Share

Girl for Rent
Girl for Rent
Penulis: Baldah Hidayatillah

01. Dipecat

"Aku mau kita putus!"

Helaan napas panjang keluar dari mulut seorang lelaki tatkala dirinya mendengar dan melihat langsung kalimat itu diucapkan dengan penuh persiapan oleh seorang gadis yang kini tengah duduk di hadapannya. Namun anehnya, lelaki itu tidak terkejut. Mungkin karena sejak awal mereka datang ke kafe ini, sampai duduk di kursi yang agak jauh dari tempat pengunjung lain, ia sudah bisa menebak dari raut wajah si gadis yang tampak muram sejak tadi. Ditambah lagi, belakangan ini mereka memang beberapa kali sempat bertengkar. Hal itu pula yang mungkin memperkuat keyakinan bahwa hari ini mereka akan berpisah.

"Fen... Aku minta putus, lho! Kamu kok diem aja?"

Lelaki itu, Fendy, sekali lagi menghela napas panjang. Kembali diam sejenak sambil berusaha menenangkan diri.

"Fen.... Fendy? Kamu denger kan' barusan aku ngomong apa?"

Fendy mengangguk, "Iya, denger kok, Em! Tapi kenapa tiba-tiba minta putus?"

"Ini gak tiba-tiba, Fen! Aku udah lama banget pengin udahan sama kamu. Cuma belum nemu waktu yang tepat aja. Dan aku rasa ini waktu yang tepat untuk ngomongin hal ini sama kamu."

"Ngomongin apa? Soal putus? Kamu yakin mau putus gitu aja? Kita udah hampir setahun lho bareng-bareng." Fendy tetap berusaha tenang meski di lubuk hatinya meronta-meronta ingin menahan untuk menunda perpisahan ini. Bukan karena dirinya masih berperasaan dan memiliki harapan pada hubungan ini. Namun, karena ada sesuatu hal yang harus ia selesaikan sebelum mereka benar-benar putus.

"Em... Aku tahu belakangan ini kita emang lagi sering berantem. Tapi bukan berarti kita gak bisa baikan 'kan? Sebentar lagi kita first anniversary, lho! Putusnya gak bisa ditunda sampe minggu depan biar genap sekalian?"

Emi menggeleng, wajahnya yang tampak muram di bawah sinar lampu temaram serta sorot mata yang gelap memperlihatkan kemuakkan yang telah tertahan selama berbulan-bulan. "Justru itu Fendy! Kita udah hampir setahun pacaran, dan sebentar lagi bakalan anniversary. Tapi selama itu pula aku gak pernah ngerasa kalo kamu beneran sayang sama aku. Kamu selalu sibuk mikirin diri sendiri tanpa mikirin perasaan aku, bahkan sampai saat ini pun meski kamu gak bilang, aku tahu kok kalau kamu masih belum bisa move on dari mantan kamu!"

Pernyataan Emi bukanlah sebuah kejutan bagi Fendy. Selama hampir setahun mereka berpacaran, ia memang belum bisa membalas perasaan Emi dengan tulus hati hanya karena perasaannya masih tersangkut di masa lalu, dan tampaknya Emi pun bisa merasakan hal itu. Pada awalnya ia pikir semuanya akan menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Selama menjalin hubungan dengan Emi, Fendy berusaha keras untuk melupakan masa lalunya. Meskipun sampai detik ini hasilnya tetap nihil, tapi berpikir untuk memutuskan hubungannya dengan Emi sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.

Emi mengembuskan napas panjang, berusaha untuk meredam suaranya yang semula agak meninggi. Kedua matanya lalu menatap lelaki itu dengan tenang, teduh dan menyendu. "Fen... Aku... Sayang sama kamu! Kamu baik, perhatian, apa adanya dan gak macem-macem. Tapi itu aja gak cukup buat dijadikan alasan untuk mempertahankan hubungan yang berat sebelah kayak gini."

"Em...."

Emi mendesah pelan, agak sulit baginya untuk mengungkapkan semuanya secara blak-blakkan. Tapi mau bagaimanapun semuanya harus segera diselesaikan. Dan ia, tidak mau menyudahi ini semua dengan emosi.

"Mungkin seharusnya dari awal aku gak perlu berambisi untuk bisa dapetin hati kamu seutuhnya. Seharusnya aku gak perlu ngeberaniin diri untuk deketin kamu duluan, berharap kamu bisa lupain masa lalu kamu, tapi ujung-ujungnya yang aku dapetin malah sesuatu yang nyakitin." Emi berujar dengan tenang, kedua tangannya yang semula hendak diraih oleh Fendy ia tarik menjauh agar tidak lagi jatuh. "Fen... Aku tahu, sejak awal kita jadian kamu cuma mau jadiin aku pelampiasan. Pelarian dari Laura, mantan kamu yang susah banget buat dilupain. Pelarian dari pertanyaan keluarga kamu yang selalu nuntut kamu untuk cepet-cepet punya pasangan. Aku gak masalah sama itu, Fen. Tapi kalau setelah berbulan-bulan masih belum ada yang berubah di antara kita sama aja bohong dong! Aku tulus sama kamu, tapi kamunya belum bisa sepenuh hati buat aku. Itu gak adil, Fen! Dan aku rasa, aku gak berhak untuk terus-terusan tahan ada di posisi kayak gini. Status kita pacaran tapi rasanya kosong banget! Aku capek! Kamu ngerti kan?!"

Fendy tertegun sejenak, matanya yang semula menatap Emi dengan dalam kini beralih tunduk bagai hilang kepercayaan. "Em... Aku minta maaf kalau selama ini belum bisa sepenuhnya sayang sama kamu. Aku juga minta maaf, kalau selama ini gak bisa jadi seseorang yang kamu harapkan. Tapi jujur, meskipun hubungan kita rasanya hampa, aku gak pernah mikir untuk putus sama kamu. Justru aku berharap kalau setelah ini kita bisa lebih serius."

"Lebih serius?" Emi membulatkan mata tatkala mendengar dua kata itu. Tapi sedetik kemudian, gadis itu tertawa hambar. "Gak usah kebanyakan kata-kata deh! Jawaban kamu tuh gak nyambung sama sekali di otak aku! Makin jelas keliatan kalo kamu emang gak pernah ada perasaan spesial buat aku!"

Fendy menyerah. Emi sudah benar-benar memojokkannya kali ini. Ia memang merasa hubungan mereka hampa. Ia juga tidak pernah sesayang itu kepada Emi selama ini. Tapi kalau urusan tidak pernah kepikiran untuk memutuskan hubungan, Fendy benar-benar tidak pernah kepikiran sama sekali. Sayangnya, ia terlalu bingung untuk membalas pernyataan demi pernyataan yang keluar dari mulut Emi sampai akhirnya pusing sendiri. Sekarang waktunya untuk berserah. Ia hanya ingin menahan sekali lagi, mencoba sekali lagi sampai dirinya juga benar-benar ingin putus. Tapi kalau misalkan gadis itu menolak. Ya, sudah! Itu artinya, Fendy akan kena masalah baru lusa nanti.

"Udahlah, Fen! Gak usah sok nahan-nahan gitu biar keliatan ada usahanya. Aku tahu kamu masih berharap hubungan kita bisa bikin kamu lupa sama mantan kamu. Tapi kayaknya, aku bukan orang yang tepat untuk bisa menyelesaikan tugas itu. Jadi... Kita udahan, ya!"

Fendy mengembuskan napas panjang, matanya kembali menatap Emi penuh harap. "Em... Oke... Apa yang kamu bilang barusan itu semuanya bener! Tapi yang bagian aku bilang gak pernah kepikiran buat putus juga bener, Em! Kalaupun emang kamu pengin kita putus, putusnya bisa diundur dulu gak sih? Kasih aku waku, minimalnya sampai minggu depan gitu? Supaya aku bisa..."

"Bisa apa? Bisa ngenalin aku ke keluarga kamu cuma buat alesan biar gak dijodohin?! Aduhh... Sori, ya, Fen! Aku udah muak banget sama semua drama ini. Aku yang pura-pura kuat dan berusaha sabar untuk ngadepin kamu yang gak bener-bener sayang sama aku. Kamu yang masih belum bisa move on dari Laura tapi maksa untuk terus-terusan lanjut sama aku. Capek tauk! Kenapa gak udahan aja sih?! Aku udah sempet seneng lho waktu kamu bilang, kamu mau ngenalin aku ke keluarga kamu lusa nanti. Tapi setelah tahu alasannya cuma biar kamu gak dijodohin, aku jadi makin yakin kalau keputusan aku untuk mutusin kamu adalah keputusan yang tepat!"

Kali ini, Fendy benar-benar sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Emi sudah puas mengungkapkan semua keresahannya selama ini. Dan Fendy pun sudah menyadari, bahwa keegoisannya sudah tidak bisa lagi dipertaruhkan.

"Tapi, Em..."

Emi menggeleng. Tatapannya menyiratkan sebuah penolakan dengan begitu dalam. Sementara itu, kedua tangannya yang semula diam di atas meja kini bergerak meraih tasnya, lalu perlahan bangkit berdiri dan berkata, "Udah, ya, Fen! Kita selesai sampai di sini. Aku mau pulang!" Katanya, sambil lalu memutar arah tubuh dan berjalan ke arah pintu keluar.

"Em... Emilia!"

Fendy hendak mengejar, tubuhnya bangkit dari kursi bertepatan dengan seorang pelayan perempuan yang datang menghampiri mejanya sambil membawa nampan berisi 2 gelas jus alpukat.

Brukk!!

Tubuh Fendy tak sengaja menabrak nampan yang dibawa pelayan itu, sampai-sampai gelas berisi jus alpukat yang ada di atas nampan lantas tumpah mengenai kemeja Fendy sebelum akhirnya jatuh ke bawah dan terpecah belah.

"Ya, ampun... Maaf, ya, Mas!"

Pelayan itu langsung panik, secara refleks tubuhnya berjongkok dan langsung memungut pecahan gelas yang berceceran di lantai. Sebaliknya, bukannya merasa bersalah Fendy justru malah mendengus dan marah-marah.

"Aduuh... Gimana sih, Mbak! Hati-hati dong bawa gelasnya! Kemeja saya jadi kotor nih ketumpahan jus!"

"Iya, Mas! Maaf, ya, saya gak sengaja! Saya bantu bersihin, ya!" Pelayan itu bersitegang sambil berusaha berdiri, sekilas sempat menengadahkan wajah dan menatap Fendy namun setelahnya kembali menunduk ke bawah.

"Gak usah! Saya bisa bersihin sendiri!" Fendy menukas dengan wajah kesal, sembari mengelap tumpahan jus di kemejanya menggunakan sapu tangan dari saku celananya.

"Jus alpukatnya biar saya ganti yang baru, ya!" Dengan penuh rasa bersalah dan tak enak hati, Pelayan itu kembali menawarkan ganti rugi jus alpukat yang tumpah karena kecerobohannya. Namun, Fendy tetap menolak dengan perkataan ketus.

"Gak perlu! Saya lagi gak selera! Lagipula kalau diganti nanti bayarnya jadi dua kali lipat lagi!"

"Enggak kok, Mas! Itu kan..."

"Toilet di mana?"

"Di sebelah sana, Mas!"

Tanpa basa-basi lagi, Fendy langsung bergegas mengayunkan langkah ke arah yang ditunjuk pelayan itu untuk pergi ke toilet. Sementara itu, Pelayan perempuan yang baru saja dimarahi tersebut lantas hanya bisa menghela napas panjang. Berusaha untuk tetap sabar meski di dalam hati merasa begitu sebal karena kejadian barusan tidak sepenuhnya terjadi atas kecerobohannya.

Pelayan itu mendengus, lalu dengan wajah muram kedua kakinya kembali berlutut dan memungut pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai. Setelah itu, ia pun bangkit berdiri dan membawa pecahan kaca itu ke arah dapur. Namun saat sampai di dekat pintu dapur, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri di samping kusen pintu dan menyambutnya dengan kalimat yang membuatnya kembali bersitegang.

"Alsha.... Kamu abis mecahin gelas lagi, ya?!"

Alsha tergemap, wajahnya dengan kaku bergerak ke arah samping lalu tersenyum masam. "Maaf, Pak! Tadi pas saya mau taruh jusnya di meja pelanggan, tiba-tiba pelanggannya berdiri, terus gak sengajak tubrukan deh!"

Pak Hendra, manajer sekaligus pemilik kafe yang notabene adalah bosnya Alsha tentu saja tidak percaya. "Gak usah alesan deh! Kalau ceroboh, ya, ceroboh aja!" Tukasnya.

"Tapi itu gak sepenuhnya salah saya, Pak! Pelanggannya aja yang tadi grasak-grusuk."

Pak Hendra tidak mau mengerti, "Udah gak usah ngelak! Pake nyalah-nyalahin pelanggan segala lagi. Kalau salah, ya, salah aja! Lagipula pembelaan kamu juga gak bisa bikin itu gelas pecah balik utuh lagi!" Ujarnya dengan tatapan sinis, hingga membuat Alsha hanya bisa diam.

"Alsha... Ini bukan pertama kalinya lho kamu gak sengaja mecahin gelas. Beberapa hari lalu, piring hampir selusin pecah gara-gara kamu ceroboh. Saya udah gak mungkin lagi kalau harus terus-terusan motong gaji kamu tiap ada alat-alat makan yang rusak." Pak Hendra menghela napas panjang, matanya menatap Alsha sedikit empati namun tak bisa terlalu mengasihani. "Pokoknya, setelah ini, kalau kamu ceroboh lagi, saya udah gak bisa kasih dispensasi lagi, ya, Sha!"

"Tapi, Pak..." Alsha menatap Pak Hendra penuh harap. Namun pria itu seketika langsung menggeleng samar sambil memperlihatkan tatapan penolakan.

"Gak ada tapi! Udah, ya! Kalau begitu bersihin tuh jus yang tumpah tadi. Dan inget! Hati-hati bersihinnya!"

Setelah mengatakan itu, Pak Hendra langsung pergi meninggalkan area dapur dan menghilang dari pandangan Alsha. Selama beberapa detik gadis itu diam di tempat, sejenak memikirkan kecerobohan yang tak sengaja ia lakukan belakangan ini. Entah mengapa, akhir-akhir ini Alsha merasa begitu kacau. Mungkin karena tugas kuliah sedang begitu menumpuk, banyak tagihan dari kebutuhan bulanannya yang belum dibayar, sementara gajinya sendiri banyak dipotong karena kesalahan-kesalahan yang ia lakukan beberapa minggu terakhir. Maka dari itu, Alsha merasa begitu pusing.

Tapi ia tak bisa terlarut dalam kepusingan hidup yang begitu menekan seperti ini. Alsha pun kemudian lanjut berjalan ke arah dapur, meletakkan nampan yang ia bawa ke dalam wastafel, sambil lalu membuang serpihan beling yang sudah ia kumpulkan ke dalam tempat sampah.

"Gelasnya pecah lagi, Sha?"

Alsha hanya mengangguk samar sambil tersenyum tipis saat salah satu rekan kerjanya melihat ia membuang serpihan beling untuk yang kesekian kalinya. Alsha jadi malas bicara sejak ditegur oleh bosnya barusan. Maka dari itu, daripada suasana hatinya makin memburuk dengan menanggapi pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan para pelayan lain, Alsha pun lantas segera mengambil kain pel dan bergegas pergi untuk membersihkan tumpahan jus alpukat yang tadi.

***

Fendy berdiri di depan cermin wastafel toilet kafe, terpaksa bertelanjang dada karena kemejanya yang kotor harus ia lepas dulu untuk dibersihkan. Fendy membasahi lagi area kemejanya yang kotor, lalu memeratnya untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya dikibas-kibaskan.

Lelaki itu kemudian meletakkan kemejanya yang basah di meja wastafel, lalu menyalakan keran air dan mencuci tangannya yang masih terasa agak lengket dengan sabun. Namun, belum selesai mencuci tangan, tiba-tiba saja ponsel di dalam saku celananya berdering.

Fendy buru-buru membilas tangannya, lalu mengeringkannya dengan tisu. Tangan kanannya kemudian mengeluarkan ponsel, menatap nama kontak sang penelfon di layar dengan malas, lalu mengembuskan napas kasar saat jari tangannya menggeser tombol hijau.

"Halo, Fen?! Lo di mana sih? Gue dari tadi ditelfonin nyokap lo. Katanya lo jam segini belum balik. Dia dari tadi nelfonin lo katanya gak diangkat-angkat."

Fendy menghela napas panjang tatkala mendengar suara Bondan, teman karibnya sejak SD sekaligus rekan kerjanya di kantor. Suasana hati Fendy sedang tidak baik saat ini, pikirannya sedang tidak karuan, dan informasi yang disampaikan Bondan membuat Fendy merasa makin tertekan.

"Bon... Jangan bilang kalau sekarang nyokap gue lagi ada di rumah gue?!"

"Tadi sih, dia bilang katanya udah ada di sana dari tadi sore."

Fendy mendengus, wajahnya berkerut saat mendengar pernyataan dari Bondan. "Mampus!" Gumamnya kemudian.

"Lo kenapa, Fen?"

"Gue baru aja pengin menghindar dari nyokap seminggu, tapi dianya malah nyamperin gue." Ujar Fendy.

"Ngapain menghindar dari nyokap lo? Mau nyoba jadi anak durhaka?"

Fendy berdecak kesal, "Aduh, Bon... Panjang nih ceritanya. Besok aja, ya, gue kasih tahu. Gue mau pake baju dulu!"

"Hah?! Pake baju dulu?! Ya ampun, Fen! Lo abis ngapain?"

"Berisik lo, Bon!"

"Fen! Lo abis ngapain sampe gak pake baju?"

"Lo barusan abis.... Ya, ampun, Fen! Coba ceritain dong gimana rasanya?"

"Wahh... Pantesan aja lo gak mau ketemu nyokap lo seminggu. Takut, ya?"

"Fendy.... Fendy.... Gak nyangka gue!"

"Bacot lo, Bon!" Fendy memutuskan sambungan telfon, lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Risih rasanya kalau Bondan sudah berulah seperti tadi. Temannya yang satu itu memang sangat jahil, usil, dan senang sekali menggodanya. Tapi meski begitu, Bondan tetaplah kawan terbaik Fendy yang dapat dipercaya.

Fendy pun kemudian meraih kemejanya yang basah, lalu mengenakannya tak peduli meski badannya jadi terasa lembab. Toh, setelah ini ia akan langsung pulang ke rumah. Meskipun sebenarnya ia jadi agak malas pulang ke rumah karena ada Ibunya. Namun Fendy harus tetap pulang dan memilih untuk diceramahi saat sampai rumah nanti.

***

Suasana kafe agaknya sudah semakin sepi, meja-meja yang semula hampir semua terisi kini tinggal beberapa saja yang masih ditempati. Alsha membersihkan meja-meja yang sudah kosong dengan lap basah, ia juga menumpuk piring-piring kotor untuk dibawa ke dapur.

Di waktu yang sama, di kasir tempat pelanggan membayar pesanannya, Fendy berdiri, memberikan kertas tagihan ke sang kasir beserta beberapa lembar uang untuk membayar jus alpukat yang sebenarnya tak ia minum sama sekali.

Lelaki itu diam di tempat selama beberapa saat, menunggu kembalian uangnya yang sedang dihitung oleh sang kasir. Setelah beberapa menit, kasir itu pun akhirnya memberikan uang kembalian kepada Fendy, "Kembaliannya jadi 60 ribu, ya, Mas! Terimakasih!" Ucap sang kasir.

Fendy tersenyum, "Sama-sama". Balasnya kemudian.

Fendy memasukkan uang kembalian itu ke dalam dompet, seraya memasukkan dompet kulit tersebut ke dalam saku celananya. Fendy lalu memutar arah tubuhnya, sambil membenarkan lipatan lengan kemejanya ia pun lantas mengayunkan langkah. Namun, saat baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja ia bertabrakan dengan seseorang.

Praaannggg.....

Piring-piring yang sedang dibawa Alsha jatuh, dan lagi-lagi pecah berceceran. Gadis itu terkejut dan sontak langsung berjongkok, dan Fendy hanya bisa menahan emosi saat melihat bahwa orang yang bertabrakan dengannya lagi-lagi orang yang sama.

"Lo lagi... Lo lagi! Lo tuh hobi, ya, nabrak orang pake bonus mecahin kaca. Lo tuh sebenarnya niat gak sih kerja di sini? Ceroboh banget!"

Tangan Alsha yang semula tengah memunguti pecahan beling seketika terhenti, tubuhnya lalu bergerak naik, berdiri seraya menatap wajah Fendy dengan dingin. "Mas, saya dari tadi berusaha nahan untuk gak nyalahin Mas, ya! Tapi ini tuh bukan sepenuhnya salah saya tauk!" Seru Alsha.

Fendy mengernyit, "Maksudnya?!"

Alsha mendengus, "Gini, ya! Dari awal saya nganterin pesanan jus alpukatnya Mas, saya tuh udah jalan sehati-hati mungkin supaya gak jatuh. Tapi pas saya mau taruh gelasnya di meja Mas, Mas malah tiba-tiba berdiri. Terus tadi, saya udah hati-hati banget bawa piring banyak biar gak pecah lagi, tapi Mas malah seenak jidat jalan sambil benerin kemeja tanpa liat ke depan. Dan sekarang, bukannya minta maaf, Mas malah maki saya ceroboh. Padahal sendirinya juga ceroboh. Grasak-grusuk gak jelas!" Tukasnya dengan penuh kekesalan.

Fendy tersulut, pernyataan gadis itu membuatnya kesal dan makin emosi. "Lo tuh jadi pelayan gak sopan banget, ya, sama pelanggan! Udah jelas-jelas lo yang ceroboh, gak becus cuma bawa gituan doang, terus malah gue yang dimarahin! Kalo gue mau, gue bisa ngelaporin kelakuan lo ke pemilik kafe ini sekarang juga supaya lo dipecat!"

"Laporin aja! Gue juga udah muak ngelayanin pelanggan ngeselin kayak lo! Gue capek tiap hari ketemu pengunjung yang modelannya songong kayak lo!" Balas Alsha dengan penuh penekanan.

"Oke! Kalau gitu gue laporin sekarang!"

Tanpa basa-basi lagi, Fendy bergegas kembali menuju kasir, menanyakan kontak pemilik kafe dan langsung menghubungi orang yang dituju detik itu juga. Sementara itu, Alsha diam di tempat dengan hela napas memburu, dengan kedua mata yang nyaris berkaca dan mulai perih. Ia sedang merasa begitu lelah karena sudah berhari-hari menahan emosi yang bergejolak akibat hal-hal buruk yang belakangan ini seperti mengitarinya. Dan lelaki itu dalam sekejap telah berhasil membuatnya meledak di waktu yang tidak tepat.

Setelah ini, Alsha hanya bisa berharap keajaiban akan menyelamatkannya dari amukan bos. Meskipun kenyataannya mungkin akan sulit untuk direalisasikan. Tapi berdoa untuk kebaikan tak pernah ada salahnya.

***

Pak Hendra duduk di kursinya sambil menatap ke arah Alsha dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan. Datar. Kesal. Bingung. Tak tahu lagi harus bersikap seperti apa karena rasanya ia sudah cukup bosan marah-marah selama 2 minggu terakhir.

"Alsha...."

Alsha diam dengan kepala tertunduk, berdiri di hadapan meja kerja Pak Hendra sambil berusaha menahan untuk tidak mengeluarkan kalimat pembelaan. Meskipun sebenarnya ia sendiri sudah tahu, bahwa dipanggilnya ia ke ruangan ini sudah pasti karena telfon dari mas-mas pelanggan menyebalkan tadi.

".....saya rasa kamu pasti sudah tahu kan, kenapa saya panggil kamu ke sini?!"

Diam. Berarti iya.

Pak Hendra menghela napas panjang tatkala melihat raut wajah Alsha yang tampak muram dan merasa bersalah. Sambil berusaha tenang, ia pun lantas berkata, "Barusan, ada pelanggan yang komplain katanya pelayanan kamu buruk sekali. Pelanggan itu juga bilang kalau kamu kelewat ceroboh. Katanya, kamu udah numpahin jus alpukat ke kemejanya, nabrak dia sampe piring pada pecah, ngata-ngatain dia, ngomong gak sopan sama dia, marah-marahin dia, bahkan sampe bentak-bentak dia." Katanya, memberitahu.

Alsha terkejut. Matanya melotot tatkala mendengar ujaran Pak Hendra yang menurutnya agak berlebihan. Meskipun sebenarnya tanpa perlu diberitahu pun ia sudah bisa menebak bahwa pelanggan menyebalkan itu pasti akan mengadukan hal ini dengan sedikit bumbu tambahan. Namun sejujurnya ia tidak pernah mengira bahwa bumbu tambahan yang diberikan pelanggan menyebalkan itu terlalu mengada-ngada dan nyaris konyol.

"Siapa yang ngata-ngatain dia, Pak? Saya gak ngata-ngatain kok! Saya emang marah karena saya emosi. Tapi saya gak pake acara ngata-ngatain dia segala! Saya juga marah-marahnya masih pake bahasa yang sopan kok!"

"Mana ada marah-marah sopan, Sha! Yang namanya marah-marah itu udah pasti gak sopan lah! Apalagi kalo sampe bentak-bentak!" Pak Hendra yang semula tenang kini mulai tersulut. Suaranya mulai meninggi hingga membuat Alsha kembali terdiam dan memilih untuk menjadi pendengar yang baik saja. "Lagipula, mau bagaimana pun dia itu tetap pelanggan kita. Dan yang namanya pelanggan itu harus dilayani dengan baik. Kalau misalkan kita ngasih pelayanan yang buruk, yang nantinya dipandang jelek ujung-ujungnya nama kafe kita juga!"

"Tapi, Pak! Dia duluan yang mancing-"

"Mancing apa? Bukannya kamu duluan yang gak sengaja numpahin jus ke bajunya sampe bikin dia sebel?"

Alsha terdiam lagi. Nada bicara Pak Hendra yang meninggi seperti tak mengijinkan dirinya untuk membela diri. Alsha sadar betul bahwa dirinya memang tak sengaja menumpahkan jus alpukat ke kemeja pelanggan itu. Tapi insiden itu bisa terjadi karena pelanggan itu tidak hati-hati saat hendak berdiri dan cenderung tergesa-gesa.

Pak Hendra menghela napas panjang, "Udahlah, Sha... Kayaknya saya udah gak bisa lagi ngasih kamu kesempatan. Ini bukan hari pertama kamu bikin salah. Belakangan ini etos kerja kamu menurun, dan saya khawatir kalau misalkan itu dibiarkan terus-menerus nantinya malah jadi makin parah. Belum lagi soal peralatan dapur yang gak sengaja kamu rusak beberapa hari terakhir. Gak mungkin dong kalau gaji kamu saya potong terus-terusan cuma buat ganti rugi. Lagipula, gaji kamu juga gak seberapa buat gantiin barang-barang kafe yang udah kamu rusak. Saya ngerti kamu butuh banget kerjaan ini. Tapi kayaknya, pekerjaan ini kurang cocok buat kamu, Sha." Ujarnya kemudian.

Pada akhirnya, Alsha hanya bisa pasrah. Ia menyadari bahwa belakangan ini kondisinya memang sedang tidak baik-baik saja. Emosinya sedang tidak stabil, dan tentu saja hal-hal seperti itu pastinya akan berpengaruh pada kesehariannya. Ia juga mengakui, bahwa kesalahan yang ia lakukan selama beberapa hari terakhir terlalu fatal dan agak sulit untuk dimaafkan. Maka dari itu, jika hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di sini, Alsha sudah cukup siap untuk mendengarkan kalimat terakhir dari Pak Hendra.

"Sebelumnya, saya minta maaf kalau misalkan selama bekerja di sini, ada ucapan atau perbuatan saya yang bikin kamu gak nyaman. Tapi apapun yang saya lakukan, itu sudah pasti demi kebaikan kafe ini. Maka dari itu..." Pak Hendra membuka laci mejanya, lalu mengeluarkan sebuah amplop putih seraya meletakkannya di atas meja. "...tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya terpaksa harus memberhentikan kamu Alsha! Ini hari terakhir kamu bekerja di sini, jadi mulai besok kamu gak perlu lagi datang ke sini."

Alsha bergeming. Tubuhnya mendadak terasa lemas saat kalimat itu benar-benar keluar dari mulut Pak Hendra. Padahal, beberapa detik sebelumnya ia sudah bisa menebak sambil mempersiapkan diri. Tapi nyatanya, saat kalimat itu diucapkan rasanya tetap saja agak sedikit sakit.

"Sebelumnya saya minta maaf karena gak bisa ngasih kamu uang pesangon karena insiden pecah piring dan gelas yang kamu lakuin itu bikin saya rugi. Tapi...." Pak Hendra mendorong amplop putih itu mendekat ke arah Alsha, "Ini ada sedikit pemberian dari saya. Anggap aja sebagai ongkos pulang, karena jumlahnya juga gak seberapa. Mohon diterima, ya!"

Alsha menatap amplop putih itu tanpa ekspresi. Bingung harus kecewa karena sudah dipecat atau justru merasa senang karena meskipun dirinya sudah berbuat salah tapi Pak Hendra tetap menghargainya dan memberikan penghormatan. Namun setelah beberapa saat termenung dalam bingung, Alsha pun akhirnya mengangkat wajahnya yang semula menunduk, kedua matanya lalu menatap pria paruh baya itu sambil tersenyum tipis.

"Makasih banyak, ya, Pak! Udah ngasih saya kesempatan untuk kerja part time di sini. Saya senang punya bos yang baik kayak bapak. Saya minta maaf atas kesalahan saya selama ini. Saya harap, bapak gak nyesel pernah nerima saya kerja di sini."

Pernyataan Alsha membuat Pak Hendra menyunggingkan senyum samar. Pria itu mengangguk, memberi tanda bahwa ia tak pernah menyesal pernah menjadikan Alsha sebagai pegawainya. Namun tatapapannya seolah meminta Alsha untuk segera pergi sekarang juga.

"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Pak! Saya juga mau bilang terimakasih karena udah dikasih ongkos pulang. Kalau begitu saya pamit, ya!"

Pak Hendra mengangguk. Alsha terlebih dahulu mengambil amplop putih tersebut dari atas meja Pak Hendra sebelum akhirnya memutar arah tubuh dan berjalan keluar ruangan. Hela napasnya berembus dengan berat. Langkahnya terayun menuju ruang ganti karyawan dengan perasaan campur aduk. Alsha bingung. Setelah ini, ia harus cari kerja di mana lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status