LOGINHari itu Bella baru saja keluar dari kantor untuk makan siang ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Bella, Tante mau ketemu kamu sebentar. Ada yang ingin Tante bicarakan. Bisa, kan?” Itu dari Bu Ratna, ibunya Han. Bella sempat ragu, tapi akhirnya membalas singkat: “Baik, Tante. Di mana?” Tak lama, ia sudah duduk di dalam mobil mewah berwarna hitam, dengan sopir yang membawanya ke sebuah tempat yang tak ia kenali. Sepanjang jalan, Bu Ratna tersenyum ramah, seakan tidak ada yang janggal. “Bella, kamu makin cantik saja. Tante bersyukur sekali Han memilihmu.” Suaranya hangat, tapi ada penekanan halus di dalamnya. Bella tersipu kaku. “Ah… Tante terlalu memuji.” Mobil berhenti. Ketika pintu dibuka, Bella terperanjat. Di hadapannya berdiri sebuah butik megah dengan etalase yang memamerkan gaun-gaun pengantin putih berkilau. Jantungnya berdetak kencang. “Tante… kita… kenapa ke sini?” Bu Ratna merangkul lengannya erat, seakan tak memberi ruang untuk mundur. “Sayang, waktunya tidak banyak. Pernikahan kalian harus dipersiapkan dengan baik. Tante sudah janji sama keluarga besar, minggu depan semua harus fix. Jadi hari ini fitting baju pengantin dulu, ya?” Bella terbelalak. “Pernikahan? minggu depan?” suaranya hampir bergetar. “Ya, kenapa kaget begitu? Han belum bilang?” Bu Ratna menaikkan alis, senyum manisnya menyembunyikan otoritas yang tak bisa dibantah. Bella ingin membuka suara, ingin menjelaskan kalau dirinya belum siap, bahkan hatinya penuh luka karena pengkhianatan Han. Namun bibirnya kelu, apalagi tatapan tajam Bu Ratna seolah berkata, Jangan macam-macam. Seorang pramuniaga butik langsung menyambut mereka, menyodorkan beberapa gaun putih yang berkilau indah. “Silakan, Mbak Bella. Ruang ganti di sebelah sini.” Bella melangkah kaku, seakan tubuhnya bergerak tanpa perintah dari pikirannya. Tangannya gemetar ketika menyentuh kain satin halus itu. Di cermin besar ruang fitting, ia melihat pantulan dirinya, seorang gadis yang tampak seperti calon pengantin bahagia, padahal matanya merah menahan gelisah. "Aku tidak bisa," ucapnya pada diri sendiri, ia keluar tanpa mencoba satupun gaun pengantinnya. Ibu Han menoleh, wajahnya yang sebelumnya sumringah langsung berubah masam. "Kenapa gak jadi di coba,Bella?" nada suara nya masih terkesan lembut tapi tetap ada tekanan. "Apa kamu gak suka baju-bajunya?" Bella melangkah mendekat ke arah Ibunya Han. "Tante, aku mau menunda pernikahan ini," ucapnya meluncur dengan berani. "Aku belum siap." Ibu Ratna tertegun sesaat, tanpa banyak bicara langsung melengos pergi meninggalkan Bella. Bella tahu betul calon mertuanya itu sedang menahan marah makanya langsung pergi karena takut amarahnya meledak di sana. Sebagai istri pejabat tentu saja harus menjaga sikap dan nama baik suaminya. Bella menatap kepergian Wanita paruh baya dengan rambut yang di sanggul itu dengan tatapan lega. akhirnya ia berani mengatakan meskipun ia hanya berani berkata untuk menundanya bukan membatalkannya. Pramuniaga butik yang masih kebingungan hanya bisa ikut menatap Bella. "Maaf ya, Mbak! sudah merepotkan kalian." kata Bella seraya menundukkan kepala tanda permintaan maafnya. Lalu pergi meninggalkan butik kembali ke kantornya. Seharian itu di kantor ia berusaha menghindari Han dan bahkan mematikan ponselnya karena tahu Han akan mencarinya setelah Han di marahi ibunya. Ketika jam kerja berakhir, hampir semua karyawan sudah pulang. Bella masih duduk di kursinya, menatap kosong ke arah jendela kantor yang memperlihatkan langit senja. Warna jingga yang seharusnya indah justru membuat dadanya terasa sesak. Ia menghela napas panjang, lalu beranjak berdiri. Tasnya sudah di tangan ketika pintu ruangannya tiba-tiba diketuk keras dari luar. “Bella.” Suara itu, berat, familiar, dan entah kenapa membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Renand. Bella memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Renand berbeda dari Han. Ia tahu tatapan Renand selalu menusuk, selalu membuatnya merasa telanjang tanpa bisa bersembunyi. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu. Renand berdiri di sana, mengenakan setelan jas yang masih terlihat rapi. Aura dingin dan wibawa khasnya memenuhi kantor yang sudah sepi itu. "Kenapa sampai menyusul kesini?" “Kenapa ponselmu mati?” tanyanya tanpa basa-basi. Bella berusaha terlihat tenang. “Baterai ponsel ku habis.” Renand tersenyum miring, sebuah senyum yang membuat Bella semakin gugup. “Kamu bisa bohong ke semua orang, Bel. Tapi nggak ke aku. Dari wajahmu aja, aku tahu kamu habis ditekan. Ibunya Han?” Bella tercekat. Bagaimana Renand bisa selalu tahu? "Kamu memata-mataiku?" tanya Bella "Lebih tepatnya, menjagamu." Renand berjalan mendekat ke arah Bella, lalu meraih pinggang Bella mendekat ke arahnya. "Aku kangen kamu," bisik Renand di telinga Bella, otomatis telinga dan wajah Bella memerah. "Lepas, Ren! ini di kantor ku." "Sudah gak ada orang disini," Renand mengecup bibir Bella. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua.Tubuh Bella terasa berat. Pandangannya kabur, langkahnya limbung di lorong gelap rumah Martin. Keringat dingin bercampur panas aneh dari dalam tubuhnya. Suara detak jantungnya sendiri terdengar seperti palu di telinga.“Apa… yang dia lakukan padaku…” bisiknya.Dari balik bayangan lorong, seseorang muncul, wajahnya samar di bawah cahaya redup. Sosok itu terkejut melihat Bella yang nyaris terjatuh. Ia cepat menahan tubuh Bella sebelum membentur lantai.“Bella? Hei! Kamu kenapa?”Bella hanya menggigit bibir, berusaha menahan tubuhnya yang bergetar hebat. “Han… dia… sesuatu di minumanku…”Renand terdiam. Tatapan matanya berubah dingin. Ia menggendong Bella ke kamar kosong di ujung lorong, membaringkannya perlahan.“Tenang. Aku di sini.”Bella berusaha menahan kesadarannya yang mulai kabur. “Jangan… jangan biarkan dia mendekat lagi…”Renand mengangguk, lalu menatap ke arah pintu dengan rahang menegang."Renand, tolong aku!" Bella merengek, bangkit dengan pakaian tidur yang sedikit terbuka,
Setelah pertungan Renand, perasaan Bella semakin kacau ia merasa kini tak ada lagi yang bisa ia harapkan. Hidupnya benar-benar hampa, dan selalu mendapat pengkhianatan. Bella merenung di kamarnya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sampai akhirnya ia tak tahan lagi menjadintawanan keluarga Martin."Aku ingin kita pindah, Han," kata Bella pada Han, saat Han baru saja keluar dari kamar mandi."Pindah bagaimana maksudnya?""Kalau kamu masih mau pernikahan ini sampai satu tahun, kita pindah ke rumah orang tua ku.""Tapi, Ayah tidak akan setuju.""Kalau kamu tidak mau, kita bercerai saja,""Bella," Han tidak mau bercerai, meskipun perjanjian pernikahan hanya satu tahun tapi Han tidak akan pernah menceraikan Bella apapun yang terjadi. "Nanti aku bicarakan dulu dengan orang tuaku, ya?""Aku tunggu jwabanmu secepatnya.""Baiklah," Han mengambil segelas air di nakas, dan saat Bella kembali menatap ke luar jendela Han memasukan sebuah serbuk ke dalam minuman Bella, lalu berjalan menghampir
Hari pertunangan itu berlangsung megah di kediaman keluarga Han. Taman belakang disulap menjadi tempat pesta, dihiasi bunga putih dan lampu-lampu gantung yang berkilau seperti bintang. Musik lembut mengalun, tamu-tamu berbusana elegan saling bertukar senyum, membicarakan betapa serasinya pasangan yang sedang dirayakan hari itu, Renand Wijantara dan Amanda Daraswita.Amanda tampak cantik dalam gaun krem muda, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun di sampingnya, Renand berdiri dengan ekspresi datar. Tatapannya dingin, terlalu kaku untuk disebut bahagia. Sesekali, matanya mencari ke sekeliling ruangan… dan berhenti pada satu sosok di kejauhan.Bella.Ia berdiri di sudut taman, mengenakan dress hitam sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai. Senyum tipis yang dipaksakan tak mampu menyembunyikan matanya yang kosong. Sejak awal acara, Bella menghindari kontak mata dengan siapa pun, apalagi dengan Renand.Namun tatapan itu… tatapan yang sama penuh kerinduan dan luka yang terus mengikut
Kabar itu menyebar secepat kilat, jauh melebihi dugaan Bella.Renand Wijantara, pria yang dulu memohon padanya untuk bertahan, kini resmi mengumumkan pertunangannya dengan Amanda, sepupu Han. Pengumuman itu disiarkan langsung di televisi, disaksikan oleh seluruh keluarga yang terpaku di depan layar. Bella membeku di kursinya, jemarinya mencengkeram erat cangkir kopi, seolah mencari kekuatan.Han, dari ujung meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kabar bahagia, bukan?" ujarnya datar, sambil mengaduk teh.Bella membisu, matanya terpaku pada Renand di layar. Pria itu tersenyum kaku di samping Amanda, tangan mereka bertautan di depan kamera.Han menyandarkan tubuh, tatapannya menusuk. "Tidak ingin memberi selamat?"Bella mendengus pelan. "Untuk apa?""Untuk pria yang dulu kau bela mati-matian." Han mendekat, suaranya tajam namun rendah. "Setidaknya kau bisa tenang sekarang. Dia sudah memiliki calon istri yang jelas."Bella menoleh cepat. "Berhenti bicara seperti itu
Suara ketukan pintu terdengar pelan tapi berulang—ritmis, penuh kesengajaan. Han yang sedang menatap layar laptopnya langsung menegakkan tubuh. Ia tidak sedang menunggu siapa pun.“Masuk,” katanya datar, tanpa mengalihkan pandangan.Pintu terbuka. Aroma parfum manis yang pernah ia kenal memenuhi ruangan. Han terdiam.“Sudah lama, ya,” suara itu lembut, tapi menusuk seperti belati.Han mendongak perlahan. “Fanya.”Perempuan itu tersenyum miring. Ia menutup pintu dan berjalan santai mendekat, tumit sepatunya menimbulkan suara kecil di lantai marmer. “Kamu kelihatan kaget. Padahal aku cuma ingin ngobrol.”“Ngobrol?” Han mendengus. “Kalau kamu datang buat main-main lagi, keluar saja.”“Main-main?” Fanya tertawa pendek, matanya berkilat. “Lucu sekali kamu ngomong begitu. Padahal dulu kamu yang paling suka main dengan aku.”“Sudah cukup.” Han menekan meja dengan telapak tangannya. “Kita selesai waktu itu. Jangan buat masalah lagi.”Fanya mengangkat alis, senyumnya tidak hilang. “Kamu yakin
Siang itu rumah keluarga Han terasa lengang. Semua orang pergi bekerja, Han, kedua orang tuanya, bahkan Amanda yang biasanya sibuk di rumah pun ikut keluar untuk menghadiri rapat bisnis. Hanya para pelayan yang lalu-lalang dengan langkah hati-hati, takut membuat kegaduhan di rumah yang kini terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Namun, di antara kesunyian itu, suara mobil berhenti di depan gerbang.Renand turun dari mobil dengan langkah pasti. Wajahnya tegang, matanya gelap. Sejak kejadian makan malam itu, Bella terus menghindar darinya, tidak membalas pesan, tidak menjawab telepon, bahkan menghilang setiap kali mereka berada di tempat yang sama.Hari ini, ia tidak ingin menunggu lagi. Ia harus tahu alasannya.“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu pelayan gugup ketika Renand melangkah masuk tanpa banyak bicara. “Nyonya muda sedang di taman belakang.”Renand hanya mengangguk, lalu terus berjalan melewati lorong panjang menuju taman. Setiap langkahnya berat, seolah membawa beban yang m







