Home / Romansa / Hajatan Tetangga / Rahasia Suami

Share

Rahasia Suami

last update Last Updated: 2022-06-18 19:55:03

Hajatan Tetangga

#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.

Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat. 

Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala. 

"Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur. 

"Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami. 

"Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi. 

"Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh. 

"Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya. 

"Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku. 

Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur. 

Besok harinya Erwin datang lagi, kali ini dia datang bersama seseorang berdasi kupu-kupu. Suami kebetulan masih di rumah, lagi bersiap hendak berangkat kerja. 

"Selamat pagi, Pak Subur," sapa Erwin. 

"Pagi juga," jawab suami seraya mempersilahkan duduk. 

"Kenaikan ini Pak Lubis, pengacara yang sudah berpengalaman di bidangnya," kata Erwin seraya menunjuk pria berdasi kupu-kupu itu. 

"Iya, ada keperluan apa?" Suami tetap tenang. Sedangkan aku sudah deg-degan. 

"Saya mau memberikan penjelasan seputar masalah hukum sengketa lahan," kata Pak Lubis. 

"Maaf, saya merasa tak butuh penjelasan, dan tak minta penjelasan," jawab suami. Padahal aku sudah ingin sekali mendengar penjelasan mereka. 

"Ini demi kebaikan bersama, Pak Subur," kata Erwin. 

"Bukannya demi kebaikanmu?" kata suami. 

Ah, aku makin kagum saja dengan suami. Ternyata di balik sifat pendiamnya dia punya keberanian, tetap tenang menghadapi pengacara terkenal ini. Ya, aku kenal wajah pria berdasi kupu-kupu itu. Wajahnya sering wara-wiri di televisi kalau ada kasus besar. 

"Begini, Pak Subur, saya katakan secara ringkas saja, perkara sengketa tanah banyak menyita waktu dan tenaga serta dana. Bisa bertahun-tahun baru selesai, karena masalah ini sudah banyak merambat ke berbagai pihak. Pertanyaan saya, apakah bapak sudah siap secara mental dan secara materi menghadapi persidangan?" kata Pak Lubis, nada bicaranya seperti menekan. 

"Siapa yang mau perkara? maaf, aku mau pergi kerja," kata suami. 

"Tapi Bapak menolak tawaran Pak Erwin, itu artinya Bapak mau perkara," kata Pengacara itu lagi. 

"Saya tegaskan sekali lagi, ya, bapak-bapak, saya bukan mau perkara, kalau Anda-anda mau perkara, silakan. Tapi ingat, saya tahu juga hukum, Pak Erwin sudah memalsukan sertifikat tanah, memalsukan tanda tangan Pak Abdul, bekerja sama dengan pengacara kotor macam Anda. Bekerja sama dengan berbagai pihak. Tapi saya tak akan gentar, saya punya sertifikat asli dan surat hibah asli. Dan saya juga punya nomor Pak Abdul," Suami bicara panjang lebar. 

Wah, hebat suamiku, pengacara terkenal itu sampai terdiam dibuatnya. Berarti uang suami bukan dari Erwin, terus dari siapa? 

Erwin dan Pak Lubis akhirnya pergi juga, sebelum mereka pergi, Erwin masih memberikan tawaran lain. Kali ini dia menawarkan sepuluh persen, akan tetapi suami tetap menolak. 

"Kenapa belum terima juga, Pah?" tanyaku sebelum suami pergi. 

"Aku sudah bicara dengan seseorang, Mah, ternyata kasus ini melibatkan banyak pihak, banyak yang bermain, mulai dari lurah, camat, bahkan dari pihak pertanahan. Ini bukan masalah kita dapat apa lagi, ini masalah serius." terang suami seraya memakai helmnya. 

"Aku jadi takut, Pah," kataku kemudian. 

"Udah gak apa-apa, Mah, jangan kasih dulu si Makmur naik motor ya," kata suami sebelum akhirnya berangkat kerja.

Aku mulai mencoba motor baru tersebut, sudah lama juga tak pegang motor. Ketika aku lewat di depan rumah Bu Bondan ... 

"Cie, cie, pamer hutangan," kata Bu Bondan lalu diringi tawa ibu-ibu yang lain. 

Entah apa yang membuatku menanggapi ocehan Bu Bondan, seketika aku menghentikan motor. 

"Siapa yang ibu maksud pamer hutang?" tanyaku. 

"Ya, situlah, siapa lagi?" kata Bu Bondan. 

"Ini bukan hasil hutang ya, ni belinya kes, kalian pikir kalian saja yang bisa beli motor," entah kenapa aku terpancing. 

"Mental unta!" kata seorang Ibu yang lain, saat itu para ibu-ibu komplek memang lagi berkumpul di depan rumah Bu Bondan.

"Apa maksudnya mental unta?" aku makin terpancing. 

'Minum banyak dulu sebelum berjalan jauh, hutangi barang yang banyak sebelum pergi lari ke desa," kata Bu Bondan. 

Tiba-tiba aku sadar telah terpancing, suami tidak suka aku ikut-ikutan sindir menyindir, aku akhirnya bisa mengusai emosi. Kuhidupkan motor dan pulang ke rumah. 

Lucu juga ghibahan emak-emak ini, aku dibilang mental unta, minum banyak sebelum berjalan jauh. Salut juga kreativitas mereka mencari bahan gunjingan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Hehehe.. Benar2 heboh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hajatan Tetangga   Akhir Kisah Hajatan Tetangga

    Tiba sudah hari keberangkatan Pak Abdul, entah kenapa aku merasa sedih sekali. Baru beberapa bulan kurasakan bagaikan punya mertua. Kini Pak Abdul akan pergi lagi.Tak terasa air mataku menetes ketika melepas Pak Abdul di Bandara. Aku salim seraya berurai air mata."Jangan nangis, Maen, kita akan tetap berhubungan, kan ada WA?" kata Pak Abdul seraya membelai rambut ini.Akan tetapi aku justru makin menangis, sedih rasanya perpisahan ini. Pak Abdul berangkat juga, tujuannya masih ke Malaysia, dari Malaysia kemudian baru ke Arab Saudi. Pak Abdul benar-benar melepas semua hartanya yang tertinggal. Elsa dapat pabrik dan satu rumah, sedangkan kami dapat dua rumah. Habis sudah semua harta Pak Abdul. Keponakannya dari pihak istri pun masing-masing dapat satu rumah."Kalau ada kabar aku kenapa-kenapa di Mekkah, tak usah kalian repot-repot datang, ada yang urus aku di sana, satu lagi pintaku, tolong urus makam istri dan dua putriku, jangan

  • Hajatan Tetangga   Nasib Pencuri Rendang

    "Makmur!" teriakku memanggil anak tunggalku tersebut.Makmur datang dengan tergopoh-gopoh, rambutnya masih basah, dia hanya memakai handuk. Mungkin dia terkejut mendengar suara panggilan yang menggelelegar. Yah, memang beginilah Mamahnya ini, suaranya bisa mengalahkan suara enggang, mudah marah, suami bilang sumbu pendek."Makmur, kau sebarkan video Ibu ini, Ya?" Tanyaku dengan nada tegas."Gak koq, Mah, video itu aja udah hapus dari HP-ku, Ibu itu yang hapus," jawab Makmur."Hei, kecil-kecil sudah pandai bohong ya, terus siapa lagi kalau bukan kau?" hardik Bu Bondan."Makmur, sini dulu, Nak, sekarang jelaskan bagaimana bisa tersebar," kataku sambil merangkul pundak Makmur, kasihan juga melihatnya dia dibentak Bu Bondan."Aku hanya kirim ke Bang Bondan, terus Ibu ini marah lalu menghapus sendiri dari HP-ku," jawab Makmur."Untuk apa kau kirim sama Bondan, Nak?" Aku melunakkan nada bicara, dia

  • Hajatan Tetangga   Dendam Berkarat

    Dendam BerkaratPov Pak AbdulHidupku terus dibayang-bayangi rasa bersalah, karena ketelodoranku istri dan dua orang putriku pergi untuk selama-lamanya. Aku merasa tak berguna, tak bisa melindungi orang-orang yang paling kusayangi.Tiga pusara berdekatan itu kudatangi lagi, di nisan tertulis nama orang-orang yang paling kusayang di dunia ini. Aku terduduk menangis sesenggukan. Mereka pergi untuk selama-lamanya karena keegoisanku, seandainya dulu aku tak berbisnis kotor, seandainya dulu kuturuti kata istri. Mungkin ..."Aku berjanji akan menuntut balas pada orang-orang yang membuat kita harus berpisah, aku berjanji," batinku seraya memandangi tiga pusara itu.Tadinya aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka yang paling kucintai, mungkin Tuhan lebih sayang pada mereka, aku akan turuti permintaan terakhir istriku. Taubat, ya, aku bertaubat, melepas semua bisnis tak jelas, menjual hampir seluruh properti. Menghabiskan waktu di Arab Sa

  • Hajatan Tetangga   Makmur Punya Gaya

    "Makmur, sini dulu kau?" kudengar Bu Bondan memanggil anakku si Makmur. Saat itu aku seperti biasa menyiram bunga. Makmur kebetulan lewat depan rumah Bu Bondan, dia mau pergi main ke rumah kawannya.Penasaran kumendekat mencoba menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tak dengar juga. Penasaran juga, kulihat Bu Bondan seperti marah, dan anakku menunduk lalu mengeluarkan HP-nya. Terus Bu Bondan memainkan HP tersebut. Ada apa ya?"Makmur!" kupanggil anakku seraya datang mendekati mereka."Hei Bu Yanti, HP itu berbahaya untuk anak sebesar dia, mentang-mentang kaya anak-anak pun dikasih HP," kata Bu Bondan."Dia sudah SMP, Bu Bondan, sudah wajar punya HP," jawabku kemudian."Wajar sih, wajar, tapi dia rekam orang sembarangan," kata Bu Bondan."Kau rekam apa, Makmur?" selidikku."Pesta kita itu, Mah, itu yang kutunjukkan sama Mamah tempo hari," jawab Makmur."Oh, itu, maaf, Bu Bon

  • Hajatan Tetangga   Senjata Makan Tuan

    Pov Bu BondanGara-gara uang cicilan rumah yang kutilep suamiku jadi berubah total. Dia yang dulu bisa kuatur dan kendalikan kini berubah seratus delapan puluh drajat. Biasanya dia selalu mendukung apapun tindakanku, memusuhi siapapun yang kumusuhi. Dia yang dulu bagaikan anjing manis yang selalu setia kini berubah jadi kucing nakal. Setelah tiga hari dia tak pulang, aku sungguh terkejut ketika dia pulang di tengah malam, bersamanya ada seorang wanita muda, tak cantik memang. Akan tetapi dia muda tentu saja aku kalah. "Apa-apaan ini, Bang?" tanyaku sambil berkacak pinggang. "Maaf, Dek, aku sudah jenuh dengan prilakumu, suami sendiri pun kau gosipkan entah ke mana-mana, aku sudah berusaha menutup aibmu tapi kau buka sendiri," jawab suami. "Ini siapa?" tanyaku seakan tak percaya. "Ini adik madumu, masih kau ingat pernah bilang silakan aku menikah lagi," jawab suami. Aku lalu mengingat-ingat, banyak sudah yang kubilang tentang suami, oh, aku baru sadar, waktu itu orang lagi ramai

  • Hajatan Tetangga   Tukang Ghibah Dipoligami

    Pondok yang ada di sudut halaman rumah jadi tempat kesukaan suami. Setiap sore dia suka duduk di situ sambil memandangi bunga dan kolam ikan. Seperti sore itu ketika aku menyiram bunga dia seperti duduk termenung."Ada apa, Pah? Melamun aja dari tadi?" tanyaku sambil terus menyiram bunga."Papah sedang berpikir, Mah, apa yang akan kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur kita?" kata suami."Buat saja entah apa, Pah, bangun masjid kek, bangun sekolah mengaji kek, atau kawin lagi kek?" jawabku sambil melirik bagaimana reaksinya."Pas sekali," tiba-tiba suami bersorak sambil turun dari pondok."Papah mau kawin lagi?" mataku melotot.Suami memegang kedua pipiku, lalu mencium kening ini, "ide Mamah memang paten," kata suami.Tentu saja aku terheran-heran, ide yang mana?Suami lalu sibuk dengan andorid-nya, aku menghentikan aktivitas, sambil melirik HP suami. Lalu dia menelepon ent

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status