LOGINDaniel menghabiskan sisa malam itu dalam siaga tinggi. Setelah memo teguran resmi kepada Alya dan ancaman balasan dari tim legal Alya (yang telah dirancang bersama), kantor Arkana terpecah belah, persis seperti yang mereka inginkan. Media sosial dipenuhi buzz tentang 'Perang Saudara Eksekutif Arkana' dan spekulasi apakah Alya akan mengundurkan diri atau menantang CEO secara terbuka. Hartono pasti sedang bersembunyi di balik layar, mengumpulkan amunisi, yakin bahwa Daniel telah melakukan kesalahan fatal dengan memfokuskan diri pada konflik internal daripada menunda peluncuran Quantum.
Namun, di balik kegaduhan itu, tim inti Quantum bekerja dengan kecepatan penuh.Rabu Pagi, 10:00 WIB.Daniel dan Alya bertemu di Sky Lounge, sebuah area eksekutif yang privat dan terpisah dari lantai kantor. Alya sudah duduk, wajahnya masih memancarkan kelelahan dan ketegasan, namun ada kehangatan yang tersisa di matanya."Semua sudah di tempat, Daniel," kata Alya, menyerahkan tablet yan"Berhenti berakting, Lena... atau siapa pun namamu," desis Daniel dengan napas memburu.Cengkeraman tangan Daniel di pergelangan tangan Alya terasa menyakitkan. Matanya yang dingin kini memancarkan permusuhan yang nyata. Daniel menyudutkan Alya ke dinding beton tangga darurat yang remang-remang."Tuan Daniel, apa yang Anda lakukan? Kita harus evakuasi!" Alya mencoba tetap tenang, meski jantungnya berdegup kencang karena posisi mereka yang terlalu intim sekaligus mengancam."Evakuasi? Atau kau sedang menggiringku ke jebakan yang sebenarnya?" Daniel tertawa sinis, sebuah tawa yang belum pernah Alya dengar sebelumnya. "Aku sudah memperhatikanmu sejak hari pertama. Kau terlalu sempurna untuk seorang analis. Caramu bergerak, caramu mengawasi setiap detail... kau bukan bagian dari tim keamanan. Kau adalah 'pembersih' yang dikirim musuhku untuk memastikan aku tidak selamat kali ini, kan?"Alya tertegun. Di satu sisi, ia lega Daniel tidak mengingatnya karena itu berarti renc
Alya meremehkan keputusasaan musuh. Saat mereka bergerak keluar dari reruntuhan kafe, sebuah tembakan dari penembak runduk (sniper) yang bersembunyi di atap gedung seberang membelah udara dingin Zurich."Daniel, awas-!"Terlambat. Peluru itu menghantam dada bagian atas Daniel. Tubuh tegap itu tersentak ke belakang, menghantam tumpukan salju yang seketika berubah warna menjadi merah pekat."DANIEL!" jerit Alya. Ia melepaskan tembakan membabi buta ke arah atap untuk memaksa penembak itu mundur, lalu ia menjatuhkan dirinya di samping Daniel. Tangan Alya gemetar hebat saat mencoba menekan luka di dada Daniel. "Tetaplah sadar! Daniel, lihat aku! Jangan tutup matamu!"Daniel terbatuk, darah merembes dari sela bibirnya. Matanya yang biasanya tajam kini mulai meredup, menatap Alya dengan sisa-sisa kesadaran. "Al... kau... selamat..." bisiknya lemah sebelum kepalanya terkulai lemas.Tim medis dan tim keamanan Raka tiba beberapa menit kemudian setelah pertempuran reda. Aly
Alya perlahan melepaskan cengkeraman tangan Daniel di bahunya. Ia mundur satu langkah, menciptakan jarak yang terasa lebih lebar dari sekadar ruang di antara mereka. Tatapannya penuh luka, namun keputusannya sudah bulat."Daniel, justru karena aku mencintaimu, aku tidak bisa membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri demi aku," bisik Alya."Apa maksudmu, Al? Kita sudah mendapatkan buktinya! Aris sudah kalah!" Daniel mencoba meraih tangan Alya lagi, namun Alya menghindar."Aris hanyalah pion, Daniel. Foto-foto itu... itu hanya pembuka. Kau tidak tahu siapa yang sebenarnya berada di balik sisa-sisa Vortex. Jika aku tetap di sisimu, mereka akan terus menggali, terus menyerang, sampai mereka menemukan celah yang benar-benar bisa membubarkan Arkana Corp," Alya menatap cincin di jarinya dengan getir. "Selama aku ada di jangkauanmu, kau adalah sasaran empuk."Alya melepas cincin berlian biru itu dan meletakkannya di atas laptop yang berisi data kejahatan Aris. "Gunakan data
Di ruang kerja CEO yang kedap suara, ketegangan terasa begitu nyata hingga udara seolah sulit untuk dihirup. Daniel masih berdiri menatap jendela, sementara di layar televisi, analis ekonomi mulai mempertanyakan kredibilitas kepemimpinannya karena memilih tunangan yang dituduh sebagai agen ganda."Daniel, lihat aku," suara Alya memecah keheningan. Ia tidak lagi gemetar. Suaranya tenang, tipe ketenangan yang biasanya muncul sebelum badai besar.Daniel berbalik, matanya merah karena amarah yang tertahan. "Kita akan melawan mereka, Al. Aku sudah menyuruh Raka mengumpulkan bukti untuk konferensi pers.""Tidak akan sempat," potong Alya cepat. Ia berjalan menuju meja kerja Daniel dan meletakkan sebuah map hitam. "Itu surat pengunduran diriku. Bukan hanya sebagai COO, tapi juga sebagai asisten pribadimu. Secara efektif, mulai detik ini, aku bukan lagi bagian dari Arkana Corp."Daniel tertegun, lalu tertawa getir. "Kau bercanda? Aku baru saja memakaikan cincin ini di jarimu
Daniel mengabaikan bayangan Aris yang baru saja diseret keluar. Ia melangkah mantap menuju podium di tengah ballroom, masih dengan tangan yang melingkar posesif di pinggang Alya. Sorot lampu mengikuti setiap gerakan mereka, menciptakan aura kekuasaan yang tak terbantahkan.Daniel meraih mikrofon. Ia tidak segera berbicara, melainkan menatap para tamu undangan-para taipan, pejabat, dan media-dengan tatapan tajam yang membuat ruangan itu seketika sunyi."Mungkin beberapa dari kalian baru saja menyaksikan sebuah gangguan kecil," Daniel memulai, suaranya berat dan penuh wibawa. "Seorang pria yang merasa kedewasaan diukur dari berapa lama ia hidup di dunia ini, bukan dari apa yang telah ia korbankan. Banyak yang meragukan saya karena usia saya baru dua puluh tahun. Banyak yang mengira saya hanyalah seorang 'anak kecil' yang bermain-main dengan warisan ayah saya."Daniel menoleh ke arah Alya, matanya melembut namun tetap tegas. "Tapi di samping saya berdiri wanita yang mengaja
Cahaya keemasan matahari Jakarta mulai menyusup melalui celah gorden sutra, menerangi kamar yang masih berantakan. Daniel terbangun lebih dulu. Ia berbaring miring, menopang kepalanya dengan satu tangan sambil memperhatikan Alya yang masih terlelap di sampingnya.Dalam keheningan pagi itu, Daniel menyadari betapa kontrasnya hidupnya sekarang. Seprai yang kusut dan napas teratur Alya adalah kenyataan yang jauh lebih berharga daripada angka-angka di monitor bursa saham.Alya perlahan membuka matanya, menemukan tatapan intens Daniel yang sudah menunggunya. Ia tersenyum kecil, suaranya masih serak khas bangun tidur. "Sudah bangun sejak tadi?""Aku tidak ingin melewatkan satu detik pun melihatmu setenang ini, Al," bisik Daniel. Ia menarik Alya lebih dekat, membiarkan kulit mereka kembali bersentuhan di bawah selimut. "Memikirkan bahwa setelah hari ini, seluruh dunia akan tahu kamu adalah tunanganku... itu membuatku tidak bisa berhenti tersenyum."Alya tertawa pelan, tanga







