Share

Suami Enggak Peka

Hajatan Tetangga

#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya

Part 5.

Ada pengajian bulanan ibu-ibu komplek, kali ini giliran rumah Bu Bondan. Sebenarnya aku malas datang, akan tetapi lagi-lagi suami menyuruhku. 

"Itu pengajian, Mah, gak perlu undangan," begitu alasan suami. 

"Malas, Pah, orang itu sukanya menghina," kataku dengan wajah cemberut. 

"Gak boleh gitu, Mah, silaturahmi harus dijalin dengan tetangga, gak usah dengarin omongan orang," bujuk suami lagi. 

Sudah jadi kebiasaan di lingkungan komplek, pengajian ibu-ibu berubah jadi ajang pamer makanan. Yang jadi tuan rumah akan menjamu tamu dengan makanan enak. Seakan-akan berlomba-lomba di rumah siapa yang makanannya paling enak. Jemaah pengajian pun berlomba-lomba memakai perhiasan mahal. Ajang pamer tas branded. Kadang aku berpikiran ini arisan atau pengajian? 

Akulah yang pertama datang, sebagai tetangga paling dekat, aku menawarkan diri untuk bantu- bantu. Akan tetapi jelas sekali terlihat wajah tak suka dari Bu Bondan. 

"Jaga dulu hidangannya, ya, Bondan, liat-liat, nanti pindah tempat ke kantong kresek," kata Bu Bondan pada anak bungsunya yang bernama Bondan. 

Tentu saja aku tersinggung, seakan-akan dia menuduh aku akan mengambil makanannya. Karena baru aku yang datang. Tanduk di kepala rasanya tumbuh. Nasihat suami sudah tak bisa masuk ke otakku. 

"Maaf, Bu, gak usah sindir-sindir gitu," kataku protes. 

"Siapa yang nyindir? memang betul koq, orang sekarang gitu, pulang ngaji isi tasnya rendang." kata Bu Bondan lagi. 

Tak tahan dengan hinaan Bu Bondan, aku pulang dengan berurai air mata, kutinggalkan acara yang baru saja mulai. 

"Napa, Mah?" tanya suami. 

"Aku capek, Pah, aku lelah jadi bahan hinaan," tangisku pecah. 

"Udah, Mah, sabar," kata suami seraya mengelus rambutku. 

"Pah, aku juga ingin pakai perhiasan kayak orang-orang, aku juga ingin buat hajatan," kataku di sela isak tangis. 

"Iya, Mah, sabar," 

"Sabar, sabar, sampai kapan?" 

"Kalau mereka pamer, lalu Mamah balas dengan pamer, apa bedanya Mamah dengan mereka?" kata suami lagi. 

"Pokoknya aku lelah, Pak, capek dihina terus." kataku seraya masuk kamar. 

"Mah, jangan gitu dong, Mah," bujuk suami seraya memijit kakiku. 

"Papah nggak peka, gak ngerti perasaan wanita, peka napa, Pah," kataku seraya membenamkan wajah di kasur. 

"Mah!"

"Dasar suami gak peka!"

Aku sudah tak peduli, sakit rasanya dihina terus, punya suami juga selalu suruh mengalah. Mungkin aku sudah jadi bahan ghibahan di pengajian itu, terbayang mulut ember Bu Bondan, kakakku juga akan ikut menggunjingku. 

"Mah, Papah pergi, Ya," pamit suami pagi itu. 

"Iya, Pah," jawabku singkat tanpa menoleh. Gak salim juga seperti biasanya.

"Koq gak datang ngaji kemarin, Bu Yanti?" tanya tetangga depan rumah ketika aku menyiram bunga. 

"Kurang enak badan, Bu," jawabku berbohong, padahal yang betul adalah kurang enak hati karena terus dihina. 

"Kata Bu Bondan, Bu Yanti tak datang karena menghindari giliran, seharusnya kan bulan depan giliran Ibu," kata tetangga itu lagi. 

Betul dugaanku, aku telah jadi bahan ghibahan di pengajian itu. 

"Gak lah, Bu, memang aku kurang enak badan," jawabku seraya berharap dia tak bertanya lagi. 

Bu Bondan datang, mungkin dia mendengar kami bicara. 

"Memang kalau giliran kita bisa habis gaji sebulan," kata, Bu Bondan. 

"Gak lah, Bu, tiga ratus ribu juga udah cukup, buat lontong atau mie," kata tetangga depan rumah. 

"Malulah kalau cuma lontong, di rumah lain makan rendang, masa di rumah kita cuma lontong," kata, Bu Bondan sambil melirikku. 

Merasa obrolan tak sehat lagi, aku segera masuk rumah dengan perasaan kesal. 

Sore itu jam sudah menunjukkan angka enam, suami belum juga pulang, padahal biasanya dia pulang jam setengah lima. Aku jadi merasa bersalah, mungkin suami kesal karena tingkahku. 

Sayup-sayup terdengar suara motor vega R suami, aku kenal betul dengan suara motor itu, motor itulah satu-satunya kenderaan suami semenjak aku mengenalnya. 

Aku berdiri di depan pintu menyambut suami, akan tetapi aku terkejut, di belakang suami ada mobil pic up, lalu mobil itu berhenti di depan rumah. Di atas mobil tersebut ada motor scoopy keluaran terbaru. 

"Motor siapa, Pah?" tanyaku karena mereka menurunkan motor tersebut. 

"Kita, Mah, biar Mamah bisa bergaya dikit," kata suami sambil membantu menurunkan motor. 

Aku masih bingung ketika kami masuk rumah, suami menyerahkan kotak kecil. 

"Untuk, Mamah," kata suami sambil tersenyum. 

Segera kubuka kotak kecil itu, ternyata isinya kalung dan cincin. 

"Ini emas, Pah?"

"Ya, Iya, itukan ada suratnya." jawab suami. 

"Ikeeeennn," teriak suami memanggil anak tunggalnya. Iken adalah panggilan sayang suami pada Makmur anak kami, katanya itu panggilan untuk anak lelaki di daerah asal mertua. 

Makmur yang lagi main di belakang rumah lalu datang tergopoh-gopoh. 

"Wah, scoopy baru," kata Makmur seraya mengelus jok motor baru itu. 

"Ini untukmu," kata suami seraya menyerahkan tas kecil bertulisan ponsel. 

Makmur memeriksa isi tas itu, ternyata isinya HP andorid merk Oppo. "Yeeeesss," kata Makmur seraya menuniukkan kepalan tangannya. Dia tampak senang sekali, matanya berbinar, memang sudah lama dia ingin HP andorid. Di komplek ini hanya dia anak yang belum punya HP, bahkan yang masih kelas tiga SD pun ada HP-nya. 

"Hei!" kata suami seraya menunjuk Makmur. 

"Oh, lupa, Pah, Alhamdulillah," kata Makmur seraya sujud syukur. 

"Haa, gitu, bukannya yes yes entah apa," kata suami. 

"Pah, dari mana Papah dapat duit?" tanyaku heran.

Bagaimana tidak heran, Itu motor sudah dua puluhan juta, perhiasan sepuluh juta, HP baru lagi. Jangan-jangan suami menerima tawaran yang lima puluh juta itu? 

"Jangan bilang lagi Papah suami gak peka ya, Mah," jawab suami. 

"Pah, Papah terima tawaran Erwin itu, Ya?" tanyaku lagi. 

"Gak, Mamah, udah, itu motor impianmu, besok kalau ada pengajian jangan minder lagi ya, Mah," 

"Pah?" tanyaku lagi, tapi suami sudah ngeloyor ke kamar mandi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Waaaaa senangnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status