Keluar dari rumah Allan, Ricky mengantar Dayinta kembali ke tempat kosnya. Tapi dia lebih dulu mengajak Dayinta makan malam. Sederhana saja. Mereka beli bakso yang mereka temui di pinggir jalan sambil lewat. Tapi ternyata lumayan enak juga. Sambil menikmati bakso panas, mereka masih bicara tentang kejadian yang dialami Mimi. Benar-benar mereka tidak menyangka, Nehan bisa segila itu kelakuannya. Dayinta dan Ricky selama ini cukup kagum dengan kakak tingkat mereka itu. Ternyata siapa yang menduga dia punya sisi lain yang mengerikan. "Kurasa, dia pasti biasa aneh-aneh sama ceweknya. Kalau nggak, mana mungkin dia tega sama Mimi." Dayinta masih kesal, bicaranya sedikit ketus. "Bisa jadi. Ingat yang aku lihat dia sama cewek di tempat kosnya? Itu juga entah cewek yang mana lagi. Serius, aku masih heran ternyata kating sekelas Nehan bisa kayak gitu." Ricky juga cuma bisa geleng kepala memikirkan Nehan. "Menurut kamu, Mimi akan lapor kejadian ini ga? Memproses buaya itu?" tanya Dayinta. "A
Tatapan Mimi belum beralih. Permintaan Allan rasanya seperti hadiah istimewa buat Mimi. Allan minta Mimi balik ke rumah ini lagi. Ada rasa lega yang meluap di hati Mimi. Mimi rindu rumah ini, rindu kamar depan ini yang biasa dia tempati, yang ternyata masih sama seperti saat Mimi keluar dari rumah ini. "Maafkan aku, Mi." Allan membuyarkan lamunan Mimi. "Kenapa minta maaf, Kak? Aku justru menjadii beban. Tante Velia dan Kak Allan ikut kepikiran karena aku jauh. Aku, aku seharusnya lebih sabar sama Kakak," kata Mimi. Dia tidak mau Allan merasa bersalah begitu. Pilihan Mimi sendirilah untuk keluar dan pindah kos. "Kamu sudah sabar, aku yang terlalu egois." Allan menatap mata Mimi yang masih sedikit bengkak. Yang Allan khawatirkan Mimi akan mengalami trauma karena kejadian di villa. Kekasih Mimi, orang yang dia cintai justru tega menyakitinya. "Aku, aku akan tinggal di sini lagi." Mimi menyetujui permintaan Allan. Allan tersenyum. Senang dan lega. Mimi akan dekat lagi dengannya. Setia
Refleks, Mimi memegang lengan Dayinta erat. Tiba-tiba saja tangannya gemetar, dadanya berdegup kencang, kedua kaki Mimi terasa lemas. Dayinta dan Ricky pun sangat terkejut, Nehan berani datang ke rumah ini! "Mimi ...," panggil Nehan. "Papa ...," ucap Mimi. "Papa!" "Kita masuk, Mi." Dayinta membantu Mimi berdiri. "Mi, tolong, aku mau bicara sama kamu." Nehan maju beberapa langkah. Dia menatap Mimi yang mulai ketakutan. Mimi tidak mau melihat ke arah Nehan. "Aku mau masuk." Itu yang Mimi bisikkan pada Dayinta. "Oke, kita masuk." Dayinta merangkul Mimi dan membawa gadis itu ke ruang dalam. Hendra, Viviana, Allan, dan Velia muncul. Rasa terkejut juga mereka tunjukkan karena Mimi pucat sekali. "Kenapa?" tanya Allan. "Nehan. Dia di depan," jawab Dayinta. "Dia di sini?" Allan tak kalah terkejut mendengar itu. "Ayo, kita ke kamar saja." Viviana mengajak Mimi ke dalam. Dayinta ikut masuk ke kamar. Sedangkan Hendra, Allan, dan Velia menuju ruang depan. Nehan berdiri berharap Mimi akan
Suasana ruang tamu hening, meski ada beberapa orang di sana. Orang tua Mimi, Velia dan Allan, lalu Ricky dan Dayinta. Mereka diam, memandang pada Mimi yang duduk dengan wajah sendu, sesekali memandang pada Nehan. Mimi, menguatkan hatinya untuk bertemu Nehan. Sebenarnya dia belum siap. Tapi dia meyakinkan dirinya sendiri, dia harus menyelesaikan persoalan dengan Nehan. Viviana dan Hendra ada di kiri dan kanannya. Mereka mendampingi Mimi agar gadis itu bisa tetap tenang berhadapan dengan Nehan. "Ayo, kita ke dalam." Velia mengusap pundak Allan. Dia berpikir Mimi mungkin akan lebih nyaman jika tidak banyak orang yang ikut terlibat dengan pembicaraannya. Allan mengangguk. Lalu dia mengikuti Velia ke dalam. Begitu pula Ricky dan Dayinta akhirnya memilih meninggalkan ruang tamu. Tinggal Nehan berhadapan dengan Mimi dan orang tuanya. Dia melihat Mimi yang memandang lurus padanya, tapi tatapan Mimi tidak ke arahnya. Mimi memang tidak mau melihat Nehan. Rasa marah dan muak memenuhi rongga d
Hari-hari berlalu. Mimi makin membaik. Kesedihannya perlahan menghilang. Apalagi dia fokus dengan studinya. Ujian sudah di depan mata. Hingga akhir bulan Mimi akan bergelut dengan berbagai ujian. Mimi tidak mau memikirkan yang lain. Setiap ingat Nehan, dia akan cepat alihkan dengan melakukan berbagai aktivitas. Viviana sudah balik ke Surabaya. Tapi setiap hari berulang kali Viviana akan menghubungi Mimi, memastikan jika putrinya itu baik-baik saja. Velia dan Allan juga sama. Mereka terus mendampingi Mimi agar dia cepat pulih. "Mi, kalau ujian selesai, kamu pulang?" tanya Allan. "Iya, Kak. Aku mau pulang." Mimi menjawab sambil tangannya menyirami bunga-bunga di taman depan. Sementara Allan merapikan sederetan tanaman di sisi yang lain. "Aku antar, ya? Jadi papa mama kamu ga usah jemput ke sini." Allan menawarkan diri. "Oh, oke ...." Mimi menoleh pada Allan. Lalu dia kembali memperhatikan tanaman yang dia siram. "Ada rencana ke mana gitu, liburan?" tanya Allan lagi. "Belum tahu, K
Mimi memandang Allan. Pria tampan di depannya itu menunggu jawaban Mimi. "Aku ... Beri aku waktu ... Aku akan memikirkannya." Mimi mengalihkan pandangan. Dia melihat keluar jendela mobil, lurus ke depan. Allan sedikit kecewa. Meskipun dia tahu sangat mungkin Mimi tidak akan segera menjawab, dia tetap berharap, ada peluang Mimi bisa menerima dia. "Oke. Aku akan menunggu. It is okay." Allan mengulum senyum tipis di bibirnya. Lalu kembali dia menjalankan mobilnya. Perjalanan mereka berlanjut. Dan suasana tidak seceria sebelumnya. Baik Allan maupun Mimi tidak banyak bicara. Senyum dan canda hanya sesekali saja terdengar. Hingga tiba di rumah keluarga Mimi, kekakuan belum juga mencair. Setelah mobil di parkir, segera Mimi turun. Sambil. Menenteng kopernya, Mimi bergegas masuk ke rumah. Dia mencari Viviana, sang ibu. Viviana memeluk Mimi erat. Dia sangat lega putrinya pulang dengan keadaan baik. Mimi bisa tersenyum lebar. Sangat melegakan. "Terima kasih sudah mengantar Mimi, Allan. Ka
Mimi membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Allan masuk. Lalu dia mengantar Allan ke kamar tamu yang ada di sebelah kiri ruang tamu. "Kakak istirahat saja. Atau, Kakak mau makan?" Mimi bertanya pada Allan. "Aku sudah makan. Om dan Tante ....""Papa dan Mama sudah di kamar. Kalau ga perlu apa-apa, aku ke kamarku, Kak," sahut Mimi. "Oke. Makasih, Mi." Allan tersenyum. Ingin sekali dia bertanya, apakah Mimi siap menjawab permintaannya. Tapi Allan ragu-ragu. Mimi melangkah menjauh. Muncul tiba-tiba ide di kepala Allan. Dia memanggil gadis itu. "Mimi!" Mimi menghentikan langkah dan menoleh. "Ehh, besok mau jalan?" tanya Allan. "Kakak ga ada urusan sama Andini?" balas Mimi. Yang Mimi tahu Allan ke Surabaya untuk keperluan pekerjaan. "Ternyata tadi udah langsung kelar. Jadi besok aku free. Mau ya?" pinta Allan. "Oke. Kakak mau ke mana, aku antar," ucap Mimi. "Lihat besok, deh. Sekarang kamu pasti udah capek," kata Allan. "Iya. Selamat malam. Selamat istirahat, Kak." Mimi menerusk
Liburan terasa panjang. Sehari, seminggu, dua minggu, Allan tidak sabar. Dia sangat rindu pada Mimi. Rasanya ingin segera bertemu lagi dengan gadis itu. Bagaimana tidak rindu? Saat Mimi bilang iya, mau jadi kekasihnya, malah mereka berjauhan. Allan mencoba mengulik agar Mimi mau segera balik ke Malang. Tapi Mimi belum goyah. Gadis itu juga masih asyik dengan liburannya. Sebenarnya Mimi ingin cepat ke Malang lagi. Dia sengaja tinggal lebih lama, karena akan memberi Allan kejutan. Tidak lama Allan akan merayakan ulang tahun. Dan saat itulah Mimi akan muncul di hadapan Allan. "Kangen. Serius, Mi. Tiap hari cuma mandang lukisan kamu. Senyum, sih, sayangnya ga bisa balas kalau aku ngomong." Allan sedikit cemberut. Mimi mesem, menutup mulut dengan tangan. Lucu sekali melihat ekspresi Allan. Dia bisa bersikap sok manja begitu. Padahal selama ini Allan selalu jaim dan berlagak dingin. Kalau dia bisa sampai begini, Allan benar-benar telah kembali pada dirinya yang sebenarnya. "Ketawa aja, y