Hajatan di Rumah Ibu

Hajatan di Rumah Ibu

last updateLast Updated : 2025-03-19
By:  Lia ScorpioOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
8Chapters
387views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aku dan ketiga anakku hanya bisa memandang dari kejauhan, melihat hajatan aqiqah mewah di rumah Ibu. Aroma gulai kambing, menu primadona di hajatan itu, tercium samar-samar hingga ke tempat kami berdiri. Tapi, hanya aroma. Tak ada piring, tak ada undangan, hanya jarak yang memisahkan. Padahal, aku adalah anak kandung Ibu. Anak sulung dari empat bersaudara. Namun, di saat acara penting seperti ini, kenapa aku malah diasingkan? Yang lebih menyakitkan, aku bahkan baru tahu tentang hajatan itu dari tetangga yang kebetulan baru pulang dari rumah Ibu.

View More

Chapter 1

Bab 1

"Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya.

Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas..

“Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,”

Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar.

“Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada hajatan besar. Ibumu sampai motong kambing beberapa ekor,”

Aku mendadak terdiam. Hajatan? Apa maksudnya? Aku belum mendengar kabar apapun. Padahal, Ibu hanya tinggal di kampung sebelah, tak terlalu jauh dari sini.

"Memangnya ada acara apa, Bu?" tanyaku akhirnya, berusaha terdengar santai meski hati mulai terusik.

"Seriusan kamu nggak tahu?" Bu Marni membelalak, matanya seolah ingin memastikan bahwa aku tidak sedang bercanda. Aku hanya mengangguk pelan, tak ada niat menjelaskan lebih jauh.

“Ya ampun, Sitah! Kamu ini anak Bu Fatma atau bukan, sih? Kok, acara sebesar itu nggak tahu! Semua saudaramu ada di sana. Kamu malah nggak tahu apa-apa,” Bibir Bu Marni meliuk-liuk, saat menceritakan itu. “Ibumu itu hajatan aqiqah, potong kambing beberapa ekor. Besar sekali acaranya,”

Aqiqah? Ibu? Aku berusaha mencerna kata-katanya, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dadaku. Kalau benar ada hajatan sebesar itu, kenapa aku tidak diberi tahu?

“Lho, Sitah. Kamu kenapa diem aja? Kok nggak ke sana? Apa jangan-jangan…” Bu Marni menurunkan suaranya, setengah berbisik. “Ibumu lupa ngundang kamu?”

Aku tersenyum masam, meski terasa getir di hati. "Mungkin saja, Bu," jawabku seadanya, tidak berniat memberi ruang lebih untuk pembicaraan ini.

Bu Marni masih melanjutkan ceritanya, tapi aku sudah tidak mendengarkan. Pikiranku berkelana ke arah rumah Ibu, membayangkan suasana hajatan yang ramai. Semua saudaraku berkumpul di sana, menikmati gulai kambing dan tawa bersama. Aku? Bahkan aku tahu acara ini dari tetangga, bukan dari keluargaku sendiri.

Aku menghela napas, kali ini lebih panjang. Tanganku menggenggam erat sapu yang tadi kugunakan, mencoba mengusir rasa sesak yang tiba-tiba muncul.

Sementara itu, Bu Marni sudah melangkah pergi, membawa kantong plastik di tangannya. "Saya pamit dulu, Tah. Gulainya enak, lho. Sayang kalau kamu nggak sempat mencicipi,"

Aku tidak menjawab. Mataku hanya memandang plastik itu. Bukannya menimbulkan rasa lapar,itu malah menambah beban di dada. Rasanya, aku ingin sekali bertanya langsung pada Ibu. Kenapa? Apa salahku? Apa aku bukan lagi bagian dari keluarganya?

Namun, untuk saat ini, aku hanya bisa berdiri diam di depan rumah, membiarkan pagi yang tenang berubah menjadi hari yang penuh tanya.

Setelah Bu Marni pulang, niatku untuk membuka kedai kecil di depan rumah mendadak lenyap. Bayangan tentang hajatan di rumah Ibu terus mengganggu pikiranku. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dada, membuatku tidak mampu melakukan apa pun.

Aku duduk termenung di kursi panjang depan rumah, memandangi tanah kering yang penuh debu. Pikiranku melayang-layang, mencoba memahami kenapa semua ini harus terjadi.

Dari kejauhan, aku melihat ketiga putraku berlari ke arahku. Napas mereka tampak tersengal-sengal saat semakin dekat. Wajah mereka yang polos, dengan keringat bercucuran, membuat hatiku terasa sesak.

"Bu, kok Ibu masih di sini?" tanya Adnan, putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun.

Aku memandangi mereka satu per satu. Tubuh kecil mereka tampak letih, seragam sekolah yang lusuh penuh debu. Bagaimana tidak, jarak sekolah mereka dari rumah cukup jauh, dua kilometer lebih. Setiap hari mereka harus berjalan kaki pulang pergi.

Bukan aku tidak peduli. Bukan aku tidak kasihan. Ingin sekali rasanya mengantar mereka, membiarkan kaki kecil itu beristirahat dari perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi, apa daya? Kehidupan kami terlalu sulit. Sejak kematian suamiku tiga tahun lalu, aku kehilangan pijakan. Dunia terasa runtuh, dan aku harus berjuang sendirian.

Bisa makan sehari sekali saja sudah seperti keajaiban. Kadang, aku harus mengganjal perut dengan air supaya anak-anakku tidak tahu bahwa aku menahan lapar demi mereka.

Padahal aku berasal dari keluarga berada. Kedua orang tuaku adalah pensiunan pegawai negeri yang dihormati. Tapi, itu semua tidak pernah mengubah apa pun dalam hidup kami. Mereka tidak peduli. Mereka tidak pernah menanyakan bagaimana aku dan anak-anakku bertahan di sini.

"Siap-siap ke mana, Nan? Memangnya ada apa?" tanyaku, berusaha mengalihkan perasaan yang mulai menguasai hati.

"Bu, tadi waktu kami pulang sekolah, kami lewat depan rumah Nenek. Di sana ramai sekali, Bu," kata Adnan penuh semangat.

"Benar, Bu," sahut Malik, putra keduaku yang berusia sembilan tahun. "Kayaknya Nenek lagi ngadain hajatan. Banyak makanan di sana."

"Bu, Ami lapar," celoteh Ami, putra bungsuku yang baru berusia tujuh tahun. "Kita ke rumah Nenek, yuk! Kata Ibunya Diah, Nenek motong banyak kambing,"

Aku terdiam. Dadaku semakin terasa sesak. Awalnya aku mengira Bu Marni hanya membual. Tapi, setelah mendengar cerita anak-anakku, kenyataan itu menjadi terlalu pahit untuk diabaikan.

Tanpa sadar, air mata mulai menetes di pipiku. Satu per satu, hingga akhirnya mengalir deras.

"Bu, kenapa menangis?" tanya Adnan lembut. Tangannya yang kecil mengusap pipiku, mencoba menghapus air mata yang tak kunjung berhenti.

Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski rasanya terlalu sulit. "Tidak ada apa-apa, Nan. Ajak adik-adikmu masuk! Jangan lupa ganti baju, ya," ujarku.

Adnan memandangku sejenak, seolah ingin bertanya lebih jauh. Tapi, dia tidak melakukannya. Dengan patuh, dia menggandeng tangan kedua adiknya dan membawa mereka masuk ke dalam rumah yang lebih mirip gubuk reyot.

Aku tetap di tempatku, menatap punggung kecil mereka hingga menghilang di balik pintu.

Hati ini semakin terasa hancur. Anak-anakku begitu bersemangat ingin pergi ke rumah Nenek mereka, tapi Neneknya sendiri tidak pernah mengingat mereka. Bagaimana bisa? Mereka darah dagingnya sendiri, cucu-cucu yang seharusnya menjadi kebanggaannya, dilupakan begitu saja.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali membawa mereka ke sana, membiarkan mereka merasakan kebahagiaan bersama keluarga besar. Tapi, bagaimana caranya? Kami tidak diundang. Bahkan, aku tidak dianggap ada.

Di tempatku duduk, aku menangis dalam diam. Tangis yang tidak pernah terdengar suaranya, tapi setiap tetesnya terasa seperti luka yang semakin dalam.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Arum Annisa
Kok belum ada lanjutannya lak
2025-04-24 09:00:21
0
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status