Sebuah Apartemen A di kawasan elite kota Z itu tampak sunyi. Dalam sebuah ruangan gelap, sebuah api tersulut di ikuti asap yang mengepul pelan. Desahan napas berat menandakan ada hal yang berbeda dari pemilik ruangan tersebut. Lalu puntung rokok yang masih menyala itu teremas dan padam. "Kenapa? Kenapa aku seperti ini?"Bayangan dalam gelap itu kini terlihat nyata saat sebuah cahaya menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Meski jendela kaca besar itu tertutup gorden, cahaya-cahaya itu masuk memberi penerangan. Ini telah lewat dari 18 jam. Dan sosok itu masih mengenakan baju yang sama. Ruangan itu tampak pengap dengan asap rokok yang masih terasa di udara lengkap dengan botol minuman yang tergeletak. Namun sosok itu masih terdiam, terduduk dengan ekspresi yang tak dapat di ekspresikan. Helaan napas berat terdengar sekali lagi. "Ada yang salah dengan diriku,"Sekali lagi, bayangan sosok cantik itu terlintas di pikirannya. Lalu seakan nyata di depan matanya. Kenzie mengerutkan ke
Saat Kenzie masih terpaku dengan semua logika yang mulai ia kuasai, jiwanya sedikit tenang. Ia mengusap rambutnya dan dengan satu gerakan tangan, ia menyibak tirai gorden jendela hingga terbuka luas. Cahaya matahari yang mulai tinggi memasuki celah dengan sangat cepat. Matanya mengernyit pelan dengan rasa sakit yang mulai terasa di wajah dan tubuhnya. Ia berdiri tegap dengan dua tangan memasuki sakunya. Pikirannya jelas melayang tertuju pada Ellina. Kesadaran dirinya memuncak saat dia menyadari bahwa dia hampir saja memperkosa Ellina. Rasanya, gadis itu benar-benar di luar batas kendalinya. Hingga ia tak memperhatikan sama sekali bahwa saat itu, Ellina tak sadarkan diri di bawah kuasanya. Bagaikan menyesal, ia merasa udara menghimpit jantungnya. Perasaannya bergejolak cepat. Saat ini, ia harus tahu keadaan gadis itu segera. Karena ia sadar, semua karena ini ulahnya yang tak dapat mengendalikan diri. "Tuan, laporan yang Tuan minta, telah selesai." Ketukan pintu di ruangannya lengk
"Video itu telah di potong dan di edit sedemikian rupa. Sebelum aku menamparnya, Kakak mengatakan bahwa ia benar-benar bersyukur telah di keluarkan dari keluarga Rexton. Dia berkata, keluarga Rexton akan mati secara pelan karena akan menuju kebangkrutan!"Wajah Lexsi tertunduk dengan kata-kata yang sangat pelan. "Ayah, aku hanya tak ingin keluarga kita di remehkan setelah Kakak di besarkan dari keluarga ini,"Dan wajah Aldric pun jatuh. Ia begitu tersentuh dengan kata-kata Lexsi yang terakhir. Lalu kebencian dan ketidakterimaaan yang baru saja ia rasakan lenyap. Ia seakan lupa, untuk membela Ellina. Ia seakan lupa akan rasa rindu oada Putrinya. Namun rasanya putrinya telah benar-benar berubah. "Apakah Kakakmu benar-benar mengatakan itu?" Lexsi mendongak. Ia mengangguk pelan. "Ayah, aku tahu aku salah. Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi.""Tidak," ujar Aldric. "Hal yang kau lakukan sudah benar."Senyum tipis terukir di kedua sudut bibir Lexsi. Matanya terlihat cerah. Semua duk
Lykan Hypersport itu melaju membelah kota Z. Udara sore musim semi dengan sentusan aroma bunga yang mulai berbunga menyambut jalanan kota Z dengan sangat lembut. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah villa yang jauh dari kedamaian. Dari sudut telinga sang pemilik mobil, terdapat sebuah earphone yang tertempel. Dengan sambungan sebuah telepon yang baru saja tersambung. "Lander, aku minta kau selidiki Maple Villa milik keluarga E. V. dalam waktu satu tahun terakhir.""Tuan, itu adalah sebuah villa yang sangat di sayangi oleh Tuan Muda Ernest.""Aku tak menyuruhmu untuk menghancurkannya.""Oh, di mengerti Tuan."Kenzie menutup teleponnya saat mobilnya telah sampai di halaman luas Maple Villa. Ia keluar dan menatap bangunan itu dengan datar. Saat seorang pelayan datang, ia hanya mengucapkan namanya lalu pelayan tersebut dengan teratur memakirkan mobilnya. Melangkah memasuki kawasan Villa, ia hanya menunggu hingga pintu Villa terbuka lebar. "Maaf Tuan--""Aku mencari E
Ellina membuka matanya saat merasakan dingin di tubuhnya. Malam ini telah lewat dari tengah malam. Kegelapan dan kesunyian yang datang seakan meremas hatinya kuat. Ia berjalan ke sisi kamarnya dan menyibak tirai jendela kamarnya. Menatap kegelapan di ujung hutan pinus yang tak berujung. Senyumnya terkembang tipis, matanya meneliti dalam meski tak dapat menemukan apapun. Di sebuah meja yang tak jauh dari tempat tidurnya, sebuah kartu hitam baru dengan garis emas empat sisi dan bunga mawar merah kecil yang tengah mekar di tengah kartu tergeletak begitu saja. Mata Ellina menyipit saat mengingat pertemuannya dengan Kenzie. Kali ini wajahnya membeku tanpa ekspresi. Meski kemudian kedua pipinya merona merah saat mengingat lamaran itu. Namun bukan itu kemauannya. Semanis apapun permintaan lamaran itu, ia berniat tak akan menerimanya. Ia masih Ingat, karena Kenzie, dia mati secara mengenaskan tujuh tahun lalu. Terkaitnya sebuah takdir baru yang ia bangun, membuat alam menyimpulkan takdir b
Ruangan pertemuan itu terlihat damai. Saat percakapan inti itu selesai, dua keluarga masing-masing pergi. Menyisakan Lexsi dan Kenzie yang masih duduk berhadapan. Lexsi tampak malu-malu dengan senyum lembut namun menggoda. Sedangkan Kenzie menyesap tehnya pelan lalu meletakkan gelas itu tenang. "Aku tak tahu bahwa undangan lebih dulu di sebar," ucap Lexsi menyembunyikan rasa senangnya dengan mimik yang terlihat enggan. Hening sesaat. Kenzie sama sekali tak menatap Lexsi saat dia berkata, "Bukankah kau senang?"Tak bisa menutupi rasa bahagianya, Lexsi memilih bertanya lagi. "Bagaimana denganmu? Keluarga kita sudah merencakan hubungan kita sangat lama. Kurasa ini adalah takdir bahwa kita bisa bersama."Kenzie menatap Lexsi sesaat. Auranya tenang dan menekan rasa dinginnya. "Itu rencana keluargaku, bukan rencanaku!"Kata-kata itu dingin dan menusuk. Membuat Lexsi sedikit peka namun dia mencoba berpikir lain. Tak mungkin kan, dia akan menentang keluarganya? Undangan sudah disebar."Pre
Siang ini, Ellina tak kembali bekerja dan lebih memilih untuk pergi ke Hyronimous University. Langkahnya memasuki kawasan universitas dengan sangat ringan. Tatapan kagum pada kecantikannya tak membuat ekspresinya menghangat. Ia melangkah menuju jurusan IT, sebelum tangannya tertarik ke belakang. Tubuhnya berputar otomatis mengikuti langkah penarik tangannya. "Ikut aku,"Ellina tak bisa berpikir sesaat dan hanya menurut. Namun saat matanya melihat dengan jelas, tubuhnya tak bergerak dan dengan ringan ia menarik tangannya. "Aku tak punya urusan denganmu," bantah Ellina jelas. "Ell," Ellina mendongak sedikit. Menatap mata hitam kelam yang tampak berkabut dengan letusan emosi yang dalam. Garis halus bibirnya terlihat pucat dengan lengkungan tajam. Dua mata yang tajam terlihat bersinar dalam. "Aku mau kau mengikutiku. Sekarang!"Ellina menolak saat pria itu menarik tangannya. Namun langkah kakinya tak cukup bertahan karena perbedaan kekuatan. Ia hanya bisa mengikuti dengan paksa lang
Malam ini, entah angin dari mana, Kenzie menatap deretan cincin pertunangan yang baru saja datang di meja kerjanya. Matanya menyipit dalam, memperhatikan deretan cincin tersebut. Tampak berkilau dengan kerlap-kerlip briliant yang bersinar. Semua terlihat mewah dan di desain dengan sangat apik. Dalam ketelitian, ia meraih sebuah cincin yang terlihat sangat biasa. Cincin itu sangat halus dan kecil. Di taburi berlian kecil-kecil yang di rancang dengan pola melilit lalu bertemu dengan taburan berlian berwarna rubi yang membentang. Jika bola lampu menerpanya, cahaya dari berlian itu saling tumpang tindih dan membuat cincin bersinar cantik. Tak ada berlian besar yang menimpa di atasnya. Tak seperti cincin lainnya yang menawarkan kemewahan mata. Cincin ini terlihat seperti cincin mainan karena tak menunjukkan hal istimewa. Namun semua orang yang tahu akan kualitas berlian, mereka akan menunjuk cincin yang sama dengan yang Kenzie pegang. "Lander,"Lander yang berdiri di luar ruangan segera