Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.
Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat.
Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala.
"Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur.
"Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami.
"Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi.
"Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh.
"Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya.
"Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku.
Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur.
Besok harinya Erwin datang lagi, kali ini dia datang bersama seseorang berdasi kupu-kupu. Suami kebetulan masih di rumah, lagi bersiap hendak berangkat kerja.
"Selamat pagi, Pak Subur," sapa Erwin.
"Pagi juga," jawab suami seraya mempersilahkan duduk.
"Kenaikan ini Pak Lubis, pengacara yang sudah berpengalaman di bidangnya," kata Erwin seraya menunjuk pria berdasi kupu-kupu itu.
"Iya, ada keperluan apa?" Suami tetap tenang. Sedangkan aku sudah deg-degan.
"Saya mau memberikan penjelasan seputar masalah hukum sengketa lahan," kata Pak Lubis.
"Maaf, saya merasa tak butuh penjelasan, dan tak minta penjelasan," jawab suami. Padahal aku sudah ingin sekali mendengar penjelasan mereka.
"Ini demi kebaikan bersama, Pak Subur," kata Erwin.
"Bukannya demi kebaikanmu?" kata suami.
Ah, aku makin kagum saja dengan suami. Ternyata di balik sifat pendiamnya dia punya keberanian, tetap tenang menghadapi pengacara terkenal ini. Ya, aku kenal wajah pria berdasi kupu-kupu itu. Wajahnya sering wara-wiri di televisi kalau ada kasus besar.
"Begini, Pak Subur, saya katakan secara ringkas saja, perkara sengketa tanah banyak menyita waktu dan tenaga serta dana. Bisa bertahun-tahun baru selesai, karena masalah ini sudah banyak merambat ke berbagai pihak. Pertanyaan saya, apakah bapak sudah siap secara mental dan secara materi menghadapi persidangan?" kata Pak Lubis, nada bicaranya seperti menekan.
"Siapa yang mau perkara? maaf, aku mau pergi kerja," kata suami.
"Tapi Bapak menolak tawaran Pak Erwin, itu artinya Bapak mau perkara," kata Pengacara itu lagi.
"Saya tegaskan sekali lagi, ya, bapak-bapak, saya bukan mau perkara, kalau Anda-anda mau perkara, silakan. Tapi ingat, saya tahu juga hukum, Pak Erwin sudah memalsukan sertifikat tanah, memalsukan tanda tangan Pak Abdul, bekerja sama dengan pengacara kotor macam Anda. Bekerja sama dengan berbagai pihak. Tapi saya tak akan gentar, saya punya sertifikat asli dan surat hibah asli. Dan saya juga punya nomor Pak Abdul," Suami bicara panjang lebar.
Wah, hebat suamiku, pengacara terkenal itu sampai terdiam dibuatnya. Berarti uang suami bukan dari Erwin, terus dari siapa?
Erwin dan Pak Lubis akhirnya pergi juga, sebelum mereka pergi, Erwin masih memberikan tawaran lain. Kali ini dia menawarkan sepuluh persen, akan tetapi suami tetap menolak.
"Kenapa belum terima juga, Pah?" tanyaku sebelum suami pergi.
"Aku sudah bicara dengan seseorang, Mah, ternyata kasus ini melibatkan banyak pihak, banyak yang bermain, mulai dari lurah, camat, bahkan dari pihak pertanahan. Ini bukan masalah kita dapat apa lagi, ini masalah serius." terang suami seraya memakai helmnya.
"Aku jadi takut, Pah," kataku kemudian.
"Udah gak apa-apa, Mah, jangan kasih dulu si Makmur naik motor ya," kata suami sebelum akhirnya berangkat kerja.
Aku mulai mencoba motor baru tersebut, sudah lama juga tak pegang motor. Ketika aku lewat di depan rumah Bu Bondan ...
"Cie, cie, pamer hutangan," kata Bu Bondan lalu diringi tawa ibu-ibu yang lain.
Entah apa yang membuatku menanggapi ocehan Bu Bondan, seketika aku menghentikan motor.
"Siapa yang ibu maksud pamer hutang?" tanyaku.
"Ya, situlah, siapa lagi?" kata Bu Bondan.
"Ini bukan hasil hutang ya, ni belinya kes, kalian pikir kalian saja yang bisa beli motor," entah kenapa aku terpancing.
"Mental unta!" kata seorang Ibu yang lain, saat itu para ibu-ibu komplek memang lagi berkumpul di depan rumah Bu Bondan.
"Apa maksudnya mental unta?" aku makin terpancing.
'Minum banyak dulu sebelum berjalan jauh, hutangi barang yang banyak sebelum pergi lari ke desa," kata Bu Bondan.
Tiba-tiba aku sadar telah terpancing, suami tidak suka aku ikut-ikutan sindir menyindir, aku akhirnya bisa mengusai emosi. Kuhidupkan motor dan pulang ke rumah.
Lucu juga ghibahan emak-emak ini, aku dibilang mental unta, minum banyak sebelum berjalan jauh. Salut juga kreativitas mereka mencari bahan gunjingan.
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSemenjak punya motor baru, Bu Bondan selalu mencibir bila aku lewat di depan rumahnya, mana pula tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi nasihat suami supaya jangan dipedulikan masih bisa kujalani. Apapun katanya, pura-pura saja enggak dengar. Pagi itu aku sedang menyiram bunga yang ada di halaman. Sekalian cuci motor baruku. Bu Irma tetangga depan rumah datang. "Selamat pagi, Bu Yanti," sapanya ramah. Dari sekian banyak warga komplek, hanya ibu ini satu-satunya yang ramah padaku. "Pagi juga, Bu," jawabku seraya menghentikan aktivitas. "Motor baru, Ya, Bu?" katanya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat. "Boleh minta sedikit srenya, Bu Yanti," "Boleh, boleh, ambil saja, Bu," Di sekitar pekarangan rumah memang ada beberapa tanaman yang sudah ada sejak dulu, mulai dari sre, kunyit, jeruk nipis ada di sini. Suami suka berkebun. Bu Irma lalu masuk dan mengambil sendiri sre itu. Bu Bondan datang. "Lagi ngapain, Bu Irma
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaMakmur anakku boncengan sama suami, sedangkan aku bawa scoopy baru. Kami jalan malam itu, ketika lewat di depan rumah Bu bondan, suami bunyikan klakson untuk menyapa Pak Bondan yang kebetulan duduk di teras rumahnya. "Malam, Pak," sapa suami sambil melambaikan tangan. "Gak pernah kutuan!" teriak Bu Bondan yang ternyata berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin dia lagi mengintip kami. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan suami dengan perkataan Bu Bondan. Sepanjang jalan melewati komplek semua mata seakan tertuju kepada kami, atau perasaanku saja yang begitu. Akan tetapi setiap orang seperti menatap lain pada kami. Aku pengen makan bakso, Makmur pengen ayam penyet sedangkan suami pengen nasi soto. Tak ada warung yang sekaligus menjual itu semua, jadilah kami kunjungi warung satu persatu. Pertama warung ayam penyet menuruti kemauan Makmur, baru warung bakso, terakhir soto Medan. Norak, ya. "Apa maksudnya gak pernah kutuan, Mah?" tany
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSuami tidur siang di dalam rumah. Ini untuk yang pertama kali suami tidur siang, selama ini dia anti dengan yang namanya tidur siang, kalau lagi libur dia berkebun di belakang rumah. Aneh memang, akan tetapi itulah suamiku.Akhir-akhir ini memang selalu ada untuk yang pertama kali, pertama kali beli perhiasan, pertama kali makan diluar. Bukan karena suami anti makan atau anti penyedap rasa. Bukan, akan tetapi begitulah, kami hidup dalam kesederhanaan. Kalaupun aku pengen bakso, paling suami beli yang sudah dibungkus, makannya di rumah.Aku masih duduk di bangku kayu depan rumah. HP jadul terus kupantengi, mana tahu Pak Abdul telepon balik. Ada motor besar berhenti depan rumah. Seorang pria turun dari motor tersebut. Aku kenal pria itu, dia Pak Lubis, pengacara yang pernah datang ke rumah."Selamat pagi, Bu," kata Pak Lubis seraya menyalamiku."Pagi juga, Pak, suami saya la
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 11Perjalanan menuju rumah Elsa terasa lama, aku penasaran seperti apa Elsa ini."Makasih ya Mah," kata suami sambil melihat wajahku di kaca spion."Makasih untuk apa, Pah?" jawabku seraya mengencangkan pegangan."Makasih telah cemburu," kata suami."Idihh, Papah," aku mencubit pinggangnya."Cemburu itu tandanya cinta," kata suami lagi."Iya, Pah, mamangnya siapa si Elsa ini? Sudah lama kenal? Kenal di mana?" tanyaku lagi."Udah, Mah, nanti juga ketemu," kata suami seraya membelokkan motor ke satu komplek perumahan elit.Setelah lapor ke satpam dan meninggalkan KTP, kami lanjut masuk. Suami menghentikan motor di depan rumah besar. Lalu menekan bel. Tak berapa lama kemudian muncu
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaRumah yang kami tempati kini rumah petak yang hanya ada satu kamar. Jaraknya dari komplek sekitar dua kilometer. Karena memang tak punya banyak barang acara pindahan kami lebih mudah. Tak sampai setengah hari sudah selesai semua. Suami tak cerita lagi soal tanah empat hektar, bagaimana lanjutannya aku juga tak tahu. Sifat suami yang memang pendiam dan tertutup. Bahkan dia bisa merahasiakan simpanannya selama lima belas tahun. Akan tetapi aku yakin dan percaya suami berbuat demi kebaikan kami. Keesokan paginya aku datang lagi ke komplek itu, ditemani Makmur anakku kami naik motor baru. Aku ingin melihat bagaimana bunga-bunga yang tak bisa kubawa. Di pintu masuk komplek sekuriti yang berjaga menunduk hormat padaku. Ini tak biasa, biasanya bila aku yang lewat dia akan pasang wajah sangar. Apa sekuriti ini sudah tahu yang sebenarnya? Aku terkejut melihat bunga-bunga itu, banyak yang sudah tercabut dari potnya, ada juga yang potnya ikut hila
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanPertama pindah ke komplek ini aku sudah gerah melihat tetangga sebelah rumah. Semua rumah sama modelnya kecuali rumah itu. Lahannya lebih luas akan tetapi bangunannya lebih pantas disebut kandang ayam dari pada rumah.Bagaimana tak disebut kandang ayam, dindingnya saja masih dari anyaman bambu, jaman yang sudah modern begini, di komplek perumahan tergolong elit, masa ada rumah dinding bambu? kan gak level.Begitu kami pindah kemari yang pertama kuprotes adalah rumah itu, pihak developer berjanji akan mengusir mereka, akan tetapi menunggu ada alasan untuk mengusir.Di komplek ini aku termasuk yang paling tua, penghuni di sini rata-rata pasangan muda hanya kami pasangan pensiunan. Bondan anak bungsuku sudah remaja. Kami termasuk terlambat beli rumah. Sudah tua baru bisa beli, itu pun dengan cara kredit.Pernah suatu pagi aku bertandang ke rumah tetangga
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu Bondan 2Begitu mereka pindah yang pertama aku tergiur adalah koleksi bunga si Yanti. Halamannya yang luas ditumbuhi beragam bunga. Apalagi ada beberapa keladi yang lagi booming. Kucoba meminta secara baik-baik. Si Yanti justru tak mau memberikan. Dasar pelit, sudah mau ditinggal pun tak dikasih juga. Mereka pindah, tentu saja tak bisa membawa bunga yang begitu banyak. Tomat dan cabe lagi berbuah di belakang rumahnya. Langsung keambil semua. Sama yang masih mentah pun kuambil, lumayan bisa stok cabe beberapa minggu. Tinggal bunga yang belum kuambil. Kuajak beberapa ibu lain ambil bunga Yanti, mereka semua mau, siapa juga yang gak mau bunga gratis, hanya si Irma wanita simpanan itu yang menolak. "Bu Yanti sudah melarang, tak baik kita ambil, itu mencuri namanya," begitu alasan Bu Irma. "Alah, sok suci, ambil suami orang bisa kau." kataku kesal. Aku benci dengan penolakan. "Maafkan, Bu, aku gak ada ambil suami orang, jangan asal