"Bisa gak kamu di sini aja?"
Keduanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Namun, Galen lebih dulu menyudahi tatapan itu karena khawatir Nayya merasa tidak nyaman. "Saya, akan berjaga di luar." "Jangan di luar!" Nayya memotong. "Kamu tidur di dalam sini aja. Di sana—" Ia menunjuk sofa panjang berwarna maroon yang berada di dekat lemari pakaian. "Tapi Non, saya khawatir Tuan Liam tiba-tiba pulang dan—" Nayya menghela nafas. Mimik wajahnya tampak kecewa karena penolakan Galen. "Padahal kamu juga bisa sambil istirahat kalau tidur di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman di luar ya terserah. Aku gak bisa maksa." Galen menghela nafas pelan. Ia tau Bosnya cukup keras kepala dan menuntut dalam beberapa kesempatan. Termasuk kali ini. Jadi daripada berdebat, ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang Nona muda untuk tetap berada di dalam sana. "Baik, Nona. Saya tidak akan ke mana-mana malam ini." Nayya tersenyum lega setelah mendengar jawaban Galen. Ia mengucapkan terima kasih pada sang bodyguard sebelum mulai memejamkan mata. "Selamat malam, Nona." Mimpi indah... lanjut Galen dalam hati. Malam itu, Galen menepati janjinya untuk tetap berada di sana. Menemani sang majikan. Namun alih-alih istirahat, pemuda berbadan tegap itu justru mulai membereskan kamar Nayya yang berantakan akibat amarahnya tadi. Ia bergerak pelan agar tak membangunkan sang majikan yang kini sudah terlelap. Barang-barang yang pecah ia kumpulkan di sudut, sementara barang lainnya ia tata kembali pada tempatnya dengan cermat. Kamar yang sebelumnya seperti kapal pecah kini mulai rapi kembali. Di tengah-tengah kesibukannya, dari sudut mata, Galen melihat Nayya yang mulai tampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tadinya tenang perlahan berubah menjadi tegang, bahkan terdengar napasnya yang tersengal-sengal. “Nona…” Galen mendekat dengan langkah hati-hati. Ia berlutut di sisi tempat tidur dan dengan lembut mengusap punggung tangannya yang tergeletak di atas selimut. Tetapi Nayya tak merespons, dan justru genggamannya tiba-tiba menguat, meremas jemari Galen dengan erat, seolah mencari pegangan. Mata Nayya masih terpejam, namun dari bibirnya yang bergetar, samar-samar keluar kata-kata penuh rasa takut. “Jangan… jangan tinggalkan aku….” suaranya parau, hampir seperti bisikan, namun penuh rasa cemas. Galen merasakan hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Nayya lebih erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan yang bisa menenangkan. “Saya tidak akan ke mana-mana, Nona,” bisiknya lembut. “Saya di sini.” Secara perlahan, wajah Nayya mulai melunak. Genggamannya yang tadinya kuat perlahan mereda, dan napasnya berangsur tenang. Galen menghela napas lega melihat perempuan itu kembali dalam tidur yang damai. Namun, meski Nayya sudah tenang, Galen tetap berada di sisi tempat tidur, menatapnya dengan penuh kepedulian. Baginya, menjaga Nayya bukan sekadar tugas—ada perasaan yang ia sendiri tak bisa ungkapkan. Ia hanya ingin memastikan perempuan yang terlihat rapuh di depannya itu merasa aman, meski mungkin tak sepenuhnya menyadari kehadirannya. Walaupun dia juga tidak tau, siapa yang dimaksud dalam mimpi sang Nona. Yang jelas, dia hanya ingin membuat Nayya tetap nyaman. Pagi mulai merayap perlahan di balik tirai jendela. Ketika cahaya matahari menyelinap masuk, Nayya membuka mata. Ia menyadari dirinya masih menggenggam tangan Galen dan menatapnya penuh kehangatan. "Galen… kamu di sini semalaman?” tanyanya, suaranya masih serak. Galen tersenyum tipis. "Saya sudah janji pada Nona untuk tidak ke mana-mana.” Nayya tersenyum kecil. Ia merasa aman, nyaman, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan. Pagi menjelang perlahan, dan sinar matahari mulai menyusup melalui tirai jendela. Nayya perlahan membuka matanya, lalu ia mulai tersadar jika dia sedang bersama orang lain sekarang. "Galen? Kamu udah bangun? Jam berapa sekarang?" "Jam 10 pagi, Non." "Apa?!" Nayya tersentak kaget. Dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas untuk memastikan. "Kenapa gak bangunin aku?" "Tidur anda nyenyak banget soalnya. Saya nggak tega buat bangunin." Nayya mendesah panjang. Ia pijat pelan pelipisnya sebelum kembali buka suara. "Mas Liam beneran gak pulang ya?" Galen menggeleng pelan sebagai jawaban. Perempuan dengan gaun berwarna hitam itu mengerucutkan bibirnya sedikit sembari memeriksa ponselnya. Tidak ada satupun chat atau panggilan masuk dari Liam untuknya. 'Apa Mas Liam marah banget ya gara-gara masalah kemarin?' 'Tapi kan itu salah Mas Liam juga. Dia kan selalu egois selama ini.' Nayya menggigit bibir bawahnya. 'Aku harus gimana ya? Mending telfon Mas Liam atau enggak?Kalau aku telfon, aku khawatir Mas Liam jadi besar kepala dan makin semena-mena. Tapi kalau aku gak telfon, takutnya dia...' "Nona!" Nayya yang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, langsung menengok ke arah Galen. "Hm?" "Mau saya bawa sarapannya ke sini?" Nayya tampak menggeleng. "Aku gak laper." "Nona harus makan sedikit supaya Nona tidak sakit." Perempuan itu mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sebelum akhirnya ia kembali bertanya, "Mas Liam beneran gak pulang ya?" "Tidak, Nona." "Dia gak telfon kamu? Siapa tau dia nanyain kabarku lewat kamu." Galen kembali menggeleng. Jawaban itu membuat Nayya mengecilkan badannya dengan sedih. "Anda mau saya telfon Tuan Liam?" tanya Galen dengan hati-hati. Nayya ingin sekali mengatakan iya, namun mengingat jam berapa sekarang, ia langsung mengurungkan niatnya. "Gak usah. Paling jam segini Mas Liam lagi ada di kantor." ### Di tempat berbeda, seorang pria dengan kaos polo berkerah, tampak berada di sebuah rumah yang cukup mewah di pinggiran kota. Rumah itu memiliki gaya arsitektur modern minimalis yang elegan namun tetap terasa nyaman. Ada taman kecil yang rapi, dengan pepohonan hias dan beberapa bunga warna-warni yang tumbuh di sepanjang jalan masuk. Bangunan utama memiliki warna netral, dominasi putih dan abu-abu, dengan aksen kayu pada beberapa bagian dinding dan jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk. Pria itu duduk di ruang tamu, matanya terlihat lelah. Sementara di tangannya, secangkir kopi hitam tampak menyembulkan uap di atasnya. "Sayaaang..."“Eh, kalian berdua di sini?” katanya sambil melirik ke arah Galen. Nayya menoleh. "Dia kan..." Perempuan itu coba mengingat. Dan yang ia tau Rico adalah teman Galen yang banyak membantu saat proses hukum Liam dan Cintya dulu. “Aku Rico. Masa lupa sih?” jawab Rico sambil terkekeh jahil. "Bukan... maksudku..." "Rico itu adik Galen, Nayya. Mereka berdua anak kami," sahut Papa Galen diiringi senyuman yang sama tulusnya dengan sebelumnya. Nayya menatap Galen tak percaya. “Tunggu dulu... Jadi—" Galen mengangguk pelan. “Iya. Sebenarnya aku bukan bodyguard biasa. Aku calon CEO perusahaan milik Papa. Tapi sekarang… aku masih belajar gantiin Papa. Karena aku pengen punya kendali. Termasuk kendali atas masa depanku sendiri.” Nayya menatapnya lama. “Kamu beneran luar biasa… dan menyebalkan, karena nyembunyiin semua ini,” ujarnya pelan, setengah gemas. Galen tertawa. “Ya maaf. Aku cuma pengen kamu suka aku karena aku… bukan karena latar belakangku.” Ibunya Galen menimpali, “Dan kami senan
Galen menatap langit-langit sesaat, menahan gelombang emosi yang sempat muncul di balik matanya yang biasanya tenang. Tapi bukan rasa sesak yang muncul. Hanya damai. Karena akhirnya, semua yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun… sudah terucap."Aku nggak apa-apa, Nay," katanya dengan suara rendah. Tangannya masih mengusap lembut punggung Nayya yang terisak di pelukannya. "Kalau harus milih buat bahagia tapi tanpa kamu, atau sakit asal bisa tetap di dekat kamu… aku selalu pilih yang kedua."Nayya menggigit bibir, air matanya terus jatuh meski sudah ia coba tahan. Ia menatap Galen, seolah ingin melihat sesuatu yang bisa menenangkan hati yang kini penuh sesal. Tapi yang ia temukan justru senyuman kecil di wajah lelaki itu. Senyum yang penuh ketulusan."Aku jahat banget, Galen," isaknya pelan. "Aku bahkan gak bisa ingat sedikit pun tentang kamu. Tentang kita. Padahal kamu terus ada. Kamu lindungin aku… kamu temani aku, bahkan pas aku jatuh cinta sama orang lain—"Galen memotongnya l
Musim semi menyapu kota dengan lembut, membawa aroma bunga segar dan angin yang tak lagi terasa sesak. Di lantai tujuh sebuah apartemen di pusat kota, Nayya duduk di depan laptop, menyelesaikan desain terakhir untuk klien dari Singapura.Tangannya lincah, matanya fokus, dan ekspresinya tenang. Wajahnya kini jauh berbeda—lebih cerah, lebih ringan, seolah luka-luka lama akhirnya benar-benar tertinggal di masa lalu.Sejak vonis dijatuhkan, hidup Nayya perlahan berubah. Bukan dalam sekejap, bukan tanpa jatuh bangun, tapi hari-hari sulit itu kini hanya jadi bagian dari cerita masa lalu yang tak lagi menyakitkan untuk dikenang.Apartemennya tak besar, tapi nyaman dan hangat. Dan yang paling penting, ia memilihnya sendiri—tepat di samping unit milik seseorang yang diam-diam selalu ada di radius hidupnya: Galen.Sebenarnya, saat Galen tahu Nayya ingin pindah dan tinggal sendiri, dia cuma berkata, “Pindah aja ke sini, sebelahan sama aku. Biar kalau kamu butuh bantuan angkat galon atau benerin
Di luar ruang interogasi, Galen berdiri dengan gelisah. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, sementara matanya tak lepas dari pintu berwarna abu-abu itu. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu Nayya kuat. Tapi Galen juga tahu, kekuatan yang selama ini ditunjukkan Nayya bukan berarti ia tak terluka. Justru luka itu terlalu dalam—hanya saja selama ini disembunyikan di balik tatapan tajam dan ucapan penuh tekad.Saat pintu terbuka dan Nayya melangkah keluar, Galen langsung menegakkan tubuh.Langkah Nayya cepat dan tegas. Tapi hanya butuh satu detik. Satu pandang mata dari Galen, satu dekapan hangat yang ditawarkan tanpa kata—dan seluruh pertahanan yang tadi berdiri kokoh di hadapan Liam, runtuh dalam sekejap.Nayya terisak. Tangisnya pecah begitu tubuhnya bersandar di dada Galen."Galen…" bisiknya lirih, tubuhnya gemetar. "Aku… aku pikir aku bisa kuat."Galen memeluknya erat, menangkup kepalanya agar Nayya merasa terlindungi. “Gak apa-apa… Kamu uda
"Galen, aku ingin ketemu sama dia. Kamu bisa kan nganter aku ke sana besok?"Galen menatap Nayya lama. Permintaan itu membuat dadanya mencelos. Ia tahu betul, pertemuan itu bisa mengguncang kondisi Nayya, apalagi kondisi perempuan itu masih belum benar-benar stabil. Tapi dari sorot mata Nayya, Galen tahu… ini bukan sekadar keinginan. Ini tekad.“Nay… aku gak yakin itu ide bagus,” katanya hati-hati. “Kamu masih dalam masa pemulihan dan aku khawatir kamu drop lagi."“Aku harus ketemu dia,” balas Nayya, tegas. “Aku harus dengar penjelasan dari mulutnya sendiri. Aku juga harus buat perhitungan dengannya!"Galen menghela napas berat. “Kamu yakin? Aku hanya takut kamu kenapa-napa."Nayya menatap Galen lurus. “Aku ingin ketemu dia langsung, Galen. Dan aku pasti bisa jaga diri sendiri."Melihat tekat Nayya, akhirnya Galen hanya bisa menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk setuju.***Keesokan harinya…Nayya berdiri di depan kantor polisi dengan jantung berdebar keras. Tubuhnya masih
Langit sore di luar jendela rumah sakit mulai menguning, menandai hari yang perlahan merambat senja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari wajah pucat Nayya yang termenung di ranjang. Tatapannya kosong.Galen mendorong pintu pelan-pelan. Kakinya berat melangkah masuk, seolah membawa semua beban dunia. Begitu melihat Nayya duduk diam dengan tatapan kosong, rasa bersalah itu menyeruak lagi dari dadanya.“Nay…” panggilnya pelan.Nayya tak menjawab.Galen menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. Ia sempat menoleh ke luar—anak buah Rico, dua pria berbadan kekar, masih berdiri berjaga di koridor, memberi anggukan singkat saat mata mereka bertemu. Galen sedikit lega. Setidaknya, Nayya gak sepenuhnya sendiri waktu dia pergi tadi.Namun tetap saja, hatinya seperti terkoyak melihat wanita yang dicintainya duduk seperti boneka patah. Hampa.“Kamu udah minum obatnya?" tanya Galen, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.Nayya baru menoleh. Pelan. Pandangannya sendu, ma