Share

Bab 05

last update Last Updated: 2024-11-05 09:06:20

"Bisa gak kamu di sini aja?"

Keduanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Namun, Galen lebih dulu menyudahi tatapan itu karena khawatir Nayya merasa tidak nyaman.

"Saya, akan berjaga di luar."

"Jangan di luar!" Nayya memotong. "Kamu tidur di dalam sini aja. Di sana—" Ia menunjuk sofa panjang berwarna maroon yang berada di dekat lemari pakaian.

"Tapi Non, saya khawatir Tuan Liam tiba-tiba pulang dan—"

Nayya menghela nafas. Mimik wajahnya tampak kecewa karena penolakan Galen. "Padahal kamu juga bisa sambil istirahat kalau tidur di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman di luar ya terserah. Aku gak bisa maksa."

Galen menghela nafas pelan. Ia tau Bosnya cukup keras kepala dan menuntut dalam beberapa kesempatan. Termasuk kali ini. Jadi daripada berdebat, ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang Nona muda untuk tetap berada di dalam sana.

"Baik, Nona. Saya tidak akan ke mana-mana malam ini."

Nayya tersenyum lega setelah mendengar jawaban Galen. Ia mengucapkan terima kasih pada sang bodyguard sebelum mulai memejamkan mata.

"Selamat malam, Nona." Mimpi indah... lanjut Galen dalam hati.

Malam itu, Galen menepati janjinya untuk tetap berada di sana. Menemani sang majikan. Namun alih-alih istirahat, pemuda berbadan tegap itu justru mulai membereskan kamar Nayya yang berantakan akibat amarahnya tadi.

Ia bergerak pelan agar tak membangunkan sang majikan yang kini sudah terlelap. Barang-barang yang pecah ia kumpulkan di sudut, sementara barang lainnya ia tata kembali pada tempatnya dengan cermat. Kamar yang sebelumnya seperti kapal pecah kini mulai rapi kembali.

Di tengah-tengah kesibukannya, dari sudut mata, Galen melihat Nayya yang mulai tampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tadinya tenang perlahan berubah menjadi tegang, bahkan terdengar napasnya yang tersengal-sengal.

“Nona…” Galen mendekat dengan langkah hati-hati. Ia berlutut di sisi tempat tidur dan dengan lembut mengusap punggung tangannya yang tergeletak di atas selimut.

Tetapi Nayya tak merespons, dan justru genggamannya tiba-tiba menguat, meremas jemari Galen dengan erat, seolah mencari pegangan. Mata Nayya masih terpejam, namun dari bibirnya yang bergetar, samar-samar keluar kata-kata penuh rasa takut.

“Jangan… jangan tinggalkan aku….” suaranya parau, hampir seperti bisikan, namun penuh rasa cemas.

Galen merasakan hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Nayya lebih erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan yang bisa menenangkan. “Saya tidak akan ke mana-mana, Nona,” bisiknya lembut. “Saya di sini.”

Secara perlahan, wajah Nayya mulai melunak. Genggamannya yang tadinya kuat perlahan mereda, dan napasnya berangsur tenang. Galen menghela napas lega melihat perempuan itu kembali dalam tidur yang damai.

Namun, meski Nayya sudah tenang, Galen tetap berada di sisi tempat tidur, menatapnya dengan penuh kepedulian. Baginya, menjaga Nayya bukan sekadar tugas—ada perasaan yang ia sendiri tak bisa ungkapkan. Ia hanya ingin memastikan perempuan yang terlihat rapuh di depannya itu merasa aman, meski mungkin tak sepenuhnya menyadari kehadirannya.

Walaupun dia juga tidak tau, siapa yang dimaksud dalam mimpi sang Nona. Yang jelas, dia hanya ingin membuat Nayya tetap nyaman.

Pagi mulai merayap perlahan di balik tirai jendela. Ketika cahaya matahari menyelinap masuk, Nayya membuka mata. Ia menyadari dirinya masih menggenggam tangan Galen dan menatapnya penuh kehangatan.

"Galen… kamu di sini semalaman?” tanyanya, suaranya masih serak.

Galen tersenyum tipis. "Saya sudah janji pada Nona untuk tidak ke mana-mana.”

Nayya tersenyum kecil. Ia merasa aman, nyaman, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan.

Pagi menjelang perlahan, dan sinar matahari mulai menyusup melalui tirai jendela. Nayya perlahan membuka matanya, lalu ia mulai tersadar jika dia sedang bersama orang lain sekarang.

"Galen? Kamu udah bangun? Jam berapa sekarang?"

"Jam 10 pagi, Non."

"Apa?!" Nayya tersentak kaget. Dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas untuk memastikan.

"Kenapa gak bangunin aku?"

"Tidur anda nyenyak banget soalnya. Saya nggak tega buat bangunin."

Nayya mendesah panjang. Ia pijat pelan pelipisnya sebelum kembali buka suara. "Mas Liam beneran gak pulang ya?"

Galen menggeleng pelan sebagai jawaban.

Perempuan dengan gaun berwarna hitam itu mengerucutkan bibirnya sedikit sembari memeriksa ponselnya. Tidak ada satupun chat atau panggilan masuk dari Liam untuknya.

'Apa Mas Liam marah banget ya gara-gara masalah kemarin?'

'Tapi kan itu salah Mas Liam juga. Dia kan selalu egois selama ini.'

Nayya menggigit bibir bawahnya. 'Aku harus gimana ya? Mending telfon Mas Liam atau enggak?Kalau aku telfon, aku khawatir Mas Liam jadi besar kepala dan makin semena-mena. Tapi kalau aku gak telfon, takutnya dia...'

"Nona!"

Nayya yang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, langsung menengok ke arah Galen. "Hm?"

"Mau saya bawa sarapannya ke sini?"

Nayya tampak menggeleng. "Aku gak laper."

"Nona harus makan sedikit supaya Nona tidak sakit."

Perempuan itu mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sebelum akhirnya ia kembali bertanya, "Mas Liam beneran gak pulang ya?"

"Tidak, Nona."

"Dia gak telfon kamu? Siapa tau dia nanyain kabarku lewat kamu."

Galen kembali menggeleng. Jawaban itu membuat Nayya mengecilkan badannya dengan sedih.

"Anda mau saya telfon Tuan Liam?" tanya Galen dengan hati-hati.

Nayya ingin sekali mengatakan iya, namun mengingat jam berapa sekarang, ia langsung mengurungkan niatnya. "Gak usah. Paling jam segini Mas Liam lagi ada di kantor."

###

Di tempat berbeda, seorang pria dengan kaos polo berkerah, tampak berada di sebuah rumah yang cukup mewah di pinggiran kota. Rumah itu memiliki gaya arsitektur modern minimalis yang elegan namun tetap terasa nyaman. Ada taman kecil yang rapi, dengan pepohonan hias dan beberapa bunga warna-warni yang tumbuh di sepanjang jalan masuk. Bangunan utama memiliki warna netral, dominasi putih dan abu-abu, dengan aksen kayu pada beberapa bagian dinding dan jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk.

Pria itu duduk di ruang tamu, matanya terlihat lelah. Sementara di tangannya, secangkir kopi hitam tampak menyembulkan uap di atasnya.

"Sayaaang..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 115

    Mobil melaju pelan di jalanan kompleks elit yang mulai sepi. Di dalamnya, hanya suara mesin dan desahan napas berat Nayya yang terdengar. Galen melirik ke kaca spion, memperhatikan wanita yang duduk diam di kursi belakang dengan mata sembab dan wajah lelah.Setelah beberapa menit dalam keheningan, Galen akhirnya bertanya pelan, “Nona mau saya antar ke mana?”Nayya mengusap pipinya, mencoba merapikan suara yang masih basah oleh tangis. “Ke butik aja, Galen.”Galen melirik ke arah spion tengah dengan kening berkerut. “Ke butik? Tapi—""Hm. Aku istirahat di sana aja malam ini," potong Nayya cepat. “Lagipula di sana tempatnya sepi dan tenang. Jadi aku mau istirahat di sana aja malam ini."Galen menghela napas. “Saya ngerti Nona butuh ketenangan. Tapi di sana Nona gak bisa istirahat dengan layak. Setidaknya ikut saya ke apartemen, atau saya bookingin hotel... yang penting Nona bisa istirahat dengan nyaman. Apalagi Nona sedang hamil."

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 114

    Nayya menatapnya sebentar. Mata mereka bertemu—mata yang dulu penuh cinta, kini hanya menyisakan luka dan kecewa. “Kesempatan itu udah aku kasih bertahun-tahun, Mas. Dan kamu buang semuanya.”Liam menggenggam tepi pintu mobil, nadanya mulai putus asa. “Aku bisa buktiin! Apa pun yang kamu mau, Nay... aku lakuin! Jangan pergi kayak gini... tolong.”Nayya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat karena campuran marah, sedih, dan iba. Tapi ia tahu, kali ini bukan saatnya goyah.“Keputusanku udah bulat Mas!" ucapnya pelan. “aku gak mau terus hidup sama orang yang udah buat kedua orang tuaku meninggal!"Pintu mobil ditutup perlahan oleh Galen, tapi suara klik-nya terdengar seperti tembakan di dada Liam. Ia berdiri terpaku saat mobil mulai berjalan mundur, lalu melaju perlahan melewati gerbang rumah yang dulu mereka bangun bersama.“Nayyaaa!!”Liam berteriak memanggil nama istrinya, tapi yang ia

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 113

    Langkah kaki Liam terdengar semakin mendekat ke kamar. Pintu yang tak sepenuhnya tertutup pun akhirnya terdorong perlahan. Ia berdiri di ambang pintu, membisu selama beberapa detik saat melihat pemandangan di hadapannya.Nayya sedang membuka lemari, menarik satu per satu baju dan memasukkannya ke dalam koper besar berwarna hitam. Gerakannya cepat, tegas, tanpa ragu sedikit pun. Raut wajahnya dingin, matanya sembab tapi tegas.“Nay... kamu ngapain?” tanya Liam akhirnya, suaranya pelan tapi penuh tekanan.Nayya tak menjawab. Ia hanya melipat sehelai dress dan menekannya ke dasar koper.Liam masuk ke kamar, mendekat dengan hati-hati. “Kamu... kamu beneran mau ninggalin aku?”Nayya menoleh, menatapnya lurus. “Apa aku terlihat main-main, Mas?” suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Liam mengerutkan kening, seolah belum percaya dengan apa yang terjadi. “Terus anak kita gimana? Kasian dia Nay! Dia pasti butuh sosok ayah.”Nayya terkekeh pendek, getir. “Anak kita?” Ia menatap Liam tajam. “Mendi

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 112

    “Mas Liam benar-benar keterlaluan.""Tidak ada yang harus disesali Nona, atas semua yang sudah terjadi. Yang penting sekarang Nona harus bangkit dan melawan balik Tuan Liam. Karena saya yakin dia juga tidak akan diam saja, apalagi setelah mendengarkan ancaman anda kemarin.""Aku tau, makanya setelah ini aku akan bertemu pengacara. Aku—" Nayya menelan ludah. "Aku akan mengajukan permohonan cerai. Aku sudah muak dengan Mas Liam dan semua drama yang dia buat. Aku ingin lepas darinya, Galen."Galen tersenyum, tangannya terulur untuk membantu Nayya bangkit. "Apapun keputusannya. Saya akan selalu mendukung anda, Nona."Nayya bangkit dan berdiri berhadapan langsung dengan Galen. Ia menghapus air matanya dan tersenyum tipis ke arah pria itu. Nayya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih sebelum mengajak Galen pergi dari sana.Tujuan mereka selanjutnya adalah mencari solusi agar dia dan Liam bisa segera bercerai.***Kantor hukum itu terletak di sebuah bangunan tua namun elegan di pusat kota.

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 111

    "Galen..." bisiknya.Pria itu berdiri perlahan dari kursinya, lalu berlutut di depan Nayya. Tangannya masih menggenggam tangan perempuan itu. “Saya tahu ini bukan waktu yang tepat... Tapi saya akan tetap di sini. Menjaga Nona. Menemani. Apapun yang terjadi.”Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut mata Nayya. Tapi kali ini bukan karena luka. Melainkan karena kehangatan—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Dan ketika Galen dengan hati-hati menyentuh pipinya, menyeka air mata itu dengan jari-jarinya yang hangat, Nayya membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam sentuhan itu.“Terima kasih,” ucapnya pelan. “Terima kasih karena tetap di sini.”Galen hanya mengangguk, lalu mengecup punggung tangan Nayya penuh hormat dan kelembutan."Galen...""Iya Nona?""Setelah keluar dari rumah sakit, tolong temanin aku ya!"Galen menatap perempuan itu penuh tanya. "Nona mau ke mana?"Nayya hanya diam tanpa

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 110

    "Apa maksud kamu?" tanya Cintya dengan nada dingin.Liam menghela napas berat, tangannya mengepal di atas lutut. "Nayya ngasih dua pilihan... cerai dan kasih semua asetku ke dia, atau dia bawa semua ini ke polisi."Cintya tercengang. "Apa?! Dia gila?!""Dia serius, Cintya. Dia kasih aku waktu sebulan buat mikir," kata Liam dengan nada getir.Cintya berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Heelsnya berdetak keras di lantai kayu. Wajahnya penuh kecemasan dan kemarahan."Mas... kamu gak boleh nurutin dia," katanya akhirnya, berhenti tepat di depan Liam. "Kalau kamu kasih semua itu ke Nayya, kita gak punya apa-apa lagi! Semua yang udah kita rencanain bakal sia-sia."Liam mendongak, matanya sayu. "Terus aku harus gimana, hah? Kalau dia bawa kasus ini ke polisi, aku bisa dipenjara, Cintya! Sia-sia pengorbananku selama ini."Cintya merapatkan bibirnya. Wajahnya berpikir keras, matanya berkilat penuh perhitungan. "Siapa tau itu han

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 109

    "Istri? Setelah perbuatan anda padanya, anda masih menyebutnya istri?" tanya Galen dengan nada sarkas."Kenapa nada bicaramu seperti itu?" Liam mengerutkan keningnya. Tampak tidak terima."Mungkin kalau saya jadi Tuan, saya sudah tidak punya muka untuk bertemu Nona Nayya, apalagi setelah kejahatan yang saya perbuat.""Jaga ucapanmu Galen!" Liam menarik kerah kemeja yang Galen pakai. "Kamu lupa apa posisimu di sini? Jangan terlalu ikut campur!""Dan Tuan juga jangan lupa kalau saya ini bodyguard Nona Nayya. Saya punya kewajiban untuk melindungi dia, terutama dari pria seperti anda?""Apa?!" Liam mengepalkan tangannya. Ucapan Galen sangat membuat dia emosi. "Nayya di dalam kan? Aku akan menemuinya." Menghindari keributan dengan Galen, Liam memilih untuk masuk ke dalam ruangan yang ada tepat di belakang pria tampan tersebut. Lebih baik ia menemui Nayya daripada meledeni bodyguard yang mulai tak tau tempat.Kleeek!Nayya sed

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 108

    "Galen..." suara Nayya terdengar serak, memecah keheningan kamar rawat yang hanya diterangi lampu temaram."Iya, Nona?" sahut Galen, segera merapat ke sisi ranjang, menatap wajah perempuan itu yang tampak begitu rapuh.Dengan mata sembab dan merah, Nayya menatap Galen penuh iba. Ada ketakutan, ada kebingungan, dan di balik itu semua, ada permintaan tolong yang tak terucapkan. Ia butuh seseorang yang bisa diajak bicara, seseorang yang bisa membantunya memutuskan langkah berikutnya."Menurut kamu... apa yang harus aku lakukan setelah ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, seolah takut jawaban itu sendiri akan menghancurkannya lebih dalam.Galen menahan napas sejenak, berpikir. Namun akhirnya ia balik bertanya dengan suara lembut, "Menurut Anda sendiri bagaimana?"Sejenak Nayya terdiam, lalu dengan suara bergetar, ia menjawab, "Aku ingin cerai dari Mas Liam. Aku ingin pergi jauh darinya... Aku ingin dia menghilang dari hidupku."Kalimat itu meluncur dari bibir Nayya dengan getir. Ia meng

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 107

    Galen berlari menerobos pintu gawat darurat, menggendong Nayya yang tubuhnya sudah begitu lemah. Keringat bercucuran di dahinya, tapi ia tak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya satu: *Selamatkan Nona Nayya dan bayinya.*Tim medis yang sigap segera menghampiri, seorang dokter perempuan paruh baya memimpin, matanya penuh ketegasan."Segera bawa ke ruang tindakan! Siapkan peralatan monitoring janin!" perintahnya cepat.Tandu digelindingkan mendekat. Dengan hati-hati, Galen memindahkan Nayya ke atasnya. Tubuh perempuan itu gemetar hebat, wajahnya memucat bagai kertas. Tangannya masih menggenggam perutnya erat-erat."A-aku... anakku..." isaknya lirih."Ssst, tenang Bu, fokuskan napasnya," suara perawat mencoba menenangkan, sambil memasang alat monitor di perut Nayya.Galen ikut berlari di samping tandu, sampai akhirnya seorang perawat pria menghentikannya di depan pintu ruang tindakan."Maaf, Pak. Bapak silakan tunggu di luar!""Aku... aku harus—" Galen tak bisa melanjutkan kata-katany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status