Setelah Gina dan Cristina sepakat untuk menegakkan diagnosis mereka, mereka langsung berkeliling RS untuk mencari dr. Santoso dan melaporkan kajiannya. Di lantai tiga terlihat dr. Santoso bergegas memasuki lift. Tanpa membuang waktu Gina dan Cristina mengejarnya.
“Oh. Oh, dr.. Santoso, tunggu sebentar.” Dengan sangat percaya diri Cristina bicara. Gina hanya diam saja berdiri di sebelah Cristina. “Kalina berkompetisi di kontes kecantikan.” Pintu lift hampir menutup. Cristina menahan dengan tangannya demi mendengar pendapat dr. Santoso.
“Aku tahu itu, tapi kita harus tetap menyelamatkan hidupnya.” dr. Santoso tampak tidak terlalu tertarik dengan diagnosis kedua anak magangnya.
“Dia tidak ada riwayat sakit kepala, tidak ada sakit leher, CT scannya nya bersih. Tidak ada bukti kedokteran dia terkena *aneurysm, tapi bagaimana jika dia memang terkena aneurysm?” Cristina sangat bersemangat untuk mendapatkan posisi asisten operasi yang dr. Santoso janjikan.
“Tidak ada indikatornya,” jawab dr. Santoso singkat.
“Dia keseleo pada saat berlatih…” lanjut Cristina.
Segera dr. Santoso memuji Cristina. “Aku hargai kau mencoba untuk membantu…”
“Saat dia keseleo, dia jatuh.” Cristina berusaha keras memaksa dr. Santoso memahami pendapatnya. Akan tetapi tetap dianggap masih bukan diagnosis yang kuat, membuat dr. Santoso sedikit kesal pada mereka.
“Itu bukan masalah besar, bahkan jika kepalanya terbentur. Dia bangun, mendinginkan kakinya, dan semuanya baik-baik saja.”
Gina yang sedari tadi diam saja akhirnya bicara. “Resiko jatuhnya sangat kecil, dokternya tidak terpikir untuk memperhatikan itu ketika aku melihat riwayat penyakitnya, tapi dia memang jatuh. Kau tahu kan bahwa jatuh juga bisa menyebabkan aneurysm?” Sebelum pintu lift benar benar tertutup Gina menuntaskan kesimpulan yang dia buat dengan Cristina.
“Satu dalam sejuta. Jadwal operasi telah diumumkan," cetus dr. Santoso yang tampak buru-buru menangani Kalina.
Bell berbunyi...pintu lift tertutup. Cristina dan Gina menghela nafas panjang karena mereka telah gagal meyakinkan dr. Santoso. Tapi tak berapa lama kemudian pintu lift terbuka kembali. dr. Santoso akhirnya berkenan memakai diagnosis mereka. “Ayo….” Ajak dr. Santoso.
“Kemana?” Gina dan Cristina menjawab bersamaan.
“Untuk mengetahui bahwa Kalina termasuk dalam satu dalam sejuta,” jawab dr. Santoso sambil tersenyum. Gina dan Cristina ikut tersenyum lebar dan pergi bersama dr. Santoso ke dalam lift menuju kamar Kalina. Saat itu juga segera Kalina dibawa untuk pemeriksaan angiogram. dr. Santoso ditemani Cristina dan Gina melihat sebuah jawaban di layar monitor. Dia menghela nafas. “Ya ampun ... itu dia ... sangat kecil, tapi memang ada. Itu *subarachnoid hemorrhage. Dia berdarah sampai ke otaknya. Dia bisa saja menjalani seluruh hidupnya tanpa tahu ini adalah masalahnya. Sekali ketukan di tempat yang tepat…”
“Dan meletus….” lanjut Cristina.
Tanpa basa basi Cristina langsung menagih janji dr. Santoso pada mereka di ruangan meeting. “dr.. Santoso, kau bilang kau akan memilih seseorang untuk ikut operasi jika kita bisa membantu?” tanya Cristina dengan percaya diri.
“Oh, ya, benar. Hm...Maaf, aku tidak bisa mengajak kalian berdua. Ruangan akan sangat sempit. Gina, sampai ketemu di ruangan operasi,” ucap dr. Santoso singkat lantas pergi meninggalkan Gina dan Cristina yang sama sama terkejut dengan keputusan dr. Santoso atas siapa yang akan menemaninya di ruang operasi. Jelas sekali Cristina langsung merasa kesal pada Gina.
“Bagus. Terima kasih,” cetus Cristina dengan nada marah dan begitu saja meninggalkan Gina.
“Cristina…” Gina memanggil Cristina karena merasa tidak enak hati padanya.
Cristina ngambek pada Gina. Satu satunya harapan dia masuk ke ruang operasi telah kandas dengan permintaan dr. Santoso yang menginginkan Gina menjadi asistennya. Di lorong istirahat, Izzie yang diberitahukan Cristina berusaha membujuknya agar tidak terlalu keras pada Gina.
“Izzie…” bentak Cristina menyuruh sahabat untuk diam. Tapi Izzie tetap saja bicara.
“Mungkin Gina tidak bisa…”
“Izzie….” Sekali lagi Cristina tidak mau Izzie ikut campur. Gina muncul dan mendekati Cristina … kalau mau jujur sebenarnya dia sendiri tidak menginginkan dirinya terpilih untuk mendampingi dr. Santoso di ruang operasi.
“Aku akan bilang padanya aku berubah pikiran,” ucap Gina, berharap Cristina bisa memahami bahwa dia sama sekali tidak berniat merebut posisinya.
Cristina menjawab Gina dengan nada yang sinis. “Jangan berbuat baik untukku. Tidak apa-apa..”
“Cristina…” Izzie kembali mencoba menenangkannya.
“Kau melakukan hal yang kejam. Baiklah. Jangan datang padaku untuk pengampunan. Mau jadi hiu, jadilah hiu,” hardik Cristina tanpa ampun. Membuat Gina makin serba salah.
“Aku tidak…”
Cristina tak membiarkan Gina menyelesaikan ucapannya. “Oh, ya, kau memang begitu. Kau hanya merasa tidak enak di tempatmu yang hangat dan lengket bukan, mati saja kau. Aku tidak dipilih untuk ikut operasi karena aku tidak tidur dengan bosku, dan aku tidak masuk ke sekolah kedokteran karena aku punya ibu yang terkenal. Beberapa dari kami harus terima apa yang kami berhak dapatkan,” ucapan terakhir Cristina membuat Gina tersinggung. Dia langsung memutuskan menemui dr. Santoso secara pribadi dan membatalkan keikutsertaannya dalam proses operasi Kalina.
***
Di ruangan bedah, dr. Bram sedang menjalankan prosedur operasi bypass jantung pada Tn Hendr.awan. Kali ini Gaby hanya menunggunya di luar ruang operasi dengan santai. Gaby sangat percaya diri bahwa dr. Bram bisa menyelesaikan operasinya dan dia bisa memberi kabar gembira pada keluarganya. Tak berapa lama kemudian dr. Bram keluar dari ruang operasi. Sambil mencuci kedua tangannya selintas dia memandang Gaby yang sedang senyum senyum sendiri.
“Wow, cepat sekali,” ujar Gaby terlihat takjub dengan dr. Bram.
Keringat dingin langsung menetes di kening Gaby, dengan terbata bata dia bicara pada dr. Bram. “Tapi aku bilang ke istrinya…Aku bilang ke Gloria bahwa dia akan baik-baik saja. Aku berjanji padanya bahwa…”
“Kau apa?” bentak dr. Bram. “Mereka punya empat orang anak perempuan. Ini kasusku. Apakah kau pernah mendengarku memberikan janji? Satu-satunya yang bisa memberikan janji seperti itu hanya Tuhan, dan aku tidak pernah melihatnya memegang pisau bedah akhir-akhir ini. Kau jangan pernah berjanji ke keluarga pasien mengenai hasil operasi akan berjalan lancar!” Kemarahan benar benar terpancar di mata dr. Bram membuat Gaby makin tak bisa berkata kata.
“Aku a aku pikir…”
“Kau berjanji pada Ny Hendrawan? Kau juga yang harus memberitahunya bahwa dia menjanda.” Gaby langsung tertunduk lemas. Dia benar benar tidak tahu harus mengucapkan apa pada perempuan yang tadi pagi dia yakinkan.
Bersambung...
Catatan:
*Aneurysm : terkena pelebaran pembuluh darah.
*Subarachnoid hemorrhage : pendarahan otak mendadak.
Title: Aku memilihmu (Sandy Canester)
[Jam ke-40]Dalam keadaan terbius total. dr. Santoso mencukur rambut Kalina sebelum melakukan prosedur operasi. Gina berjalan perlahan mendekat dan berdiri tepat di sebelah Kalina. “Aku janji aku akan membuatnya keren,” kelakar dr. Santoso sambil terus mencukur rambut Kalina. “Jadi ratu kecantikan yang botak adalah hal terburuk tapi itu terjadi di dunia nyata.”Gina tak mau lagi menahan unek-unek perihal alasan Daniel memilihnya, bukan memilih Cristina. “Apakah kau pilih aku untuk ikut operasi karena aku tidur denganmu?” tanya Gina.“Ya….” jawab Daniel sambil tertawa. “Aku bercanda….” Mata Daniel melirik Gina yang terlihat mulai kesal.Terus terang dia langsung menolaknya. “Aku tidak akan iku
[Diary Gina]Ini semua tentang garis. Garis akhir di ujung rumah sakit. Mengantri untuk dapat kesempatan bisa berada di meja operasi. Dan lalu ada garis yang paling penting, garis yang memisahkanmu dari dengan siapa kau bekerja. Hal itu tidak akan membuat begitu akrab untuk berteman. Kau butuh batasan antara dirimu dan dunia ini. Orang lain terlalu berantakan. Ini semua tentang garis. Menggambar garis di tanah dan berdoa sangat keras supaya orang lain tidak melewatinya.Sif kedua Gina sangat bersemangat sekali. Pagi-pagi dia sudah berganti pakaian di loker. Tak lupa flat shoes motif macan pemberian ibunya dia simpan dengan sangat baik, keputusan Gina untuk mempertahankan rumahnya mengharuskan Gina mencari teman untuk tinggal supaya dia tidak keteteran. Beberapa pengumuman sudah dia tempel di tempat-tempat yang sangat strategis seperti loker, cafetaria juga ruang informasi.
Ruang ICU sibuk dengan kedatangan pasien baru. Para dokter dan perawat menanganinya dengan segera. “Wanita 25 tahun ditemukan pingsan di taman. Status: Post-trauma. Saat dia datang, tingkat kesadarannya di level enam. Tekanan darah: 80 per 60. Hasil pemeriksaan menandakan positif trauma benda tumpul di kepala. Suara nafas tidak sama, pupil kanan melebar. Dan dia siap untuk di sinar x. Kau siap?” lapor perawat saat Gina tiba disana.Sepersekian detik Gina terdiam. Ada yang mengganggu pikiran Gina. Sepatu korban sama persis seperti yang dia kenakan. Sepasang flat shoes bermotif macan.“Hey!” Gina dibentak perawat yang memberinya laporan.“Ya. Pastikan pemeriksaan CT Scan kosong. Beritahu mereka aku akan kesana. Nyalakan monitor portablenya. Panggil bagian pernapasan untuk pasang ventilator. Aku aka
Satu-satunya pelanggaran juga hiburan Gaby dan Gina disaat mereka suntuk adalah ruangan bayi. Entah mengapa menatap satu-persatu wajah mereka membuat hari-hari berat menjadi nyaman. Semenjak tiba, Gaby terus menerus berceloteh dengan menggunakan bahasa bayi sambil dadah-dadah dibalik kaca pembatas, membuat Gina geli sendiri. “Kau benar-benar keibuan,” sahut Gina, dijawab dengan bunyi alarm panggilan Gaby. “Ada kode, aku harus pergi.” Gaby meninggalkan Gina sendirian di ruang bayi. “Kalian sangat menggemaskan,” gumam Gina. Tiba-tiba mata Gina tertuju pada seorang bayi yang terlihat bermasalah. Tubuh bayi itu membiru dan si bayi tidak menangis seperti yang lainnya. Mata Gina menyapu seluruh ruangan, mencari dokter atau perawat yang kebetulan sedang berjaga. Tapi dia tak bisa menemukan seorangpun. Untuk memastikan tak ada yang
Sudah hampir 10 tahun dr. Bram bekerja menjadi dokter bedah. Tak pernah sekalipun melihat kemarahan dr. Richard yang seperti tadi. Dia merasa pekerjaannya terlalu sempurna dan dia layak untuk memimpin unit bedah. “Semua ini harus ada jawabannya.” Begitu batin dr. Bram. Diamelangkah ke ruang operasi di lantai dua. Ruang operasi 1 memang terpisah dari bangunan utama. Biasanya ruang operasi 1 disediakan untuk pasien VIP yang ingin privacy. Alasan kenapa pria tadi dibawa kesana sebab polisi ingin dia diamankan dan mencegahnya melarikan diri saat siuman.dr. Han terlihat berdiri di atas jembatan kaca penghubung gedung utama dan OK satu. dr. Bram menghampiri dan berdiri tepat di sebelahnya lalu bertanya. “Sebelum operasi aku mau bertanya padamu. Menurutmu aku terlalu percaya diri?”dr. Han menjawab tanpa menoleh sambil menggelengkan kepalanya. “Tidak….”
[Diary Gina] Ingat saat kau masih kecil, dankekhawatiran terbesarmu adalah, apakah kau akan mendapatkan sepeda untuk ulang tahunmu atau apakah kau bisa makan kue kesukaan untuk sarapan pagi? menjadi dewasa, benar-benar overrated. Maksudku, serius, jangan tertipu dengan semua sepatu mahal dan seks yang hebat atau tidak ada orang tua manapun memberitahu kamu apa yang harus dilakukan. Masa dewasa adalah tanggung jawab. Sebagai pengacara keluarga yang sudah bekerja pada keluarga Rachman selama bertahun-tahun. Berkali-kali Dewi berusaha meyakinkan Gina untuk lebih memahami situasi terburuk yang akan dihadapi ibunya. Pagi itu Almira, penanggung jawab di rumah perawatan mengajaknya bicara agar Gina mau menemui Dewi dan ibunya. Gina baru saja pulang kerja dan belum sempat tidur, suaranya serak, berkali-kali Gina
dr. Han langsung mengkoordinasi semua anak magangnya supaya bisa membantu dr. Richard untuk menemukan orang yang bertanggung jawab atas malapraktik* 5 tahun lalu terhadap Ny. Tiara. “Gaby, tetaplah bersama pasien. Jaga agar dia bahagia … dia sepertinya menyukaimu.” Perintah dr. Han pada Gaby. “Baiklah, baiklah, um, berapa lama aku? Maksudku, secara teknis, aku pulang jam 6:00.” Dengan hati-hati Gaby meminta dr. Han agar memulangkannya tepat waktu. “Apakah aku diundang?” cetus dr. Han membahas pesta yang akan diadakan Gaby dan Izzie di rumah Gina. Gaby kaget dari mana dr. Han bisa tahu rencana pestanya. “Maaf?” cetus Gaby disambut lirikan cemas dari Cristina yang berdiri di sebelahnya. “Apakah aku diundang ke pesta?” ulang dr. Han. “Oh, yah begitulah ya, ya, tentu saja,” jawab Gaby mengiyakan permintaan dr. Han. dr. Han tersenyum puas lalu masuk ke ruangan konsulen. C
Cristina berjalan menuju ruang arsip. Dia membereskan beberapa berkas pasien. Kebetulan ruang arsip berseberangan dengan ruang konsulen. Dengan jelas Cristina bisa melihat, Nazi sedang bicara dengan dr. Bram di ruangan konsulen. Cristina bisa menangkap bahwa Nazi sedang berbicara tentang penemuan berkas penting operasi 5 tahun lalu. Terlihat dr. Bram tertunduk seolah terpapar penyesalan yang sangat mendalam. Cristina berusaha tidak peduli, dia bersiap-siap pulang untuk pergi ke pesta Izzie di rumah Gina. Dengan perasaan yang masih kesal karena tidak berhasil membujuk ibunya untuk menandatangani berkas dokumen penting. Akhirnya Gina pulang ke rumah untuk beristirahat. Tapi apa yang dia dapat? Halaman rumahnya dipenuhi dengan orang-orang yang berseliweran keluar masuk. Hentakan musik terdengar sayup-sayup dari dalam sana. “Izzie, aku akan membunuhmu,” gumam Gina.