Tangan besarnya mencengkeram pinggangku lebih erat, membuatku sulit bergerak. Nafasku tersengal saat jantungku berdetak kencang. Aku tahu aku seharusnya mendorongnya, mengingatkannya tentang pernikahan kontrak kami, tentang bagaimana seharusnya aku tidak membiarkan ini terjadi. Tapi tubuhku seakan lupa bagaimana caranya menolak. Rigen menyeringai melihat reaksiku. “Kamu bisa menyangkal dengan mulutmu,” bisiknya, “tapi tubuhmu sudah mengakuinya lebih dulu. Lucu sekali, Riel. ” Aku meremas bajunya tanpa sadar, berusaha mencari pegangan di tengah kekacauan yang dia ciptakan. Aku benar-benar dalam masalah besar. Seolah tahu pikiranku sedang kacau, Rigen memperdalam cengkeramannya di pinggangku. Nafasku tercekat saat dia menatapku dengan penuh intensitas, seakan dia sedang mencoba membaca isi hatiku yang paling dalam. “Kamu masih ingin mencari laki-laki lain, hm?” tanyanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan. Aku mencoba menguasai diriku, berusaha mengembalikan ak
Meski tubuhku gemetar dengan ancaman dinginnya, aku berkata dengan nada sombong."Ini pernikahan kontrak, jadi aku harus mulai mencari laki-laki lain untuk melanjutkan hidup setelah tunanganmu yang cantik datang. Benarkah begitu?"Begitu kalimat itu keluar dari bibirku, aku bisa melihat ekspresi Rigen berubah drastis. Matanya menyipit, rahangnya menegang, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara. “Apa kamu bilang?” tanyanya, dengan suara yang terdengar lebih dalam dari biasanya, nyaris seperti geraman. Kulipat tangan di dada, sengaja bersikap santai saat menjawab pertanyaannya. "Aku bilang, aku harus mencari laki-laki lain setelah pernikahan kontrak ini selesai. Apa kamu pikir aku akan menghabiskan sisa hidupku sendirian? Tentu tidak! Aku masih muda dan cantik, jadi tentu saja...!"Belum selesai aku bicara, dalam sekejap, Rigen sudah ada di depanku. Tangannya mencengkeram daguku, memaksa aku menatapnya. “Kamu pikir aku akan membiarkan itu terjadi?” suaranya rendah dan berbaha
Tanpa aku menahan napas, tubuhku menegang saat jarak di antara kami hampir tak bersisa. Matanya yang tajam menatapku, seolah menantangku untuk menolak. “Rigen, jangan macam-macam,” bisikku, suaraku bergetar. Dia hanya menyeringai kecil, jemarinya yang kuat tetap mencengkeram pinggangku. "Bukankah kamu menyukai adegan romantis? Aku hanya memastikan kau mendapatkan pengalaman yang lebih nyata," katanya, suaranya rendah dan menggoda. Aku mencoba mengelak, tapi dia semakin mendekat. Bibirnya hampir menyentuh milikku, membuat jantungku berdebar kencang. Aku tahu dia sengaja bermain-main denganku, menguji batas kesabaranku. Berusaha tetap tegar, aku menjawab. "Rigen, kami tunangan Selena. Kau seharusnya tidak melakukan ini," kataku, mencoba menyadarkannya. Mata Rigen sedikit menyipit, dan tiba-tiba, dia menjauhkan wajahnya. Aku hampir menghela napas lega, tapi kemudian dia berbicara dengan nada penuh bahaya. "Kamu benar," katanya sambil menatapku dalam. "Tapi kamu juga istriku
Akhirnya, aku benar-benar kembali ke rumah Rigen, demi mendapatkan aurat cerai. Namun, aku memutuskan untuk tidak ikut stres seperti Rigen. Aku tidak mau terus-menerus terjebak dalam permainan emosinya. Jadi, aku mencari hiburan sendiri—sesuatu yang bisa membuatku merasa lebih baik tanpa perlu bergantung padanya. Kutemukan hiburan dalam drama China yang baru saja trending. Aktornya sangat tampan, dengan tatapan tajam dan senyum yang bisa membuat hati berdebar. Aku menghabiskan sepanjang hari menonton, larut dalam alur cerita yang romantis dan dramatis. Untuk sesaat, aku melupakan semua kekacauan ini. Aku melupakan bagaimana Rigen selalu berubah-ubah. Aku melupakan rasa sakit karena diabaikan. Aku merasa lebih ringan. Namun kemudian, tiba-tiba, Rigen muncul di hadapanku dengan ekspresi gelap. "Ku terlihat sangat menikmati waktumu, Istriku" katanya dengan suara dingin. Kuangkat bahu santai dan menjawab. "Hanya menonton drama. Ada apa?" Dia mendekat, matanya menyipit. "Jadi
Hari ini, aku kembali dengan surat cerai baru, kali ini aku menyerahkannya langsung ke tangan Rigen agar tidak ada alasan baginya untuk mengelak. "Ini surat cerai yang baru. Sekarang kamu tidak bisa bilang kamu tidak menerimanya," kataku dengan nada tegas. Rigen mengambil kertas itu tanpa ekspresi, menatapnya sebentar, lalu dengan gerakan santai—merobeknya tepat di depan mataku. Mataku membelalak, dan berteriak. "Rigen!" Potongan kertas itu jatuh ke lantai seperti kepingan salju yang hancur. Aku bisa merasakan dadaku sesak oleh amarah dan ketidakpercayaan. "Apa yang kamu lakukan ini, Rigen?!" teriakku, dengan tangan mengepal. Rigen mendongak, menatapku dengan tenang dan menjawab."Aku hanya menghilangkan sesuatu yang tidak perlu." "Kamu bilang ingin surat cerai baru kan, kemarin?!""Dan aku tidak suka melihat itu, Riel. Apa salahnya aku merobeknya?" balasnya tenang, meski aku sudah melotot sedemikian rupa padanya. "Apa-apaan alasan itu, Rigen!"Kugigit bibir, menahan a
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamku gelisah. Setelah pergi dari apartemen Drake. Tiba-tiba aku sangat menyesali sesuatu. Beberapa hari lalu aku meninggalkan surat cerai dengan gaya dramatis, berharap Rigen akan membaca dan menangis darah. Namun sekarang, setelah emosiku reda, satu hal menyambar pikiranku seperti petir siang bolong—AKU lupa meminta tunjangan cerai."Astaga. Bagaimana bisa aku ceroboh seperti ini? Apa aku terlalu sibuk menyusun kalimat perpisahan yang puitis sampai lupa pasal keuangan? Bodoh sekali, Ariella!"Aku merutuk sendiri. Rigen memang brengsek, tapi dia juga brengsek yang tajir melintir. Kalau dia sudah sukses menghancurkan hatiku, setidaknya dia harus membayar ganti rugi, bukan? “Astaga, Riel. Kamu cerai sama CEO, bukan tukang parkir. Masa iya tidak memikirkan kompensasi?” gumamku, nyaris histeris sendiri.Aku memukul dahiku pelan, memeras otak. Haruskah aku kembali dan pura-pura mengambil barang-barangku yang sebenarnya sudah kubakar dalam ima