Masuk“Isa, Yessa!”
Seruan itu berasal dari Kaveer yang muncul membawa air hangat dan juga handuk kecil dari dapur. Melihat suaminya datang, Yessa lansung menarik kuat tangannya dari Isandro. Isandro, ia mengulas senyum tipis melihat wajah Yessa yang memerah antara malu dan marah. Dan reaksi mereka berdua disadari oleh Kaveer, yang dengan cepat menghampiri keduanya. “Ini air hangatnya,” Kaveer meletakannya ke atas meja, lalu menatap mereka berdua bergantian. “Kalian berdua kenapa?” Yessa cepat menggeleng. “Nggak apa-apa, Mas,” balasnya singkat, lalu menatap Isandro. “Air hangat ini buat kompres, ya, dok?” Isandro hanya melirik sekilas sambil meraih perban dan plester dari kotak obat di pangkuannya. “Tidak usah, itu tidak jadi saya pakai. Luka kamu sudah saya bersihkan dengan antiseptik, jadi kompres tidak perlu.” Tangan Isandro terulur, hendak memasang perban di lengan Yessa. Wanita itu sempat ragu untuk menyerahkannya, namun akhirnya ia merelakan, dan Isandro mulai membalut lukanya dengan hati-hati. “Terima kasih, Dok.” Yessa buru-buru menarik tangannya kembali, menggenggam punggung tangannya yang tadi sempat dibubuhi ciuman lembut oleh Isandro. Isandro hanya mengangguk singkat sambil merapikan kotak obat di pangkuannya, lalu meletakkannya di atas meja. Di sisi lain, Kaveer menghela napas panjang. Usahanya merebus air hangat yang bahkan terasa berat karena sebelumnya ia tak pernah melakukannya—ternyata sia-sia, sebab air itu tidak jadi digunakan. “Saya penasaran …,” gumam Isandro pelan. Tatapannya lurus pada Yessa, “Bagaimana kamu terjatuh. Murni terjatuh, atau didorong?” Tubuh Kaveer langsung menegang mendengar ucapan Isandro, “Istriku tadi tidur lebih awal, sudah terbiasa dia kalau tidur sendirian tanpa aku selalu jatuh dari ranjang karena banyak gerak!” ucapnya berbohong. “Jadi begitu, ya?” tatapan Isandro lurus pada Yessa. Kaveer menyikut lengan sang istri pelan, membuat Yessa dengan cepat mengangguk. “Iya, dok. Karena kalau gak ada Mas Kaveer, gak ada yang jagain saya kalau tidur,” jawab Yessa. Isandro hanya mengangguk singkat, lalu bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, aku pamit pulang, Veer.” Kaveer dan Yessa sama-sama ikut berdiri, “Aku anter sampe ke depan, Sa.” Ia berjalan lebih dulu meninggalkan ruang tengah. Sementara Isandro dan Yessa menyusul di belakangnya. Yessa berdiri di ambang pintu, Kaveer mengantar Isandro sampai ke depan pagar rumahnya. Mereka terlihat berbicara sebentar, lebih akrab ketika hanya berdua saja ketimbang saat ada Yessa. Sebelum akhirnya Isandro membuka pintu mobil, pria itu masih sempat melirik ke arah Yessa di ambang pintu. “Saya pulang, Yessa.” Pamit Isandro membuat Yessa dengan sigap mengangguk. “Hati-hati di jalan, Sa. Udah malem,” pesan Kaveer pada sahabatnya. Isandro hanya mengangguk singkat, masuk ke dalam mobil dan membawa kendaraan beroda empat itu berlalu pergi meninggalkan kawasan rumah Kaveer dan Yessa. Yessa kembali masuk tanpa menutup pintu rumahnya, disusul Kaveer dengan langkah cepat dan langsung menahan lengan Yessa sebelum masuk ke kamar. “Kamu ngomong apa sama Isa waktu aku lagi di dapur?” tanya Kaveer dengan nada dingin yang menusuk. Yessa menoleh pada suaminya, keningnya mengernyit. “Aku gak ada ngomong apa-apa.” “Jangan bohong, Yessa. Kamu pasti kasih tahu Isa kalau aku yang buat lengan kamu terluka, kan?” suaranya rendah, namun mengandung emosi. “Nggak, Mas.” Yessa melepaskan lengan kanannya dari tangan Kaveer. “Kalau kamu gak percaya, tanya aja sama Mas Isa langsung.” Kaveer mengangkat tangannya dan menunjuk Yessa dengan tatapan tajam, “Jangan sampe semua kejadian yang kamu alami di rumah ini terdengar ke orang luar, terutama Mama aku dan Isa.” Tanpa bicara lagi, pria itu masuk kamar lebih dulu dan melepaskan pakaiannya dengan santai—lalu melemparnya sembarangan ke lantai. Yessa masuk dan memungutnya untuk dimasukkan ke dalam keranjang cucian. Setelah itu Yessa berbaring di atas ranjang, memunggungi Kaveer yang terlelap tanpa membersihkan diri sebelum tidur. Ia hanya menghela napas panjang pada kebiasaan suaminya. Namun diam-diam Yessa mengulas senyum sambil mengusap punggung tangan kanannya yang mendapatkan ciuman lembut dari Isandro. Ia juga mencium punggung tangannya, dan menghirup aroma maskulin pria itu yang masih menempel. _____ Keesokan paginya, Yessa sudah rapi dengan seragam perawatnya. Sejak pukul empat dini hari ia telah sibuk mencuci piring, mencuci dan pakaian, membersihkan rumah, hingga menyiapkan sarapan. Semua pekerjaan rumah tangga itu sudah beres sebelum matahari benar-benar terbit. Sementara itu, Kaveer masih terlelap di kamarnya. Rutinitas pria itu hanya berputar di lingkaran yang sama—tidur sepanjang siang, merokok tanpa henti, dan saat malam tiba, menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan bersama teman-temannya. “Mas, aku berangkat ke rumah sakit, ya? Sarapannya udah aku buatin di meja makan,” ucap Yessa seperti biasa selalu berpamitan meski sang suami tertidur. Setelah itu, Yessa meraih totebagnya yang digantung di belakang pintu, lalu meninggalkan kamar. Namun, begitu dia membuka pintu rumah—bola matanya membulat kaget. “Do-dokter?” gumamnya terkejut, saat mendapatkan Isandro berdiri tegap di depan pintu rumahnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.“Si-siapa, El?” suara Shofia terbata, ingin memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. Yessa. Nama itu, bukankah itu nama wanita yang menjadi selingkuhan Isandro? Seorang perawat di rumah sakit milik keluarga suaminya, dan sudah di-blacklist. “Yessa, tante,” ulang Ella lagi. “Intinya, Isandro bilang sama aku buat gak berharap sama hubungan yang ingin tante bangun antara aku sama dia.” “San bilang kalau dia udah punya pengganti Aurora. Dan wanita perawat itu, Yessa—kebetulan dia ada di sana.” “Waktu aku bahas soal aku sama San kedepannya, di hadapan Yessa. Tante tahu ...?” mata Ella kembali berkaca-kaca. Shofia hanya diam, menunggu kelanjutan ucapan Ella. “San marah sama aku, tante. San bilang ke aku, suruh aku jagat mulut—jaga bicara di depan Yessa. Siapa lagi kalau bukan dia?” suaranya bergetar karena kecewa. Kedua tangan Shofia meremat pakaian mahal yang dia kenakan. Jantungnya masih berdetak cepat, karena ternyata selama ini dia sudah bertemu dengan Yessa. Wanita y
“Jaga mulut kamu di depan Yessa,” Ella mengerutkan kening, matanya melirik antara Isandro dan sosok perempuan di belakang. “Kenapa dengan perawat itu?” tanyanya sinis. “Apa masalahnya? Sekarang urusannya aku sama kamu, bukan sama dia.” Udara di dalam mobil tiba-tiba terasa menegang. “Kamu harus tahu, kalau Yessa—“ Isandro hendak membuka suara, bibirnya sudah bergerak untuk mengatakan sesuatu yang jelas bukan untuk telinga Ella. Namun sebelum kata itu keluar, Yessa buru-buru menimpali, suaranya sedikit bergetar. “Dok, jangan berantem, ya? Mending mobilnya jalan dulu, nanti kita bisa telat ke klinik.” Isandro menatap Yessa sekilas lewat kaca spion tengah. Tatapan itu seperti sebuah pesan diam, tak ingin Isandro memberitahu hubungan mereka di masa lalu. Ia menarik napas panjang, menahan semua yang ingin diucapkan. Tangan kirinya kembali ke kemudi, dan tanpa kata lagi, mobil itu melaju perlahan di jalanan desa yang berdebu, meninggalkan suasana hening yang menyesakkan di antara
“Calon istri?” gumam Fika dengan kening mengernyit. Bukannya Isandro sudah punya istri? Dan istrinya melahirkan anak prematur? Tapi wanita di hadapannya ini mengaku sebagai calon istrinya. Apa Isandro sudah bercerai karena kehilangan sang anak, pikirnya. “Iya,” balas Ella cepat, penuh percaya diri. “Di mana kamar Isandro?” Fika langsung membawa pandangannya ke kamar Isandro yang terletak di sebelah kanan kamar Yessa. “Itu dia. Sepertinya dokter Isa lagi sarapan.” Ella mengangguk paham. “Saya ke sana dulu, ya? Terima kasih sudah memberitahu.” “Sama-sama,” balas Fika masih heran, seharusnya sebagai calon istri—Ella tahu di mana letak kamar sang calon suami. Begitu Ella berjalan meninggalkan Fika, dan hendak menuju kamar kos Isandro. Tepat saat itu juga, Isandro keluar dari kamarnya dan terkejut menemukan Ella di sana. “Ngapain kamu ke sini?” suaranya masih terdengar dingin dan menusuk. “Kita berangkat bareng ke klinik.” “Aku udah janjian dengan orang lain,” balas Isandro datar,
“Ah, maaf. Saya ... maksud saya, kalau kamu tidak suka tidak apa-apa. Em, mau saya cari nama lain?” tanya Isandro sedikit kikuk, karena menyarankan namanya mirip dengan nama Yessa. Fika sedikit tercengang, nama ‘Yessy’ yang direkomendasikan oleh Isandro sama sekali tidak buruk. Toh, aslinya kan ini memang anaknya Yessa. Isandro ingin mengumpat dirinya dalam hati, entah kenapa dia keceplosan memberikan nama Yessy karena membayangkan itu anak Yessa dan dirinya. Dia hampir gila rasanya. “Fika, mungkin ... panggil saja namanya Eci? Panggilan saja, kan? Kalau ayahnya suatu saat kembali, kamu bisa menggunakan nama pemberian ayah kandungnya.” Kata Isandro lagi. Fika langsung tersenyum lebar. “Gak, dok. Udah bagus kok. Yessy, terus panggilannya Eci, ya?” “Tapi ...,” Isandro menghela napas ringan, merasa tak enak. “Namanya sedikit mirip nama teman kamu, Yessa.” “Nggak apa-apa, ini kan juga anaknya Yessa. Kami berbagi. Anakku, anak Yessa juga, dan begitu juga sebaliknya,” balas Fika penu
“Mas Isa yang undang dokter Ella ke sini?” tanya Yessa sambil menatap wanita itu yang tampak mencari seseorang di klinik. Isandro menggeleng pelan, dia juga tidak tahu Ella datang dalam rangka apa. Tak ada pemberitahuan. Tapi setelah dipikir-pikir, ini pasti ada sangkutannya dengan sang ibu. “Buka kuncinya, Mas. Saya mau turun!” desis Yessa, suaranya dingin dan menusuk. “Mau turun ke mana?” “Saya mau pulang, saya capek dan butuh istirahat,” balas Yessa masih dengan nada dinginnya. Tapi lebih dari itu, dia ingin segera menemui anaknya dan menyusuinya. Tak mungkin dia terus membiarkan anaknya dirawat Fika yang sebenarnya masih butuh bimbingan psikologis. “Tunggu sebentar, biar saya turun dulu untuk menemui Ella,” kata Isandro sambil membuka pintu dan turun dari mobil. Namun dia tak tahu saja Yessa masih sama keras kepalanya. Saat Isandro menghampiri Ella, Yessa mengambil kesempatan untuk kabur. “El,” panggil Isandro pada mantan kekasihnya dulu itu. Ella menoleh ke sumber suara,
Ruang perawatan siang itu terasa lengang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara aroma antiseptik dan cahaya putih dari lampu. Yessa duduk di kursi dekat meja administrasi, kedua tangannya menggenggam erat pulpen, tapi matanya kosong. Pandangannya tak benar-benar fokus pada berkas-berkas pasien yang tergeletak di hadapannya. Kata-kata Isandro terus bergema di kepalanya—‘Ada syaratnya.’ Nada suaranya terlalu tenang untuk diabaikan, tapi juga terlalu dingin untuk tidak membuat jantungnya berdegup cepat. Syarat? Apa yang dimaksud Isandro dengan, syarat? Yessa menggigit bibir bawahnya. Bayangan wajah pria itu terlintas jelas di benaknya—tatapan tajam, senyum miring yang seolah menyimpan sesuatu. Ia tahu, Isandro tidak akan pernah memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Entah kapan pria itu akan memberitahunya. “Yessa?” panggil salah satu perawat lain, membuatnya tersentak kecil. “Eh? Iya?” “Dari tadi kamu melamun. Ada pasien yang minta kamu ba







