Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya
Part 4.
Suami tetap tenang, tak seperti orang yang baru mendapat warisan milyaran. Dia tetap biasa saja, pagi hari pergi kerja ke pabrik kertas, tempat dia bekerja selama ini. Sore hari disempatkannya mengurus kebun sayur yang di belakang rumah.
Kakakku datang lagi, katanya dia mau menggelar acara sunatan untuk anaknya. Aku diajak untuk bantu-bantu.
"Kau nyumbang tenaga aja, gak usah nyumbang uang, biar gak berat kali kalian," kata kakak.
Dalam hati aku ingin membalas, akan tetapi suami selalu melarang aku untuk membalas. Padahal aku sudah tak tahan lagi. Lelah rasanya selama ini diremehkan.
"Ngomong-ngomong kapan kalian pindah?" tanya kakak lagi.
"Gak jadi pindah, Kak, mereka masih kasih keringanan." suamiku yang menjawab.
"Sebaiknya cepat cari rumah lain, nanti digusur bagaimana, kan kalian juga yang susah." kata kakak.
"Iya, Kak," jawab suami.
"Hei, Subur, bukan maksud merendahkan ya, lihat sekeliling kalian, rumah semua bagus-bagus, rumah kalian memang lebih besar, tapi lihat ini dindingnya, kurasa kalau kau kentut bisa terbang ini dinding," kata kakak seraya tertawa, jelas sekali nada menghinanya.
Aku makin geram, tapi suami terus saja melirikku, aku mengerti lirikannya, itu tanda aku tak boleh bicara.
"Iya, Kak, kami juga berusaha," jawab suami.
"Usaha yang lebih keras, lihat itu suamiku, kerja di kantor, bisnis online lagi, hasilnya kau bisa lihat sendiri, bisa kredit mobil, bisa kredit rumah." kakakku terus saja ngoceh.
Setelah kakak pergi ...
"Pah, jangan terlalu lembek gitu napa, Pah?" kataku kesal.
"Bukan lembek, Mah, hanya menyenangkan mereka," jawab suami.
"Lama-lama kita bisa diinjak-injak, Pah, lawan napa sesekali, padahal Papah sekarang pewaris tunggal tanah empat hektar, empat hektar lo, Pah, empat hektar. Coba hitung kali lima ratus ribu satu meter, sudah berapa itu." aku mengomel panjang lebar.
Suami malah senyum saja, sebel.
"Udah, Pah, kita setuju saja dapat rumah gratis, aku ingin rumah bertingkat," kataku lagi.
"Sabar napa, Mah, tunggu dulu, kita lihat dulu itikat baik mereka, seharusnya tanpa kita tuntut pun mereka akan datang," kata suami.
"Selalu begitu, Papah, jangan terlalu bxxoh, Pah, tak semua orang kayak Papah itu lurus akalnya," kataku sewot.
"Udah, Mah, diam!" suara suami meninggi.
Aku khilaf, suami selalu marah kalau ada kata kasar, bahkan kata bxxoh pun dia akan marah. kalau sudah begini aku pilih diam, aku tak ingin jadi istri durhaka.
Betul juga kata suami, mereka datang lagi, kali ini tawaran mereka makin tinggi.
"Kami bangun rumah ini, terus akan ada lima persen dari keuntungan perumahan ini untuk Bapak," kata Erwin.
"Lima persen?" tanya suami.
"Iya, Pak, lima persen itu banyak lo, Pak, sekarang saja sudah ada dua ratus lebih rumah yang terjual, keuntungan per unitnya sekitar lima puluh juta, lima puluh kali dua ratus sama dengan satu milyar. Lima persen dari satu milyar itu lima puluh juta." terang Erwin seraya memegang kalkulator.
Mendengar uang lima puluh juta saja aku sudah merasa terbang, seumur hidup, jangankan memiliki uang sebanyak itu, melihat saja aku tak pernah. Akan tetapi suami tetap tenang. Raut wajahnya biasa saja.
"Karena kalian berhitung, aku juga akan berhitung, harga pasaran tanah di sini lima ratus ribu satu meter persegi, kalau hanya lima puluh juta, itu hanya sekitar satu persen dari total tanah ini, ingat ya, tanah ini milik keluargaku," kata suami.
Mendengar perkataan suami aku merasa bangga, ternyata suamiku tak bodoh-bodoh amat.
"Rumit, Pak, ini sudah rumit, suratnya sudah tumpang tindih, akan banyak yang kena bila bapak tetap bersikeras, mulai dari lurah, camat sampai dinas pertanahan, bahkan pihak developer akan kena imbasnya." terang Erwin lagi.
"Maaf, saya belum bisa putuskan," kata suami.
"Jangan berlarut-larut, Pak, jangan sampai warga komplek tahu, bisa menimbulkan kepanikan." kata Erwin lagi.
"Tetap begitu, saya belum bisa putuskan," kata suami tegas.
"Apakah bapak sudah siap perkara ke pengadilan? Ingat, Pak, pihak pengembang tak akan mau rugi mereka berpengalaman dalam urusan tanah," Erwin mulai mengancam.
"Kalau memang harus ke pengadilan, ya, siap tidak siap ya harus siap, saya hubungi Pak Abdul," suami balik mengancam.
"Udah, kalau begitu, kami pikirkan dulu tawaran lain," kata Erwin akhirnya, lalu mereka pulang.
"Kenapa mereka takut kali sama Pak Abdul?" tanyaku pada suami setelah Erwin pergi.
"Pak Abdul itu mantan mafia, dia sudah bertaubat, dulu ayahku sering bawa aku ke rumah Pak Abdul, biar pun Mafia tapi setiap sabtu pagi dia selalu memberi bingkisan pada tukang beca,"
"Mafia?"
"Iya, masa kau tak kenal, dia terkenal di kota ini, dia tobat karena kehilangan istri dan anaknya dalam kecelakaan, sekarang menghabiskan waktu di Arab Saudi, hartanya banyak, sudah banyak yang dia hibahkan, mungkin tanah ini salah satunya."
"Wah, kalau sampai dia pulang, habiskan si Erwin," kataku kemudian.
"Iya, Mah, belikan dulu Papah rokok setengah bungkus," kata suami.
"Ulangnya?"
"Kan, semua gaji sudah kuserahkan ke Mamah,"
"Duileh, hartanya miliaran, tapi beli rokok ketengan, minta uang istri lagi," ledekku seraya pergi ke warung.
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 5.Ada pengajian bulanan ibu-ibu komplek, kali ini giliran rumah Bu Bondan. Sebenarnya aku malas datang, akan tetapi lagi-lagi suami menyuruhku. "Itu pengajian, Mah, gak perlu undangan," begitu alasan suami. "Malas, Pah, orang itu sukanya menghina," kataku dengan wajah cemberut. "Gak boleh gitu, Mah, silaturahmi harus dijalin dengan tetangga, gak usah dengarin omongan orang," bujuk suami lagi. Sudah jadi kebiasaan di lingkungan komplek, pengajian ibu-ibu berubah jadi ajang pamer makanan. Yang jadi tuan rumah akan menjamu tamu dengan makanan enak. Seakan-akan berlomba-lomba di rumah siapa yang makanannya paling enak. Jemaah pengajian pun berlomba-lomba memakai perhiasan mahal. Ajang pamer tas branded. Kadang aku berpikiran ini arisan atau pengajian? Akulah yang pertama datang, sebagai tetangga paling dekat, aku menawarkan diri untuk bantu- bantu. Akan tetapi jelas sekali terlihat wajah tak suka dari Bu Bondan. "Jaga dulu hidangan
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat. Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala. "Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur. "Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami. "Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi. "Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh. "Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya. "Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku. Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur. Besok
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSemenjak punya motor baru, Bu Bondan selalu mencibir bila aku lewat di depan rumahnya, mana pula tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi nasihat suami supaya jangan dipedulikan masih bisa kujalani. Apapun katanya, pura-pura saja enggak dengar. Pagi itu aku sedang menyiram bunga yang ada di halaman. Sekalian cuci motor baruku. Bu Irma tetangga depan rumah datang. "Selamat pagi, Bu Yanti," sapanya ramah. Dari sekian banyak warga komplek, hanya ibu ini satu-satunya yang ramah padaku. "Pagi juga, Bu," jawabku seraya menghentikan aktivitas. "Motor baru, Ya, Bu?" katanya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat. "Boleh minta sedikit srenya, Bu Yanti," "Boleh, boleh, ambil saja, Bu," Di sekitar pekarangan rumah memang ada beberapa tanaman yang sudah ada sejak dulu, mulai dari sre, kunyit, jeruk nipis ada di sini. Suami suka berkebun. Bu Irma lalu masuk dan mengambil sendiri sre itu. Bu Bondan datang. "Lagi ngapain, Bu Irma
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaMakmur anakku boncengan sama suami, sedangkan aku bawa scoopy baru. Kami jalan malam itu, ketika lewat di depan rumah Bu bondan, suami bunyikan klakson untuk menyapa Pak Bondan yang kebetulan duduk di teras rumahnya. "Malam, Pak," sapa suami sambil melambaikan tangan. "Gak pernah kutuan!" teriak Bu Bondan yang ternyata berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin dia lagi mengintip kami. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan suami dengan perkataan Bu Bondan. Sepanjang jalan melewati komplek semua mata seakan tertuju kepada kami, atau perasaanku saja yang begitu. Akan tetapi setiap orang seperti menatap lain pada kami. Aku pengen makan bakso, Makmur pengen ayam penyet sedangkan suami pengen nasi soto. Tak ada warung yang sekaligus menjual itu semua, jadilah kami kunjungi warung satu persatu. Pertama warung ayam penyet menuruti kemauan Makmur, baru warung bakso, terakhir soto Medan. Norak, ya. "Apa maksudnya gak pernah kutuan, Mah?" tany
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSuami tidur siang di dalam rumah. Ini untuk yang pertama kali suami tidur siang, selama ini dia anti dengan yang namanya tidur siang, kalau lagi libur dia berkebun di belakang rumah. Aneh memang, akan tetapi itulah suamiku.Akhir-akhir ini memang selalu ada untuk yang pertama kali, pertama kali beli perhiasan, pertama kali makan diluar. Bukan karena suami anti makan atau anti penyedap rasa. Bukan, akan tetapi begitulah, kami hidup dalam kesederhanaan. Kalaupun aku pengen bakso, paling suami beli yang sudah dibungkus, makannya di rumah.Aku masih duduk di bangku kayu depan rumah. HP jadul terus kupantengi, mana tahu Pak Abdul telepon balik. Ada motor besar berhenti depan rumah. Seorang pria turun dari motor tersebut. Aku kenal pria itu, dia Pak Lubis, pengacara yang pernah datang ke rumah."Selamat pagi, Bu," kata Pak Lubis seraya menyalamiku."Pagi juga, Pak, suami saya la
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 11Perjalanan menuju rumah Elsa terasa lama, aku penasaran seperti apa Elsa ini."Makasih ya Mah," kata suami sambil melihat wajahku di kaca spion."Makasih untuk apa, Pah?" jawabku seraya mengencangkan pegangan."Makasih telah cemburu," kata suami."Idihh, Papah," aku mencubit pinggangnya."Cemburu itu tandanya cinta," kata suami lagi."Iya, Pah, mamangnya siapa si Elsa ini? Sudah lama kenal? Kenal di mana?" tanyaku lagi."Udah, Mah, nanti juga ketemu," kata suami seraya membelokkan motor ke satu komplek perumahan elit.Setelah lapor ke satpam dan meninggalkan KTP, kami lanjut masuk. Suami menghentikan motor di depan rumah besar. Lalu menekan bel. Tak berapa lama kemudian muncu
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaRumah yang kami tempati kini rumah petak yang hanya ada satu kamar. Jaraknya dari komplek sekitar dua kilometer. Karena memang tak punya banyak barang acara pindahan kami lebih mudah. Tak sampai setengah hari sudah selesai semua. Suami tak cerita lagi soal tanah empat hektar, bagaimana lanjutannya aku juga tak tahu. Sifat suami yang memang pendiam dan tertutup. Bahkan dia bisa merahasiakan simpanannya selama lima belas tahun. Akan tetapi aku yakin dan percaya suami berbuat demi kebaikan kami. Keesokan paginya aku datang lagi ke komplek itu, ditemani Makmur anakku kami naik motor baru. Aku ingin melihat bagaimana bunga-bunga yang tak bisa kubawa. Di pintu masuk komplek sekuriti yang berjaga menunduk hormat padaku. Ini tak biasa, biasanya bila aku yang lewat dia akan pasang wajah sangar. Apa sekuriti ini sudah tahu yang sebenarnya? Aku terkejut melihat bunga-bunga itu, banyak yang sudah tercabut dari potnya, ada juga yang potnya ikut hila