kepulangan ayahnya.Gadis kecil itu sangat menyukai stroberi. Apa pun yang ia makan dan minum, jika bisa memiliki rasa stroberi, maka ia akan melahapnya.Tak heran jika di luar warna-warni kamar tidur Lily, ada kursi stroberi besar kesayangan Lily di antara minimalis dan elegannya interior penthouse Mark.“Selamat datang, Ibu!” sapa Lily begitu dia melihatku pulang.Aku tersenyum hangat pada gadis kecil itu. “Apa kau pergi les piano hari ini? David yang mengantar dan menjemputmu, ‘

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status