Share

Gelora Panas: Di Atas Ranjang.
Gelora Panas: Di Atas Ranjang.
Penulis: ningsihaulya21

Chapter<01.

Penulis: ningsihaulya21
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 14:19:12

“Ini hari pertamaku, aku harus bersiap. Aku tidak boleh menyerah demi anak semata wayangku, aku harus bisa membiayai pengobatannya!”

Baru saja kakinya hendak melangkah menuju lift, suasana langsung hening ketika seorang pria berwajah tegas memasuki lobi.

Postur tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan sorot matanya dingin namun memikat. Semua karyawan menunduk memberi salam.

Itu adalah Jonathan, CEO muda yang terkenal karismatik sekaligus ditakuti oleh para kalangan pengusaha yang bahkan sudah lama berkecimpung di dunia bisnis.

Jonathan bersama asistennya langsung memasuki lift sambil membawa aura dominannya, sementara Gea masih tercengang karena kharisma pria muda itu.

“Permisi,” sapa seseorang membuat Gea kaget.

“Gea, kan?” wanita itu tersenyum “Mari ikut saya.”

Gea, wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul wanita yang menyapanya tadi naik ke lantai atas menggunakan akses lift karyawan.

Setibanya mereka di lantai tiga puluh lima, Gea langsung diarahkan ke meja kerjanya yang terletak di dalam ruangan CEO–yakni Jonathan.

“Kamu duduk saja di situ, nanti bos kami masuk setelah pukul delapan pas.” lanjutnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Gea seorang diri.

Gea menelan ludahnya susah payah dan menatap kepergian wanita itu dengan ragu.

Ia memandangi meja kerjanya yang berdampingan dengan sang CEO, sebelum membawa tubuhnya duduk disana sambil menunggu atasannya itu datang.

Tak lama kemudian, pintu terbuka membuat Gea panik dan cepat-cepat berdiri. “Selamat pagi, Pak …!” mulutnya terbuka lebar, tercengang.

Sosok yang disebut sebagai atasannya itu, adalah pria yang dia temui di lobi tadi. Pria yang dia kira anak CEO dari perusahaan ini ternyata atasannya sendiri.

Jonathan hanya meliriknya sekilas sebelum mendudukan dirinya di kursi kerjanya. Pria itu dengan santai menaikkan kedua kakinya ke atas meja, lalu memejamkan mata sambil melipat tangan di dada.

Gea menatapnya bingung, namun dia tidak mengatakan apa-apa.

Hari pertamanya terasa aneh.

Sejak pagi, ia duduk di meja sekretaris tanpa diberi satu pun pekerjaan.

Jonathan sama sekali tidak menyapa atau memerintahkannya, bahkan saat istirahat makan siang–pria itu tampak dingin dan kaku.

Hingga jam kerja hampir selesai, Gea memberanikan diri membereskan meja, bersiap untuk pulang.

“Pak Jo, saya pamit pulang …!”

Namun suara dingin memotong langkahnya.

“Siapa yang menyuruhmu pulang?”

Gea menoleh kaget. “Bu-bukannya sudah jam pulang, Pak?”

Tatapan Jonathan menusuk tajam. “Tidak ada yang boleh pulang sebelum saya suruh.”

Suaranya sinis, penuh wibawa.

Gea menelan ludah. “Ba-baik, Pak.”

Jonathan meliriknya sekilas, ekspresinya datar. “Sekretaris baru?”

“I-iya, Pak. Nama saya Gealarnya Enjelyn.” Ia menunduk sopan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Tapi Bapak bisa panggil saya Gea saja.”

Jonathan tidak membalas perkenalanan Gea, pria itu malah terfokus ke layar laptopnya sejak tadi tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.

“Aku yang sejak tadi di sini, apa dianggap patung? Mentang-mentang Bos, main seenaknya saja mendiamkan orang begitu., Sopankah begitu walaupun dia yang punya perusahaan?” Gea terus menggerutu dalam hati, merasa kesal dan sakit hati tentu nya.

Bagaimana tidak?

Gea sudah didiamkan selama delapan jam.

Apalagi dirinya tipe orang paling tidak suka didiamkan.

“Kalo bukan karena biaya pengobatan Nina, aku sudah pergi sejak tadi, daripada didiamkan seperti ini.” gerutunya. “Bos macam apa yang memperlakukan sekretarisnya sedingin ini?”

Merasa muak dengan diamnya sang bos, Gea akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Maaf, Pak. Dari tadi saya tidak diberi pekerjaan. Apa yang harus saya lakukan?” Jantungnya berdetak kencang, takut salah bicara. Dia takut kalau ucapan itu malah membuatnya dihukum atau bahkan dipecat.

Jonathan menyandarkan punggung ke kursi, sudut bibirnya terangkat miring. Senyum itu sinis, tapi anehnya justru menambah pesona.

“Kerjaan, ya?”

“I-iya, Pak.”

Jonathan berpikir sejenak, lalu berkata dingin.

“Pesankan saya wanita malam, dan hotel bintang lima. Soal bayaran, kamu ambil uangnya pada asisten saya. Terserah berapa yang diminta wanita malam yang kamu dapatkan, bayar saja.” Jonathan memandang Gea, dari atas ke bawah.

“Aku mau yang bisa tahan lama di ranjang, dan pandai memuaskanku dengan berbagai gaya,” lanjut Jonathan sinis.

Gea tercekat. “Wa-wanita malam … Pak?”

Tatapan Jonathan tak berubah. “Apa sekretarisku tidak mengerti bahasa sederhana?”

Dengan perasaan kacau, Gea hanya bisa mengangguk. “Baik, Pak.”

Tangannya gemetar saat menekan layar ponsel, otaknya berpacu. “Bagaimana caranya? Ke mana aku harus mencari wanita malam?”

“Oh iya, kalau kau bingung, tanya saja ke wanita yang mengantarmu tadi. Bayarannya, atur sendiri dengan dia.” Jonathan kembali menatap laptop. “Sebelum jam 8, kau bisa?”

“Bi-bisa, Pak!” Gea terpaksa melakukan ini, meski tidak pernah ia bayangkan bekerja jadi sekretaris CEO ternyata sekotor ini. “Un-untuk biaya?”

Jonathan menatap Gea kembali, kali ini sorotannya sangat tajam. “Aku bilang sekali lagi, dengar baik-baik! Sebelum jam 7, kau harus dapat wanita malam. Bayarannya, terserah permintaan wanita itu, kau yang atur dengan wanita dari tim PR tadi. Ingat juga ciri-ciri wanita yang aku mau. Sampai kau gagal atau wanitanya tidak sesuai kemauanku, kau dipecat!”

Gleg!

Dipecat di hari pertama bekerja?

Ucapan itu menampilkan kilas balik kondisi putrinya yang sedang dirawat di sebuah klinik.

Kemarin, sesuatu terjadi pada sang anak.

Saat selesai interview, dia sudah membawa jajan ciki kesukaan Nina, anak semata wayangnya.

Pintu kamar dibuka, Gea langsung menghamburkan ciki itu di lantai. Dia melihat Nina duduk lemas di sisi ranjang dengan wajah pucat. 

Gea panik.

Hari sudah malam.

Dompetnya kosong, uang belanja kemarin sudah habis.

Bagaimana caranya dia membawa sang anak untuk periksa ke dokter? Ia buru-buru meraih ponselnya di dalam saku celana, mencoba menghubungi Aris, suaminya yang tidak pulang dua hari ini.

Nomor Aris tidak aktif.

Sekuat mungkin, Gea menahan tangis, dia harus menemukan solusi terlebih dahulu sebelum air matanya menetes!

Dengan mata sembab, ia menggendong Nina sebisanya, lalu berlari ke rumah tetangga terdekat. Ia mengetuk pintu keras-keras sambil menangis.

Setelah susah payah mengetuk pintu, akhirnya dia dibukakan. 

Tetangga yang keluar adalah Bu Rani, wanita paruh baya yang merupakan ibu RT di daerah tempatnya tinggal, menatap Gea dari ujung kepala sampai kaki. 

Gea terisak, memeluk Nina yang semakin lemas dan terisak di pelukannya.

 “Bu, saya janji … saya bukan mau nipu. Nina sakit, muntah terus dari tadi. Saya takut ada apa-apa. Tolong … saya janji, saya akan balikin besok.”

Bu Rani menyilangkan tangan di dada, tatapannya sinis dan angkuh.

“Besok? Besok kamu dapat duit dari mana? Suami kamu aja kerjaannya nggak jelas, mabuk tiap malam. Mau ganti pakai apa kamu? Daun?!” celetuknya tajam.

Gea terus memohon dengan satu tangan di depan wajah, sementara tangan yang lain menahan Nina di gendongannya. Rani sempat terdiam, menatap wajah pucat Nina, lalu kembali menatap Gea.

Sebagai sesama ibu, dia tahu, Nina benar-benar sakit dan Gea butuh bantuannya, terlebih Gea menunjukkan berkas kontrak kerja kalau Gea adalah sekretaris baru yang sudah dia tandatangani.

“Gea!”

“Tuli ya, kamu!?”

Bentakan Jonathan kembali membuat Gea sadar kalau dia tidak bisa larut dalam kesedihan itu. Ada tugas yang harus dilakukannya.

Setelah mengangguk paham, Gea turun ke lantai satu, tapi langkahnya terhenti ketika Jonathan kembali memanggilnya.

“Dari interview kemarin, aku tahu kamu butuh uang.” Jonathan menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Gea. “Kamu dapat bonus kalau perempuan itu benar-benar sesuai tipeku.”

“Hotel Viceroy, kamar 1205. Ingat baik-baik!”

Sudah?

Hanya itu yang disampaikan?

Gea kemudian berpaling dan turun kembali ke lantai satu. Dia bertemu wanita yang tadi mengarahkannya naik. Wanita itu sepertinya mantan sekretaris Jonathan.

Dengan ragu-ragu, Gea menatap dan bertanya perihal bagaimana dia mendapat wanita malam untuk Jonathan. Saat ingin menyapa, tiba-tiba ponselnya berdering.

“Halo, dengan Ibu Gea?” suara perempuan di ujung telepon terdengar ramah. “Anak ibu mengalami mual serius dan harus segera ditangani. Kondisinya semakin memburuk dan wajahnya semakin pucat!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rysea
semangat... hidup emang ga seindah yang dibayangkan Gea btw ceritanya seru dan bikin penasaran wkwk
goodnovel comment avatar
aulyan915
tapi suka2
goodnovel comment avatar
aulyan915
wow kejam sekali...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>73.

    Sebuah balok besar dari kayu usang, yang semula tergeletak tak berguna di sudut ruangan, kini diangkat dengan kasar oleh salah satu pria bertubuh kekar. Dengan suara geraman yang lebih menyerupai raungan binatang, balok itu diayunkan dan menghantam tubuh Gea yang ringkih, yang sedari tadi sudah terkapar tak berdaya di atas lantai beton yang dingin. Hantaman itu menciptakan bunyi gedebuk yang tumpul dan memuakkan, seolah mematahkan sesuatu yang vital di dalam dirinya.Seketika, rintihan Gea terhenti. Kepalanya terkulai ke samping, rambutnya yang lepek dan acak-acakan menutupi sebagian wajahnya yang kini membiru. Darah segar mulai merembes dari sudut bibirnya, membaur dengan keringat dan air mata yang telah mengering. Matanya yang sebelumnya dipenuhi ketakutan dan perlawanan, kini tertutup rapat. Keheningan yang tiba-tiba menyelimuti gudang itu terasa jauh lebih mencekam daripada jeritan yang barusan ada. Gea telah jatuh ke dalam jurang ketidaksadaran, sebuah jeda yang kejam dari siksaa

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>72.

    Selly, dalam balutan peran sebagai Gea, merasakan detak jantungnya berpacu brutal. Permintaan Jonathan yang tajam dan tak terduga pagi ini menusuk tepat ke inti kegelisahannya. Pria itu, dengan mata yang menggelap oleh hasrat, menatapnya penuh tuntutan, membuat dinding pertahanan Selly runtuh seketika."Iya, saya lagi mau," ulang Jonathan, suaranya yang berat dan sedikit serak pagi hari terdengar seperti ancaman sekaligus janji. Keinginan itu memancar kuat dari sorot matanya yang biasanya dingin dan dominan.Di balik wajah Gea yang harus ia tampilkan, Selly bergolak. Amarah dan rasa tidak terima membakar sanubarinya. "Apakah Jonathan setiap hari seperti ini dengan Gea? Brengsek! Bahkan jika denganku dia sangat menolak, tapi kali ini justru dia yang selalu mengajak Gea untuk ke hal yang intim," gerutu Selly dalam hati, sebuah perbandingan menyakitkan yang mengoyak harga dirinya.Kontras perlakuan ini bagaikan pukulan telak yang menguak jurang antara dia yang sebenarnya dan sosok yang d

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>71.

    Pagi itu, mobil mewah Jonathan membelah jalanan kota yang masih diselimuti embun tipis dan kesibukan yang baru menggeliat. Di kursi penumpang, Selly—yang kini terperangkap dalam peran sebagai Gea—duduk dengan punggung tegak, berusaha keras menjaga raut wajahnya tetap tenang. Namun, di balik topeng ketenangan itu, badai kecemburuan dan kebingungan berkecamuk hebat.Jonathan, dengan kemeja kantor yang tampak rapi sempurna dan tatapan fokus pada jalanan, memancarkan aura maskulin yang dingin, namun sesekali, kehangatan itu menyelinap."Sudah makan?"Pertanyaan itu meluncur santai dari bibirnya, sebuah perhatian sederhana yang justru terasa seperti sengatan listrik bagi Selly. Jari-jari Selly tanpa sadar meremas ujung tas tangan Gea yang ia pinjam. Telinganya terasa panas."Jonathan kenapa bisa seperhatian ini? Brengsek mereka sepertinya sudah jatuh cinta." Selly menggerutu di dalam hati, kata-kata itu memukulnya dengan kejengkelan yang mendalam. Kebenciannya terhadap Gea bercampur dengan

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>70.

    Udara malam yang dingin terasa menusuk tulang, membawa serta aroma debu dan karat yang pekat. Gea, dengan nafas yang mulai dangkal, terkapar tak sadarkan diri di lantai semen kasar yang dingin. Bibirnya sedikit terbuka, dan sehelai rambut coklatnya jatuh menutupi wajahnya yang kini tampak pucat. Kesadaran direnggut paksa darinya beberapa menit lalu, ketika sebuah kain yang dibasahi zat bius berbau tajam dan memabukkan mendarat cepat membungkam mulutnya.Anak buah Selly, seorang pria bertubuh besar dengan jaket kulit hitam, melirik gelisah ke sekeliling gang sempit yang remang-remang. "Cepat-cepat bawa ke nona Selly, sebelum dia sadar," bisiknya dengan suara serak, tatapannya menyapu bayangan di setiap sudut."Pastikan ini aman dan tidak ada jejak. Angkat dia, jangan seret!" Perintah itu disusul oleh gerakan cepat teman-temannya yang lain. Mereka mengangkat tubuh Gea yang lunglai, memperlakukannya lebih seperti karung berisi beban daripada seorang manusia. Kecepatan adalah kunci, dan d

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>69.

    Bawa anak buah lima saja, karena ini hanya penangkapan jalang kecil. Semuanya akan dimulai malam ini..”“Semuanya sudah terlaksana dan sudah disiapkan ketua.” jawab salah satu anak buah si perempuan asing.“Malam ini tepatnya gadis itu pulang kerumah, langsung kalian bawa ke hadapan gue, semua rencana harus sesuai apa yang gue mau!”“Lima tahun silam akan terulang, karena Jonathan masih berani menantang— hahahahaha..”Di sebuah penthouse mewah dengan pemandangan kota yang berkilauan, sekelompok orang berkumpul mengelilingi meja kaca. Di tengah mereka, duduk seorang wanita asing dengan mata tajam dan bibir yang menyunggingkan senyum penuh rencana busuk. Hal ini ada kaitannya dengan masa lalu Jonathan yang pernah meninggalkan Jonathan. Tetapi sekarang dia menyesal dan merasa gagal move on kepada Jonathan. dan Gea adalah sasaran kebencian barunya. Selly tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya; matanya justru memancarkan kilau kebencian yang tajam dan perhitungan

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>68.

    Entah mata Jonathan salah atau benar. Namun, Jonathan melihat sosok Gea yang ada di dalam klub yang sama dengannya.Jantungnya berdebar tidak karuan, bukan karena gairah tempat itu, melainkan karena keterkejutan yang membingungkan. Itu adalah Gea, wanita lugu, sekretaris pribadinya yang selalu mengenakan kemeja rapi dan rok pensil yang memang cukup seksi, dan selalu bergerak dengan kesopanan yang hampir kuno. Tetapi, wanita yang kini ia lihat sangat berbeda.Jonathan melihat wanita yang seperti Gea mengenakan sebuah gaun yang sangat seksi dan warnanya sangat menyala—merah darah. Gaun itu memeluk setiap lekuk tubuhnya, memamerkan punggungnya yang mulus dan belahan dada yang sering ia lihat. Rambutnya, yang biasanya terikat rapi, kini tergerai bebas, berayun mengikuti irama musik."Tuan. Tuan mau kemana?" tanya Rasya, dengan sedikit bingung saat melihat Jonathan main pergi begitu saja.Tetapi Jonathan tidak menjawab. Logikanya memerintahkan untuk mengabaikannya, mengatakan bahwa itu ha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status