Maria berjalan menjauhi posisi sebelumnya lalu dia berdiri di dekat meja panjang berisi makanan ringan. Tangannya sibuk memegang gelas kosong, tapi wajahnya mulai berubah. Awalnya biasa aja, tapi sekarang matanya makin sering mengerjap. Leher terasa panas. Dada juga ikut sesak. Dia mengatur napas pelan-pelan, tapi tetap aja nggak ngaruh. Ada sensasi aneh yang nggak bisa dijelasin, dan itu datang dari dalam tubuhnya.“Kenapa sih aku ini?” gumamnya.Pelan-pelan dia menyandarkan punggung ke dinding. Suara musik pesta yang tadinya terdengar jelas, sekarang hanya terdengar seperti sayup-sayup saja. Fokusnya mulai buyar. Pakaian yang dia pakai mendadak terasa sempit. Gaunnya yang biasanya bikin dia menjadi perempuan penuh percaya diri sekarang malah bikin dirinya gerah.Maria menyapu wajahnya menggunakan telapak tangan. Keringat mulai muncul di pelipis. Napasnya mulai berat. Dia merasa ruangan itu terlalu penuh, terlalu panas pokoknya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Padahal tadi d
“Aku sama sekali tidak percaya kalau kamu berhasil melakukannya. Secara di sini ada Pak Darren, jangan mimpi kau, Maria.” Maria tersenyum kecut karena kemampuannya diragukan oleh Bima. “Sudah kubilang akan ku tunjukan kemampuanku. Kau siapkan saja tenagamu untuk tidur dengannya, dan siapkan mental kalau Darren akan memecatmu.” Bima tertawa, “aku tak peduli kalau dipecat, asal Nayla bisa kembali dalam pelukanku. Aku punya banyak uang untuk memulai bisnis,” balasnya penuh percaya diri. Maria ikut tertawa, pria ini punya tekad yang kuat untuk memiliki Nayla, pikirnya. “Kau tunggu di sini, biar kubuktikan ucapanku.” Maria melangkah ke area dekat bar, tempat beberapa pelayan bolak-balik bawa minuman di nampan. Dia berdiri agak menyamping, pura-pura menyesap wine sambil matanya mengamati satu per satu pelayan yang lewat. Nggak butuh waktu lama sampai dia nemu target yang cocok—pelayan cowok, sekitar dua puluhan, keliatan polos dan agak kikuk pas nyusun gelas. Maria langsung
“Dad, itu Mama lho, kenapa nggak disapa?”“Fokus jalan dulu, Boy. Kita harus sampai di depan podium lalu ke tempat duduk dengan harga diri yang utuh.”“Emang harga diri bisa patah, Dad?”“Bisa, kalau kayak tadi kita ditolak resepsionis depan umum.”Raja mengangguk, seolah mengerti padahal otaknya lagi mikirin es krim.Hanya dia yang mengajak anak kecil datang ke acara seperti ini. Pria itu melihat Raka sedang berbicara dengan beberapa rekan bisnisnya, dan Nayla berdiri di samping Raka membuat darah Darren mendidih.Dia naik ke podium, memberi ucapan selamat pada yang punya acara. Tak ada membahas kalau dirinya ditahan di depan. Bisa malu dia di depan kamu undangan yang lain kalau ada yang mendengar. Dengan bangga dia memperkenalkan sosok Raja, sebagai pewaris utamanya.“Wah kalau kayak gini sih, pak Darren gak perlu tes DNA juga sudah ketahuan sedarah dan sedaging,” pria paruh baya yang mengenal Darren berkelakar sambil mengusap rambut Raja.“Mamanya, di mana?” tanya Irwan.“Itu, sama
Begitu masuk ke dalam, Raka langsung melangkah menuju podium tempat keluarga pemilik acara berdiri. Ia sempat menyapa beberapa tamu yang dikenalnya di sepanjang jalan. Nayla berjalan setengah langkah di belakang, mengikuti.Ruangan itu sangat ramai. Musik lembut terdengar dari speaker di sudut ruangan. Para tamu berdiri berkelompok, mengobrol sambil memegang gelas minuman. Beberapa pelayan lalu-lalang membawa nampan berisi kudapan. Dekorasi mewah dan pencahayaan hangat bikin suasana terasa elegan tapi tetap santai. Semua orang terlihat menikmati acara. Hampir semua.Nayla menarik napas dalam. Matanya sempat menyapu seluruh ruangan, tapi pikirannya justru sibuk sendiri. Otaknya penuh kekacauan. Raja dan Darren masih di luar. Entah sudah masuk atau belum. Pikirannya terus melayang. Padahal di depan matanya, Raka sedang bersalaman dengan keluarga pemilik acara. Nayla menyusul. Ia sempat melirik ke arah pintu masuk. Belum terlihat juga Darren. Perasaan was-was itu makin jelas. “Pak, yan
“Aduuuh!” Darren menjerit pendek sambil meringis. Tangannya refleks mencengkram lengannya sendiri yang baru saja dicubit Nayla. Keras. Rasanya seperti digigit kepiting laut dalam. Darren yakin kali ini memarnya bakal lebih gelap dari nasib rekening Atmaja Group yang kena audit mendadak. “Sakit, woy…”“Bisa diem nggak, Mas?” kata Nayla, kalimat itu diucapkan nyaris berbisik. Tapi jelas-jelas mengandung ancaman. Matanya nyempit, seperti sniper yang lagi ngintai target. Cubitan tadi belum seberapa, masih versi ringan.Darren memutar badannya pelan. Masih sambil mengusap bekas cubitan, dia berusaha memasang ekspresi tak bersalah, meski jelas-jelas nyebelin.“Apasih. Aku cuma tanya cash apa credit. Kalau aku tanya ‘milik sendiri apa maling’, itu baru salah.” Suaranya terdengar polos banget. Seolah dia sedang tanya arah jalan ke satpam, bukan ngerusuh ke dompet orang.Nayla menghela napas berat. Matanya nyaris keluar dari tempatnya. “Abis kejedot kayaknya,” batinnya. Sudah duduk di mobil or
Darren menatap Raka Aditama dari atas sampai bawah. Pandangannya nggak sopan sama sekali, seperti orang yang lagi menilai barang lelang. Raka berdiri dengan ekspresi bingung campur sebal. Pria itu memang tinggi, rapi, dan berkelas. Wajahnya bersih, posturnya atletis. Darren jelas nggak senang. Istrinya bakal satu mobil, duduk dekat-dekatan sama orang yang kelihatannya bisa muncul di iklan parfum mahal.“Apa kita berangkat sekarang, Pak Raka, atau mau ngobrol dulu di dalam?” tanya Darren sok santai. Wajahnya tersenyum jahil, tapi kalimat yang terucap dari mulutnya bikin Raka pengen lempar sandal.“Kita?” Raka mengulang pelan. Alisnya terangkat. Dia bahkan sempat melirik ke kanan dan kiri, memastikan apakah Darren bicara ke dia atau ke orang lain.Darren malah tertawa. Tawa yang semakin menyebalkan. Bukan karena lucu, tapi karena penuh niat mengganggu rencana pria ini.“Tentu saja kita,” jawab Darren dengan ekspresi puas. “Karena saya dan jagoan saya akan numpang sama Pak Raka. Kita ka