Share

Bab 11

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 07:27:55

Langit malam tampak seperti selimut kelabu yang ditambal awan-awan gelap. Rakasura berdiri di batas desa, tempat jalan setapak memudar ke semak belukar. Di punggungnya tergantung sehelai kain panjang yang dijadikan ikat pinggang darurat. Ia tak mengenakan baju zirah, hanya kain pelindung dada dari kulit kayu kering yang dirangkai Pak Darmo siang tadi.

Dari balik semak, Tirta muncul.

“Kau serius pergi sendiri?” tanyanya.

“Ya.”

“Aku ikut.”

“Tidak.”

“Aku sudah pernah melihat siluman membunuh orang. Kali ini, aku tidak mau hanya jadi penonton.” Tirta menatapnya tanpa gentar.

Rakasura memandang bocah itu. Ada keberanian di matanya. Terlalu muda untuk terluka, tapi cukup berani untuk mati. Ia menarik napas pelan.

“Kalau kau ikut, patuhi semua perintahku. Satu langkah lebih dulu dariku, atau satu langkah lebih lambat—kau kutinggal.”

Tirta tersenyum lebar. “Siap, guru.”

Mereka berdua menapaki gelapnya hutan. Tak ada suara burung malam, tak ada gemerisik. Hutan seperti menahan napas.

Setelah h
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Gelang Langit   Bab 12

    Rakasura melangkah pelan di sepanjang hutan, kaki-kaki besar menapak lembut di atas tanah yang lembab. Malam mulai merayap, dan cahaya bulan yang redup memberi kesan misterius pada setiap sudut yang ia lalui. Hati Rakasura berdebar, tidak hanya karena ancaman yang mengintai di hadapannya, tetapi juga karena perasaan yang semakin lama semakin kuat dalam dirinya—perasaan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ini bukan lagi soal gelar atau kehormatan sebagai penjaga Kahyangan. Ini adalah tentang melindungi mereka yang memandangnya dengan harapan.Desa ini adalah tempat yang belum pernah ia kenal sebelumnya, tapi kini, ia mulai merasa sesuatu yang lebih dari sekadar tempat menumpang tidur. Di dunia yang jauh dari Kahyangan, ia merasa seperti satu-satunya yang dapat menjaga mereka dari ancaman nyata.Tapi ancaman yang datang bukan hanya sekedar fisik. Ada perasaan tak terdefinisikan, sesuatu yang menggerogoti pikirannya setiap saat—terutama setelah pertemuannya dengan makhluk ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • Gelang Langit   Bab 13

    Langit pagi menggantung pucat, sementara kabut tipis masih menyelimuti lapangan latihan di tengah desa. Embun masih menempel di batang-batang bambu ketika suara derap kaki mulai terdengar beriringan.Rakasura berdiri di tengah lapangan, mengenakan kain pelindung dada dari kulit kayu, sementara seikat rambutnya terikat ke belakang. Di hadapannya, dua baris warga desa berdiri tegak, sebagian memegang tongkat kayu, sebagian lagi membawa alat tani yang dimodifikasi menjadi senjata sederhana.Hari ini, mereka sudah memasuki hari ketujuh latihan. Dan Rakasura bisa melihat perubahan kecil—cara mereka berdiri, tatapan mata yang lebih yakin, dan bahkan cara mereka menggenggam senjata."Siapa yang bisa menahan serangan dari tiga arah?" tanyanya, menatap kelompok itu.Tiga pemuda m

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Gelang Langit   Bab 14

    Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Gelang Langit   Bab 15

    Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Gelang Langit   Bab 16

    Aroma daun basah dan jamur tua mulai terasa begitu mereka meninggalkan Rawasinga. Jalur ke utara yang ditunjukkan Samarsa bukanlah jalan besar, melainkan semacam jalur perburuan lama yang sebagian besar tertutup semak dan akar pohon. Langit mendung membuat waktu sulit ditebak. Matahari seperti malu-malu muncul dari balik celah awan, hanya untuk menghilang lagi.Tirta mengeluh pelan sambil menarik ranting dari celananya. “Kalau jalan terus begini, kita bakal makan akar pohon sore nanti.”“Kau bisa makan keluhanmu dulu,” kata Ayu datar tanpa menoleh.Rakasura berjalan di depan, langkahnya stabil. Peta kasar di tangannya hanya berisi simbol dan goresan samar yang dibuat Samarsa dengan arang. Tapi setiap lekuk jalur, setiap tanda bebatuan, terasa familiar baginya—seolah tubuhnya mengingat meski pikirannya tidak.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Gelang Langit   Bab 17

    Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-26
  • Gelang Langit   Bab 18

    Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Gelang Langit   Bab 19

    Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 32

    Hutan yang mereka masuki selepas Lembah Kabut terasa lebih liar, lebih sunyi, seakan suara burung pun enggan tinggal di antara pohon-pohon tinggi yang daunnya menyaring cahaya matahari menjadi bayangan hijau kebiruan. Angin hanya berhembus pelan, membawa aroma basah dari dedaunan tua dan tanah yang belum disentuh langkah manusia selama bertahun-tahun."Ini bukan jalur biasa, ya?" tanya Tirta sambil menepis ranting yang menjulur.Rakasura mengangguk pelan. "Ini bukan tempat yang ditemukan lewat peta. Tempat ini memilih siapa yang bisa masuk.""Dan kita... dipilih?" Tirta melirik ke Ayu, yang hanya mengangguk dengan waspada."Untuk sementara," gumam Rakasura. "Jika niat kita berubah, hutan ini bisa menutup jalan."Hari sudah me

  • Gelang Langit   Bab 31

    Setelah rentetan pertemuan gaib dan pertarungan batin, pagi itu akhirnya datang juga. Bukan dengan kilatan cahaya atau denting kemenangan, tapi dengan embun yang diam-diam menetes dari ujung dedaunan, dan sinar matahari pertama yang malu-malu menyusup dari celah akar raksasa.Tirta adalah yang pertama bangun. Rambutnya awut-awutan, dan ia menggeliat seperti anak kucing yang baru keluar dari selimut. Setelah menengok ke kanan dan kiri, ia menarik napas panjang lalu menggumam, "Masih hidup... Alhamdulillah."Di dekatnya, Ayu duduk bersandar pada akar, matanya masih sayu, tapi lebih tenang. Rakasura sendiri masih bermeditasi, wajahnya bersinar lembut oleh cahaya samar gelang di tangannya."Kalau ini hari libur, aku pilih tidur lagi," keluh Tirta, mengambil sisa roti dari tasnya dan menggigitnya pelan. "Tapi ya sudahlah, petualangan belum selesai."Ayu tersenyum tipis. "Petualangan atau penderitaan terselubung?""Dua-duanya," sahut Tirta sambil duduk d

  • Gelang Langit   Bab 30

    Udara di sisi lain lembah terasa berbeda. Lebih kering, lebih sunyi, seolah semua suara tertelan oleh tanah. Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah perlahan melewati jalur batu tua yang tampaknya belum dipijak manusia selama puluhan tahun.Dedaunan di kanan-kiri jalur telah mengering, namun tidak gugur. Mereka menggantung di ranting seperti ditahan oleh waktu. Setiap langkah menimbulkan gema kecil, meskipun tanahnya tak keras. Keheningan terasa pekat."Tempat ini seperti menahan napas," bisik Ayu.Rakasura mengangguk. "Kita semakin dekat. Fragmen keempat seharusnya berada di pusat lembah terdalam. Tapi... aku rasa itu bukan hanya sekadar tempat persembunyian.""Maksudmu?" tanya Tirta."Tempat ini menyimpan sesuatu yang dikunci. B

  • Gelang Langit   Bab 29

    Kabut masih menyelimuti lembah saat mereka keluar dari lorong batu. Langit mulai berubah warna, mengguratkan semburat jingga di ujung cakrawala. Malam nyaris usai, tapi udara tetap dingin. Tirta menggigil pelan sambil merapatkan jubahnya."Kita harus cari tempat berteduh," gumamnya. "Aku tidak yakin kabut ini cuma kabut."Ayu menoleh, matanya menyapu lembah yang tampak asing meski mereka baru saja melewatinya beberapa jam lalu. Tanaman menjalar di dinding-dinding tebing kini tampak layu, dan tanah di sekitar kaki mereka terasa lembek seperti baru disiram hujan.Rakasura berdiri diam di tempatnya, mata terpejam. Fragmen ketiga yang baru saja ia peroleh kini menggantung di lehernya, disatukan dengan dua lainnya oleh tali kulit sederhana."Airnya mengalir ke tempat yang tidak semestinya," ucapnya pelan. "Ada sesuatu yang mengubah aliran unsur di lembah ini."Tirta mengangkat alis. "Maksudmu... ada yang mengacaukan energi alam?"Rakasura mengang

  • Gelang Langit   Bab 28

    Kabut masih menyelimuti lembah ketika langkah mereka menyusuri jalan berbatu yang perlahan menurun. Matahari hanya menembus samar-samar melalui celah tebing tinggi di kedua sisi, membuat seluruh tempat tampak seperti berada dalam senja abadi. Setelah percakapan penuh ketegangan dengan Purnama, kini Rakasura, Ayu, dan Tirta melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian terdalam dari Lembah Kabut."Kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan fragmen ketiga?" tanya Ayu, matanya tak lepas dari belukar yang mereka lewati."Ya. Aku bisa merasakannya," jawab Rakasura, suaranya rendah. Ia membuka telapak tangan kirinya, tempat serpihan logam — dua bagian gelang yang telah mereka temukan — berdenyut lembut dengan cahaya kebiruan.

  • Gelang Langit   Bab 27

    Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas Kota Maruta. Rakasura, Ayu, dan Tirta duduk di sudut belakang sebuah kedai kecil, jauh dari jalan utama. Suara pasar terdengar sayup dari luar: langkah tergesa, tawar-menawar, dan derit roda gerobak. Tapi di dalam ruangan, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.Di atas meja kayu kasar, terbentang serpihan logam yang mereka ambil dari lorong bawah tanah. Saat disinari cahaya pagi, guratan-guratannya menampilkan pola samar: bukan sekadar ukiran, tapi garis-garis yang perlahan membentuk sebuah peta.Ayu menyipitkan mata. "Ini bukan peta kota. Tapi... semacam jalur."Tirta memiringkan kepalanya. "Kalau ini jalur rahasia, kenapa bisa tergambar di pecahan gelang? Apa peta ini muncul karena fragmen lain bereaksi?"Rakasura mengangguk

  • Gelang Langit   Bab 26

    Kota Maruta saat pagi tidak seperti kota lain. Kabut tipis menggantung di udara bahkan setelah matahari naik. Pasar mulai hidup dengan suara besi bertemu besi, bau roti hangat, dan teriakan pedagang yang bersaing dengan denting palu pandai besi.Rakasura, Ayu, dan Tirta berjalan menyusuri jalur utama pasar, mata mereka waspada. Di antara keramaian, mereka mencari petunjuk yang hanya bisa dilihat jika tahu apa yang dicari: lambang tersembunyi, kata-kata berkode, bisikan tentang lorong-lorong yang tidak tercantum dalam peta."Pasar ini padat tapi... terlalu rapi," gumam Ayu.Tirta melirik sekeliling. "Kau yakin ini bukan karena kota ini memang disiplin? Mungkin rajanya perfeksionis.""Bukan. Lebih seperti... ada sesuatu yang disembunyikan."

  • Gelang Langit   Bab 25

    Langit sore menjingga pucat saat tiga sosok berjalan melintasi jalur sempit di antara bukit-bukit kecil yang mulai gersang. Udara berubah; tidak lagi segar seperti di pinggir hutan Aranira, melainkan lebih kering, berdebu, dan membawa bau tanah terbakar. Daerah ini adalah perbatasan menuju wilayah utara — arah Kota Maruta.Tirta mengibas debu dari wajahnya. "Kita udah jalan berapa hari, sih? Rasanya punggungku udah menua sepuluh tahun."Ayu, yang berjalan di depan, tak menjawab. Ia menatap horison di kejauhan, tempat bayang-bayang tembok kota mulai terlihat samar.Rakasura berjalan pelan di belakang mereka, satu tangannya menyentuh bagian dada tempat fragmen-fragmen disimpan. Ada denyut samar di sana. Energi yang semakin kuat, semakin resah, seolah tahu mereka mendekati sesuatu.

  • Gelang Langit   Bab 24

    Langkah kaki Rakasura bergema saat ia menaiki lempeng logam besar yang tergeletak di tengah ruang bawah tanah. Setiap pijakan terasa berat, bukan karena logam itu menolak, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Seolah-olah fragmen yang tersembunyi di bawah permukaan lempeng itu... mengenalinya.Bayangan melingkar yang berdiri di belakang Rasim menyusut pelan, bentuknya bergelombang, seperti asap pekat yang ditarik mundur oleh kekuatan yang lebih dalam. Tapi mata makhluk itu tetap menyala samar, menyisakan tatapan yang tidak pernah benar-benar pergi.“Rasim,” panggil Rakasura pelan, “Kau bisa dengar aku?”Pemuda itu berdiri kaku di atas lingkaran. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong. Mulutnya sedikit terbuka, napas teratur, namun... ia tidak hadir. Seperti tubuh yang ditingga

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status